Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Pengenalan terhadap Allāh yang sejati laksana mutiara yang tersembunyi di dasar lautan atau emas yang terpendam di perut bumi. Begitu banyak orang yang mendambakannya, akan tetapi amat sedikit orang yang berhasil menggapainya.
Sesungguhnya ma’rifatullāh (mengenal Allāh) telah menjadi suatu ‘barang’ yang sangat langka pada masa kita sekarang ini. Banyak orang yang terlalaikan darinya. Para pemuja dunia, pengejar tahta, pemburu wanita, pencari suara, bahkan tidak sedikit orang-orang yang ‘berselimutkan’ simbol-simbol agama yang lalai dan melupakannya.
Malik bin Dinar raḥimahullāh berkata,
“Para pemuja dunia telah keluar dari dunia, sedangkan mereka belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allāh ‘azza wa jalla.” (lihat Sittud Durar min Uṣūl Ahli al-Aṡar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).
Apa Yang Dimaksud Dengan Mengenal Allāh?
Mengenal Allāh tidak cukup dengan sekedar wawasan, dimana orang yang taat maupun orang bejat sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud ialah suatu pengenalan yang diiringi rasa malu kepada Allāh, cinta kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan rela meninggalkan makhluk demi mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 22)
Orang yang mengenal Allāh tentu akan beribadah kepada-Nya semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Dari Mu’āż bin Jabal raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hak Allāh atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada Allāh dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba atas Allāh ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan mengazab orang-orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukharidalam Kitab al-Jihad wa as-Siyar [2856] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [30])
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali ḥafiẓahullāh berkata,
“Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allāh melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allāh. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allāh.” (lihat Ṭarīq al-Wuṣūl ilā Ῑḍāḥ aṡ-Ṡalāṡah al-Uṣūl, hal. 147)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh ḥafiẓahullāh berkata,
“Sesungguhnya cara mengagungkan Allāh adalah dengan merealisasikan tauhid. Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allāh, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (lihat Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)
Orang yang mengenal Allāh tidak akan beribadah dengan motivasi mencari pujian dan sanjungan dari selain Allāh. Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allāh tabaraka wa ta’ālā berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama dengan diri-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim dalam Kitab az-Zuhd wa ar-Raqa’iq [2985])
Pembersihan Hati Sebelum Yang Lainnya
Pengenalan terhadap Allāh yang sejati tidak akan berhasil digapai dengan sempurna kecuali dengan membersihkan tempat dimana ma’rifatullah itu bersemayam, yaitu di dalam hati manusia. Oleh sebab itu, hendaknya yang paling pertama diperhatikan oleh seorang hamba tatkala ingin bisa merasakan kelezatan ubudiyah dan ma’rifat kepada-Nya adalah mengenali seluk-beluk hatinya.
Ibnul Qayyim raḥimahullāh memaparkan,
“Suatu tempat akan bisa menampung apa yang diisikan kepadanya tatkalaterpenuhi syaratnya yaitu harus bersih dari lawannya. Hal ini, sebagaimana berlaku terhadap benda dan barang-barang, demikian pula ia berlaku dalam hal keyakinan dan keinginan. Apabila hati telah penuh terisi dengan kebatilan, berupa keyakinan ataupun rasa cinta, itu artinya tidak tersisa lagi di dalamnya ruang untuk keyakinan terhadap kebenaran dan kecintaan terhadapnya.Seperti halnya lisan, apabila telah disibukkan dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang tidak berguna niscaya pemiliknya tidak sanggup lagi untuk berbicara tentang hal-hal yang berguna bagi dirinya, kecuali apabila lisannya berhenti mengutarakan kebatilan.Demikian juga anggota badan apabila disibukkan dengan selain ketaatan, tidak mungkin untuk menyibukkannya dengan perbuatan taat kecuali apabila telah berhenti dari lawannya.Begitu pula hati yang telah disibukkan dengan kecintaan kepada selain Allāh, keinginan terhadapnya, rindu dan merasa tentram dengannya, tidak akan mungkin baginya untuk disibukkan dengan kecintaan kepada Allāh, keinginan, rasa cinta dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya kecuali dengan mengosongkan hati tersebut dari ketergantungan terhadap selain-Nya.Lisan juga tidak akan mungkin digerakkan untuk mengingat-Nya dan anggota badan pun tidak akan bisa tunduk berkhidmat kepada-Nya kecuali apabila ia dibersihkan dari mengingat dan berkhidmat kepada selain-Nya.Apabila hati telah disibukkan dengan makhluk atau ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat maka tidak tersisa lagi ruang untuk menyibukkan diri dengan Allāh serta mengenal nama-nama, sifat-sifat dan hukum-hukum-Nya…” (lihat al-Fawā‘id, hal. 31-32)
Beliau juga berpesan,
“Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya, hendaknya dia lebih mengutamakan Allāh daripada hawa nafsunya. Hati yang terjerat oleh syahwat akan terhalangi dari Allāh sesuai dengan kadar ketergantungan hati itu kepadanya. Hati merupakan bejana -untuk mengenal- Allāh di atas muka bumi yang diciptakan-Nya. Hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, paling kuat, dan paling jernih. Aduhai, mengapa mereka menyibukkan hati mereka dengan dunia. Seandainya mereka mau menyibukkan diri dengan Allāh dan hari akherat niscaya akan tampak bagi mereka keagungan firman-Nya dan kebesaran ayat-ayat-Nya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Ketakwaan Hakiki
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allāh, sesungguhnya hal itu lahir dari ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Tidak akan sampai kepada Allāh daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
Ibnul Qayyim raḥimahullāh berkata,
“Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan -yang berakar- dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawā`id, hal. 136).
Abū Hurairah raḍiyallāhu’anhu berkata,
“Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)
Ibnul Qayyim raḥimahullāh menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara seorang mukmin dengan seorang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
Ibnul Qayyim raḥimahullāh juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat menduduki peranan ruh, sedangkan amalan laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
Wallāhu a’lam. Wa ṣallallāhu ‘alā Nabiyyinā Muḥammadin wa ‘alā ālihi wa shaḥbihi wa sallam. Walḥamdulillāhi Rabbil ‘ālamin.
Artikel: www.pemudamuslim.com
—–
*sumber ilustasi gambar: http://ht.ly/e6hRG
0 comments:
Post a Comment