Muqoddimah
Sesuatu yang ajaib biasa disebut sebagai khowariqul ‘adah (hal-hal yang terjadi di luar kebiasaan manusia), misalnya seseorang dapat berjalan di atas air, kebal senjata tajam, bisa terbang di udara dan lain-lain.
Orang awam sering keliru dalam menilai hal-hal semacam ini, sehingga mereka menganggap bahwa setiap orang yang memiliki keajaiban berarti dia adalah wali Allah sehingga tidak boleh dilarang dan diperingatkan, apapun sepak terjangnya.
Ahlus Sunnah dalam menyikapi khowariqul ‘adah adalah dengan mengembalikan kepada pelakunya, tidak bisa langsung dihukumi bahwa dia adalah wali Allah. Bila ia memang dikenal sebagai seorang yang mustaqim (komitmen) dengan agama, mengamalkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,maka sangat mungkin hal itu merupakan karomah yang Allah berikan kepada para wali-Nya. Akan tetapi, bila ia dikenal sebagai orang yang sama sekali tidak iltizam dengan agama, bahkan ia dikenal sebagai orang fasik yang sering melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan serta kezholiman, maka dia bukanlah wali Allah, tetapi justru wali setan dan ada peran Iblis di balik keajaiban yang ia miliki. Na’uzhubillah min dzalik.
Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Apabila engkau melihat ada seseorang yang mampu terbang di udara, atau berjalan di atas air, tapi amalan sehari-harinya sering menyelisihi syari’at, maka ketahuilah bahwa dia adalah setan.” (al-Aqidah al-Islamiyyah al-Muyassaroh, hal. 233)
Kisah berikut ini menceritakan adanya khowariqul ‘adah pada tiga bayi sholih, yang dikisahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka dapat berbicara tatkala masih dalam buaian. Kita wajib mengimaninya sebagai konsekuensi dari persaksian kita bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Kemudian dengan mengambil beberapa faidah berharga, semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Allahul Muwaffiq.
Bayi Kedua
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah berbicara tatkala masih dalam buaian kecuali tiga bayi, yaitu ‘Isa bin Maryam, dan shohibul Juraij.
Juraij adalah seorang ahli ibadah (yang tekun), dia menjadikan suatu tempat ibadah yang ia (beribadah) di dalamnya. Suatu ketika datanglah ibunya sedang ia masih melakukan sholat (sunnah). Kemudian sang ibu memanggilnya, “Wahai Juraij (kemarilah).” Maka Juraij bergumam, “Wahai Rabbku, ibuku (memanggil) dan (bagaimana) sholatku?” Akhirnya ia tetap melanjutkan sholatnya sehingga ibunya pun pergi meninggalkannya.
Pada hari berikutnya, sang ibu pun datang kembali dan Juraij pun saat itu sedang sholat. Sang ibu memanggilnya, “Wahai Juraij (kemarilah).” Maka Juraij bergumam, “Wahai Rabbku, ibuku (memanggil lagi) dan (bagaimana) sholatku?” Akhirnya ia tetap melanjutkan sholatnya dan sang ibu berdo’a, “Ya Allah, jangan engkau wafatkan dia, sebelum ia melihat wajah seorang pelacur.”
Maka orang-orang bani Isroil membicarakan tentang Juraij dan kuatnya dalam beribadah, sehingga datanglah seorang pelacur yang cantik jelita dan mengatakan, “Kalau kalian mau, aku akan memfitnahnya (menggodanya untuk berzina). Maka wanita itu datang dan menawarkan dirinya, namun Juraij tidak menggubrisnya sedikitpun. Maka wanita itu pergi kepada seorang pengembala yang rumahnya di dekat tempat ibadah Juraij. Wanita itu pun menawarkan dirinya dan pengembala itu pun berzina dengannya sehingga ia pun hamil.
