Share
div id='fb-root'/>

Tuesday, November 15, 2011

Syarat Diterimanya Amal

Share on :


syarat diterimanya amal
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari Kiamat.
Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya AllahSubhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk tujuan yang agung, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (56)

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).
Inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, yakni supaya mereka menghambakan diri hanya kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala secara murni, dengan mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepada-Nya. Untuk inilah sebenarnya kita diciptakan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah mengutus para Rasul untuk menyeru kepada manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata dan menjauhi segala bentuk ibadah kepada selain Allah. (Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, hal. 10)
Banyak Beramal Tapi Masuk Neraka?
Kaum muslimin yang kami muliakan, ketahuilah… Sesungguhnya tidak semua penghuni Neraka adalah orang-orang yang di dunianya gemar berbuat maksiat, seperti kecanduan khomr, pemain judi, para pelaku zina dan lain sebagainya. Akan tetapi ternyata ada juga di antara penghuni Neraka adalah orang-orang yang di dunianya rajin beramal, bahkan mereka adalah orang-orang yang beribadah sampai kelelahan karena begitu beratnya amalan yang dilakukan. Mereka mengira akan datang menghadap Allah Ta’aladengan membawa amalan putih seberat gunung Tihamah. Namun Allah menolak dan tidak menerima amal mereka. Amalan mereka laksana debu-debu beterbangan yang tiada memberi manfaat sedikitpun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً (103)
الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا (104)

“Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104).
Demikian pula Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوْرًا (23)

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).
Diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لأَعْلَمَنَّ (لاَ أَلْفَيَنَّ) أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بَيْضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عز و جل هَبَاءً مَنْثُوْرًا

“Aku benar-benar mengetahui ada beberapa golongan dari umatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebajikan sebesar gunung Tihamah yang berwarna putih, lalu Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 4245. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, no. 5028).
Mengapa orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas sudah beramal tapi malah ganjarannya Neraka? Mengapa amalan mereka tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Semoga sedikit tulisan ini bisa memberi manfaat untuk kita semua. Amin
Dua Syarat Diterimanya Amal
Kaum muslimin yang kami muliakan, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima suatu amalan ibadah apapun dari hamba-Nya kecuali setelah terpenuhinya dua syarat:
  1. Amalan tersebut dilakukan ikhlash karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Amalan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan atau petunjuk dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah dua syarat yang harus dipenuhi supaya amal kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua syarat ini terangkum dalam firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا
وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-Nya maka hendaknya ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada–Nya.” (QS. Al–Kahfi: 110)
Pada ayat ini, yang dimaksud beramal sholih adalah melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tidak mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Nya, maksudnya adalah mengikhlashkan ibadah hanya untuk Allah semata.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah ketika ditanya tentang firman Allah Ta’ala:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً (2)

“Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2).
Beliau menjawab, “Amal yang paling bagus adalah yang paling ikhlash dan yang paling benar.” Lalu orang–orang bertanya:  “Wahai Abu ‘Ali (-panggilan Fudhail bin Iyadh rahimahullah), apa yang dimaksud amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar itu?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya amal apabila dilakukan dengan ikhlash namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan apabila dilakukan dengan benar namun tidak ikhlash, maka tidak akan diterima hingga amalan itu dilakukan dengan ikhlas dan benar. Amalan yang ikhlash ialah amal yang dikerjakan karena Allah semata dan amalan yang benar ialah amal yang dikerjakan sesuai dengan as-Sunnah (yakni ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Al-Ubudiyyah, hal. 84–85).
Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya dua syarat diterimanya amal ibadah ini merupakan perwujudan dari dua kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallaah, Muhammad Rasullullah. Syahadat Laa Ilaaha Illallaah (Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) mewajibkan kita agar beribadah hanya kepada Allah semata. Inilah makna ikhlash dalam ibadah.
Sedangkan syahadat Muhammad Rasulullah (Persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah) mewajibkan kita untuk senantiasa taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti petunjuk Beliau, dan kita beribadah kepada Allah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam. (Disarikan dari Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Niat Baik Saja Tidaklah Cukup
Kaum muslimin yang kami muliakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.”(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1718)
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan

جَاءَ ثَلاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم -
يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم،
فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا،
وَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم -
وَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ! قَالَ أَحَدُهُمُ: أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّيَ اللَّيْلَ أَبَداً.
وَقَالَ اْلآخَرُ: وَأَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ أَبَداً وَلاَ أُفْطِرُ.
وَقَالَ اْلآخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَداً.
فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَيْهِمْ،
فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ،
لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ،
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ada tiga orang yang datang ke rumah sebagian isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah diberitahukan kepada mereka (tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka merasa ibadah mereka hanya sedikit. Dan mereka pun mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya, baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Saya akan mengerjakan sholat malam terus-menerus (sepanjang malam tanpa tidur).” Dan yang lainnya berkata, “Kalau aku akan berpuasa terus-menerus (setiap hari) tanpa berbuka.” Dan yang satu lagi berkata,” Sedangkan aku tidak akan mendekati wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka dan berkata: “Kaliankah yang tadi mengatakan ini dan itu? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka (tidak puasa), mengerjakan sholat malam dan tidur, serta menikahi wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1401).
Sumber: Buletin at-Taubah edisi 11
Nas alullaaha wal 'aafiyah.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More