Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allah. Keimanan kita kepada Allāh tidak hanya berhenti di lisan dan pengakuan. Iman kepada Allāh menuntut kita untuk tunduk kepada aturan dan hukum-hukum-Nya. Karena Allāh semata yang menciptakan alam semesta ini, tentu saja Allāh yang paling mengetahui apa yang terbaik baginya.
Ibnul Qoyyim raḥimahullāh berkata,
“Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku ẓalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafiẓahullāh berkata,
“…Barangsiapa beriman terhadap rububiyah Allāh dan ridha Allāh sebagai Rabb, dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya…” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)
Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allāh sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muḥammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)
Termasuk dalam cakupan ridha Allāh sebagai Rabb adalah ridha dengan hukum Allāh. Karena salah satu konsekuensi tarbiyah dan rububiyah Allāh adalah memerintah dan melarang serta memberikan ganjaran dan hukuman.
Ibnul Qayyim raḥimahullāh berkata, “Sesungguhnya rububiyah memiliki konsekuensi pemberian perintah dan larangan kepada hamba serta pemberian balasan bagi perbuatan baik mereka dan penjatuhan hukuman bagi perbuatan buruk mereka.” (lihat Kitab at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 26)
Oleh sebab itu, ahli kitab yang menaati pendeta dan rahib-rahib mereka dalam melanggar hukum-hukum Allāh disebut dalam al-Qur’an dengan istilah ‘mengangkat rabb selain Allāh‘.
Allah ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allāh, dan al-Masih putra Maryam pun mereka perlakukan demikian. Padahal, mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada sesembahan yang satu saja. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)
Dari ‘Adi bin Hatim raḍiyallāhu’anhu, dia berkata,
“Dahulu aku datang kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sementara di leherku masih terdapat salib dari emas. Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Adi! Buanglah berhala ini.” Dan aku mendengar beliau membaca ayat dalam surat al-Bara’ah (yang artinya), “Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allāh.” (QS. at-Taubah: 31). Beliau bersabda, “Mereka memang tidak beribadah kepada pendeta dan rahib-rahib itu. Akan tetapi apabila pendeta dan rahib menghalalkan sesuatu maka mereka pun menghalalkannya. Demikian juga apabila mereka mengharamkan sesuatu maka mereka pun ikut mengharamkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3095 dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/93])
Ahli kitab disebut ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ karena mereka mengangkat pendeta dan rahib sebagai pembuat syari’at untuk mereka yang menetapkan halal dan haram, sehingga pengikutnya pun menghalalkan apa yang diharamkan Allāh dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Oleh sebab itu ahli kitab dinilai menjadikan pendeta dan rahib seolah-olah sebagai Rabb/Sang Maha Pengatur. Padahal, penetapan syari’at merupakan bagian dari kekhususanrububiyah yang hanya dimiliki oleh Allāh ta’ālā (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 96).
Syaikh Muḥammad bin Shalih al-Utsaimin raḥimahullāh menjelaskan,
“Maksud dari ‘menjadikan rabb selain Allāh’ adalah menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allāh ‘azza wa jalla dalam hal pembuatan syari’at; sebab mereka berani menghalalkan apa yang diharamkan Allāh sehingga para pengikut itu pun menghalalkannya. Mereka pun berani mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sehingga membuat para pengikutnya juga ikut mengharamkannya.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/66])
Syaikh Muḥammad bin Abdul Wahhab raḥimahullāh membuat bab di dalam Kitab Tauhid dengan judul,
“Barangsiapa menaati ulama dan umara’ dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allāh atau menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, pada hakikatnya dia telah mengangkat mereka pada kedudukan rabb.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/63])
Allah ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidaklah beriman sampai mereka mau menjadian kamu (Muḥammad) sebagai hakim atas segala yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka atas apa yang kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65).
Allah ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allāh, bagi orang-orang yang yakin.” (QS. al-Maa’idah: 50).
Allah ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Dan putuskanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allāh, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka.” (QS. al-Maa’idah: 49)
Wallahu a’lam bish shawaab.
artikel: www.pemudamuslim.com
—–
* Sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/e5t92
Oleh Ari Wahyudi
0 comments:
Post a Comment