Tatkala bayinya lahir, wanita itu berkata, “Bayi ini adalah anaknya Juraij,” maka mereka datang kepada Juraij dan menyuruhnya keluar, kemudian mereka menghacurkan tempat ibadahnya dan memukuli Juraij. Kemudian Juraij mengelak dan mengatakan, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Engkau telah berzina dengan wanita pelacur ini kemudian ia melahirkan seorang bayi.” Juraij mengatakan, “Mana bayi itu sekarang?”
Mereka pun membawa bayi itu ke hadapan Juraij lalu Juraij mengatakan, “Biarkan aku sholat.” Maka dia pun sholat. Setelah selesai sholat, ia datang kepada bayi itu dan menekan perutnya sambil mengatakan, “Wahai bayi, siapa bapakmu?” Maka bayi itu pun menjawab, “Fulan, seorang pengembala.”
Maka mereka (bani Isroil) langsung mendatangi Juraij lalu menciuminya dan mengusapnya. Mereka mengatakan, “Kami akan bangunkan engkau tempat ibadah dari emas.” Juraij menjawab, “Jangan. Kembalikan dari tanah seperti dahulu.” Maka merekapun melakukannya.
Bayi Ketiga
Ada seorang bayi yang sedang menyusu pada ibunya. Lewatlah seorang laki-laki dengan mengendarai seekor tunggangan yang mewah dan dengan perhiasan yang bagus. Maka sang ibu berkata, “Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.” Sang bayi melepaskan susuannya dan menghadap laki-laki tersebut serta melihatnya, kemudian mengatakan, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti dia.” Kemudian ia kembali kepada ibunya dan kembali menyusu.
(Perowi hadis ini) mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggambarkan anak itu tatkala sedang menyusu dengan memasukkan ibu jari beliau ke mulut beliau dan menghisapnya, kemudian ia melanjut, “Lalu manusia melewati seorang budak wanita dan mereka memukuli budak tersebut sambil mengatakan, “Engkau telah berzina dan mencuri.” Namun budak itu hanya mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan Dia-lah sebaik-baik penolong.” Sang ibu berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti dia.” Kemudian sang bayi melepaskan susuan ibunya dan berbalik melihat budak tersebut, kemudian mengatakan, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia.”
Kemudian terjadilah perbincangan (antar keduanya. Karena sang ibu tahu bahwa anaknya dapat berbicara). Sang ibu berkata, “Tadi lewat seorang laki-laki yang berpenampilan bagus, maka aku katakan, “Ya Allah, jadikanlah anakku seperti dia, tapi justru engkau mengatakan, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti dia.” Kemudian orang-orang melewati seorang budak wanita, mereka memukuli dan mengatakan, “Engkau telah berzina dan mencuri,” maka aku katakan, “Ya Allah, janganlah engkau jadikan anakku seperti dia.” Tapi justru engkau mengatakan, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia.”
Maka bayi itu menjawab, “Sesungguhnya laki-laki itu adalah orang yang garang, maka aku katakan, “Ya Allah, janganlah Engkau Jadikan aku seperti dia.” Sedangkan wanita budak itu, mereka menuduhnya telah berzina padahal dia tidak berbuat zina, dan mereka mengatakan dia telah mencuri padahal dia tidak mencuri, sehingga aku mengatakan, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia.”
