Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Tawakal kepada Allāh adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Semakin kuat iman seorang hamba semakin kuat pula tawakalnya. Semakin lemah iman seseorang semakin lemah pula tawakalnya.
Pengertian Tawakal
Pada hakikatnya, tawakal murni amalan hati. Oleh sebab itu, wajib mengesakan Allāh dengan amalan tersebut, sedangkan memalingkannya kepada selain Allāh adalah syirik (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 375).
Bertawakal kepada sesuatu artinya adalah bersandar kepadanya. Adapunbertawakal kepada Allāh maksudnya adalah menyandarkan diri kepada Allāh ta’ālā dalam rangka mencukupi dan memenuhi keinginannya, baik di saat mencari kemanfaatan ataupun menolak kemadharatan. Ia merupakan bagian kesempurnaan iman dan tanda keberadaannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 38 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaiminraḥimahullāh)
Apabila dirinci, tawakal mencakup tiga unsur:
- Keyakinan bahwasanya segala urusan ada di tangan Allāh, segala yang dikehendaki Allāh pasti terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Hanya Allāh yang menguasai manfaat dan madharat, yang kuasa untuk memberi atau menghalangi
- Menyandarkan hati kepada Allāh dan menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya
- Melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan menurut syari’at dalam rangka mencapai tujuannya (lihat Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 83-84, al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101-102, at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 374-375)
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Kepada Allāh hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23).
Ayat ini menunjukkan wajibnya memurnikan tawakal kepada Allāh dan tidak boleh bertawakal kepada selain-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa tawakal kepada Allāh adalah salah satu jenis ibadah, sedangkan memalingkan ibadah kepada selain Allāh adalah syirik (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 298)
Kedudukan Tawakal
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Hanyalah orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allāh maka hati mereka merasa takut, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka hal itu semakin menambah keimanan mereka, dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka semata.” (QS. al-Anfal: 2)
Semakin kuat iman seorang hamba semakin kuat pula tawakalnya. Dan semakin lemah iman seseorang semakin lemah pula tawakalnya. Sehingga lemahnya tawakal merupakan tanda lemahnya iman seorang hamba. Di dalam al-Qur’an, Allāhta’ālā seringkali menggandengkan antara tawakal dengan ibadah, tawakal dengan iman, tawakal dengan takwa, tawakal dengan islam, tawakal dengan hidayah. Ini semua menunjukkan bahwa tawakal merupakan pokok seluruh maqam iman dan ihsan untuk segala bentuk amal keislaman. Kedudukan tawakal di dalam ajaran Islam laksana kepala bagi anggota badan (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91-92)
Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu, kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya.Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123).Allah ta’ālā juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88).Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri maka itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup untuk beribadah dengan baik.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28] oleh Syaikh Ibnu Utsaimin raḥimahullāh)
Syaikh as-Sa’di raḥimahullāh berkata, “Tawakal kepada Allāh adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal, sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101)
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Tawakal kepada Allāh adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allāh semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allāh semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allāh pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)
Keutamaan Tawakal
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Allāh mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa bertawakal kepada Allāh niscaya Dia cukup baginya.” (QS. ath-Thalaq: 3).
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qor’awi menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal termasuk sebab yang paling penting untuk mendapatkan manfaat dan menolak madharat.” Beliau juga mengatakan, “Ayat ini menunjukkan wajibnya tawakal kepada Allah, karena dengan sebab tawakalitulah Allāh akan menjaga hamba-Nya dan mencukupinya.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 302)
Kaidah Pengambilan Sebab
Syaikh Shalih alu Syaikh berkata, “Sesungguhnya penetapan sebab-sebab (sarana dan jalan) yang bisa mendatangkan pengaruh atau keberadaan sesuatu sebagai sebab tidaklah diperbolehkan tanpa melalui jalur syari’at. Oleh sebab itu, tidak boleh menetapkan suatu sebab kecuali apabila hal itu ditetapkan sebagai sebab menurut syari’at, atau ditetapkan sebagai sebab berdasarkan pengalaman nyata -terbukti secara empiris- yang menunjukkan bahwa hal itu memang memberikan dampak secara jelas, bukan sesuatu yang samar.” (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 93)
Dalam menempuh sebab untuk meraih manfaat atau menolak madharat ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh setiap hamba, yaitu:
- Tidak boleh menempuh suatu sebab/sarana yang tidak ditetapkan oleh syari’at atau tidak dibenarkan secara qadari/menyelisihi hukum sebab-akibat
- Tidak boleh bersandar kepada sebab, tetapi harus bersandar kepada Allāh yang menciptakan dan menguasai sebab tersebut. Meski demikian, hendaknya tetap menempuh sebab yang disyari’atkan demi mencapai tujuan dan bersemangat dalam mendapatkan manfaat darinya
- Harus meyakini bahwa segala macam sebab/sarana -sebagus apapun- tetap saja ia berkaitan erat dengan takdir Allāh, sedikit pun ia tidak terlepas darinya. Allāh berhak mengatur segala sesuatunya menurut kehendak-Nya. Apabila berkehendak, Allāh akan biarkan sebab itu berjalan sebagaimana fungsinya agar hamba-hamba-Nya menempuh sebab-sebab itu dan supaya mereka menyadari kesempurnaan hikmah-Nya. Namun, apabila mau, Allāh pun bisa mengubahnya. Hikmahnya adalah supaya mereka tidak bersandar kepadanya dan supaya mereka mengetahui kesempurnaan qudrah/kekuasaan Allāh, bahwa Allāh lah satu-satunya yang berhak untuk mengatur alam semesta ini sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 34-35)
Tawakal Kepada Makhluk
Tawakal kepada makhluk memiliki dua keadaan:
- Syirik akbar, yaitu apabila bersandar kepada makhluk dalam hal-hal yang hanya dikuasai Allāh. Seperti misalnya bersandar kepadanya demi mendapatkan ampunan dosa, menggantungkan hati kepadanya dalam menggapai kebaikan di akherat, bersandar kepadanya dalam rangka memperoleh anak/keturunan dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang banyak menimpa kepada para pemuja kubur dan para wali. Mereka menujukan ketergantungan hati dan harapan mereka kepada sesembahan-sesembahan tersebut demi mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam urusan dunia maupun akherat. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar yang mengugurkan pokok ketauhidan
- Syirik khafi/samar, yaitu apabila bersandar kepadanya dalam hal-hal yang Allāh berikan kepadanya kekuasaan untuk itu. Hal ini termasuk syirik kecil. Karena hakikat dari tawakal adalah penyerahan segala urusan dan ketergantungan hati. Padahal, itu semua tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata; yang di tangan-Nya lah kuasa atas segala urusan. Adapun makhluk sama sekali tidak berhak untuk menerimanya (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 375-376).
Wallāhu a’lam biṣṣawāb.
artikel: www.pemudamuslim.com
—-
* Sumber referensi gambar: http://ht.ly/e5WgC
0 comments:
Post a Comment