Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari Kiamat.
Tidak Semua Iri itu Terlarang
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آَتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ
وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآناَءَ النَّهَارِ
“Tidak ada hasad (iri) –yang dianjurkan- kecuali dalam dua perkara: (yaitu) orang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu dia mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 815)
Hasad (iri) yang dimaksudkan dalam hadits ini berbeda dengan hasad (dengki) yang telah kami sampaikan di awal pembahasan tentang hasad. Para ulama kita biasa menyebut hasad dalam hadits ini dengan nama ghibthoh, yaitu ingin mendapatkan kenikmatan semisal dengan yang diperoleh orang lain, dan sama sekali tidak ada keinginan agar kenikmatan itu hilang dari orang yang mendapatkannya. Orang yang ghibthoh juga tidak benci apabila melihat orang lain mendapatkan nikmat.
Ketika menjelaskan hadits di atas, Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibthoh.” (Syarah Sunan Abu Dawud, hadits “iyyakum wa hasad”).
Hukum Ghibthoh
1. Ghibthoh dalam perkara dunia, hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Pada asalnya, ghibthoh dalam perkara dunia adalah mubah (boleh), seperti ingin memiliki kendaraan yang bagus serupa dengan milik saudaranya, atau keinginan yang semisal. Namun yang perlu kami sampaikan, bahwa sesuatu yang mubah akan menjadi tercela apabila berlebih-lebihan. Demikian pula ghibthoh dalam perkara dunia akan menjadi tercela apabila berlebihan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Qorun yang keluar kepada kaumnya dengan perhiasan yang sangat indah, bersama para pembantu dan pengawalnya. Kemudian kaumnya pun melihatnya dengan segenap kemewahan dunianya. Di saat itu orang yang hatinya dibuat mabuk dan condong kepada perhiasan dunia, berangan-angan dan berharap memiliki kekayaan dan kemewahan seperti yang dimiliki Qorun. Allah Ta’ala berfirman:
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِيْنَتِهِ قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوْتِيَ قَارُوْنُ إِنَّهُ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ (79)
“Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Qashash: 79).
Lalu perhatikanlah bagaimana sikap ahli ilmu ketika mendengar ucapan ini.
وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُوْنَ (80)
“Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar.” (QS. Al-Qashash: 80).
Ghibthoh dalam perkara dunia hukum asalnya adalah boleh, namun akan menjadi tercela ketika berlebihan, sehingga menjadikannya terlalu berharap, berangan-angan apalagi sampai berlomba-lomba dalam perkara dunia. Ghibthoh seperti ini tidak ada nilai kebaikannya. Dan sebagaimana dalam ayat di atas, ghibthoh yang seperti ini dicela oleh para ahli ilmu (ulama).
2. Ghibthoh dalam perkara akherat, hukumnya mustahab (dianjurkan)
Ada penjelasan yang sangat bagus dari imam an-Nawawi rahimahullah ketika beliau menjelaskan hadits di atas. Beliau mengatakan, “Ghibthoh adalah ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang diperoleh oleh orang lain, tanpa ada keinginan nikmat tersebut hilang dari saudaranya. Ghibthoh dalam perkara dunia hukumnya mubah (boleh). Adapun ghibthoh dalam perkara akherat, maka hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Hadits di atas menunjukkan bahwa ghibthoh yang dicintai oleh Allah Ta’ala adalah ghibthoh dalam dua perkara yang disebutkan dalam hadits ini atau yang semisal dengannya. (Disarikan dari Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, juz 6 hal. 97)
Ghibthoh dalam perkara akherat adalah perkara yang terpuji, karena akan menjadikan kita bersemangat dalam beramal.
Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu telah pergi membawa pahala yang banyak. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak bisa melakukannya).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟
إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً،
وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً،
وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap takbir (Allahu akbar) adalah shadaqah, setiap tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap tahlil (laa ilaha illallah) adalah shadaqah, menyeru kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan istrinya) juga shadaqah.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika di antara kami menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya) juga mendapatkan pahala?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ، كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Bagaimana pendapat kalian, seandainya ia menyalurkannya pada yang haram, bukanlah itu berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, dia juga akan mendapatkan pahala.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1006)
Anjuran Melihat Orang Yang Di Atas Dalam Perkara Akherat
Dalam perkara harta dan dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melihat orang-orang yang ada di bawah kita. Adapun dalam perkara akherat, hendaklah kita selalu memandang orang yang berada di atas kita. Kalau kita membandingkan amalan kita dengan amalan orang-orang mulia dari kalangan para Nabi, shiddiqqin, syuhada’ dan orang-orang sholih sebelum kita, tentu kita akan tahu bahwa amal kita masih kalah jauh dibanding mereka. Mereka memiliki keutamaan yang besar dalam amal kebaikan, baik dalam amalan shalat, puasa, sedekah, dan amal sholih lainnya.
Kaum muslimin yang kami muliakan, mereka adalah suri tauladan yang baik bagi kita. Marilah kita bersemangat mengikuti jejak mereka dalam kebaikan. Marilah kita berlomba-lomba dalam meraih kemuliaan sebagaimana Allah Ta’ala telah memerintahkan kita berlomba-lomba dalam perkara semacam ini.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الأَبْرَارَ لَفِي نَعِيْمٍ (22) عَلَى الأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ (23)
تَعْرِفُ فِي وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ (24)
يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيْقٍ مَخْتُوْمٍ (25)
خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ (26)
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (Surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamr murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifiin: 22-26)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “(Yakni) berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amal shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi, hal. 578)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ (48)
“Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan.” (QS. Al-Ma’idah: 48)
Nasehat Indah Ulama Kita Terdahulu
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Wahib bin Al-Warid rahimahullah mengatakan, “Jika kamu mampu mengungguli orang lain dalam perlombaan menggapai ridho Allah, maka lakukanlah.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Sebagian ulama mengatakan, “Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia bersedih karena telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Sumber: Buletin at-Taubah edisi 17
Muroja’ah : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
Nas alullaaha wal 'aafiyah.
0 comments:
Post a Comment