Kisah shohih di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya, no. 3436 dan Muslim dalam kitan al-Birr wa Sholat, no. 2550
Mutiara Kisah
Kisah di atas mengandung banyak sekali faedah penting. Di antaranya adalah
1. Tetapnya karomah bagi wali-wali Allah Ta’ala
Mereka adalah orang-orang mukmin yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ (62)
الَّذِيْنَ آَمَنُوْا وَكَانُوا يَتَّقُوْنَ (63)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (QS. Yunus: 62 – 63).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang beriman dan bertakwa maka dia adalah wali Allah. Sedangkan makna karomah adalah setiap perkara yang terjadi di luar kebiasaan manusia, yang Allah Ta’ala nampakkan kepada para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sholih, sebagai bentuk kemuliaan atas mereka dan (bukti) pertolongan Allah Ta’ala atas kebenaran.” (Syarah Riyadhish Sholihiin, 4/127)
Hal ini merupakan madzab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan madzab Mu’tazilah yang mengingkari adanya karomah bagi wali secara mutlak. Ahlus Sunnah menetapkan sebagaimana telah ditunjukkan oleh banyak dalil dari al-Qur’an maupn as-Sunnah, dan hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin diingkari. Di antara ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya karomah bagi wali Allah adalah kisah tentang Maryam. Allah Ta’ala berfirman:
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا
قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ
إِنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (37)
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana engkau memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”(QS. Ali ‘Imran: 37)
Bahkan dalam hadits yang shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَ لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku menyatakan perang dengannya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6502)
Dan masih banyak dalil-dalil yang menunjukkan adanya karomah bagi para wali Allah.
2. Besarnya keutamaan birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)
Menjawab panggilan kedua orang tua hukumnya wajib, terlebih-lebih menunaikan hak sang ibu, orang yang paling dekat dan paling banyak memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا (8)
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (QS. Al-‘Ankabut: 8)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا،
قُلْتُ: ثُمَّ أيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ،
قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: اَلْجِهَادُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala? Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan jalan Allah.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5970 dan Muslim, no. 85).
Dan juga hadits berikut, sangatlah patut dijadikan pelajaran tentang kewajiban anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟
قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبُوكَ
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi.” Beliau menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Bapakmu.”(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5971 dan Muslim, no. 2548)
Yang demikian itu karena kesulitan dan jasa ibu lebih banyak bila dibandingkan dengan yang lainnya, terutama kesulitan tatkala mengandung, lalu melahirkan dan kesulitan tatkala menyusui.
3. Apabila ada dua perkara yang saling bertentangan, maka hendaklah diutamakan perkara yang lebih penting.
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Apabila berbenturan beberapa mashlahat, maka utamakan yang lebih tinggi mashlahatnya. Sebuah kewajiban adalah lebih didahulukan daripada sebuah sunnah. Hal ini merupakan sesuatu yang ditetapkan dalam al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِيْ هِيَ أَقْوَمُ (9)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus …” (QS. Al-Isra’: 9).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَاتَّبِعُوْا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ (55)
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (QS. Az-Zumar: 35)
Perkara yang wajib adalah lebih baik dari sebuah perkara yang sunnah. (al-Qowa’id wa Ushulul Jami’ah,hal. 62)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila bertemu sesuatu yang wajib dengan perkara yang sunnah maka kita kedepankan perkara yang wajib tersebut dari yang sunnah, karena perkara yang wajib itu lebih dicintai Allah Ta’ala, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dari apa yang telah aku wajibkan atasnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6502). Lihat Mandzumah Ushulul Fiqh, hal. 126.
Menjawab panggilan ibu adalah sebuah kewajiban yang harus diutamakan daripada melaksanakan sholat sunnah seperti apa yang dilakukan oleh Juraij.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila kedua orang tua memanggilmu ketika engkau sedang sholat, maka yang wajib adalah menjawab panggilan keduanya. Akan tetapi, hal itu dilakukan bila bukan sholat wajib. Apabila engkau sedang melakukan sholat wajib, maka engkau tidak boleh menjawabnya. (Syarh Riyadhish Sholihin, 2/148)
4. Allah Ta’ala akan senantiasa memberikan jalan keluar kepada para wali-Nya tatkala mereka tertimpa kesempitan.
Sebagimana keumuman firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2)
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Tholaq: 2)
Sumber : Majalah al-Furqan tahun VII edisi ke 02 – hal. 60 – 63
Nas alullaaha wal 'aafiyah.
0 comments:
Post a Comment