Share
div id='fb-root'/>

Kaya tidak diukur dengan banyaknya harta

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bertakwa itu dimana saja

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”(HR Tirmidzi 1987)

Mudahkan Kesulitan Saudara Kita

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”(HR Muslim 2699)

Segeralah Bertaubat

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Bersemangatlah untuk Beramal Shalih

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)

Friday, September 28, 2012

Keutamaan Beramal di 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Bulan Dzulhijjahtak lama lagi tiba. Di dalamnya terdapat sepuluh hari yang istimewa. Beramal ṣālih pada hari-hari itu memiliki keutamaan yang sangat besar di sisi-Nya. Semoga Allah memberikan semangat kepada kita untuk mengisi hari-hari tersebut dengan kebaikan dan mengejar kemuliaan karena-Nya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhumā, dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Tidaklah ada hari-hari yang beramal salih pada saat itu lebih dicintai Allāh daripada sepuluh hari ini.”
Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah jihad fi sabilillāh juga tidak bisa menandinginya?”
Beliau menjawab, “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki yang berangkat dengan membawa jiwa dan hartanya, lalu pulang tanpa membawa sedikitpun darinya.”
(HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Syaikh Abdullah al-Fauzan berkata,
“Hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal ṣalih pada hari-hari itu -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah  adalah lebih dicintai Allāh ta’ālā daripada amal serupa yang dikerjakan pada hari-hari yang lain. Ini menunjukkan keutamaan beramal ṣālih pada waktu itu dan besarnya pahala atasnya. Dan bahwasanya seluruh amal salih akan dilipatgandakan pahalanya tanpa ada pengecualian sedikit pun darinya.” (lihat Ahadits ‘Asyara Dzil Hijjah, hal. 5-6)
Beliau juga menyebutkan berbagai amalan yang bisa kita lakukan pada hari-hari tersebut, yaitu:
  1. Memperbanyak sholat sunnah, sedekah atau amal salih apapun bentuknya semacam berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, taubat yang tulus, kembali taat (inabah) dengan sebaik-baiknya, dan lain sebagainya
  2. Memperbanyak dzikir kepada Allāh, bertakbir, dan membaca al-Qur’an
  3. Berpuasa, meskipun memang tidak ada dalil khusus yang sahih mengenai perintah untuk berpuasa pada sembilan hari pertama. Akan tetapi puasa termasuk amal salih yang paling utama dimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk melaksanakannya; sehingga anjuran berpuasa pada sembilan hari pertama dipetik berdasarkan keumuman dalil yang ada
  4. Menunaikan ibadah haji dan umrah. Kedua amalan ini termasuk amal yang paling utama
  5. Bersemangat untuk menunaikan ibadah qurban dan tidak meremehkannya karena begitu besarnya pahala qurban di sisi Allah ta’ala (lihat Ahadits ‘Asyara Dzil Hijjah, hal. 7)
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu’anhumā, beliau berkata,
“Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menetap di Madinah selama sepuluh tahun dan beliau senantiasa berqurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, sanadnya hasan)
Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya udh-hiyah/berqurban ataukah ia termasuk sunnah mu’akkad. Dan yang lebih hati-hati adalah hendaknya seorang muslim tidak meninggalkannya apabila dia memang berkemampuan untuk melakukannya (lihat Ahadits ‘Asyara Dzil Hijjah, hal. 21)
Dari Abu Qotadah al-Anshari radhiyallāhu’anhu, bahwasanya suatu saat Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai keutamaan puasa pada hari Arafah. Beliau menjawab,
“Pahalanya adalah menghapuskan dosa setahun yang lampau dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)
Puasa hari Arafah hanyalah dianjurkan bagi para penduduk negeri yang lain, adapun bagi para jama’ah haji tidaklah dianjurkan untuk berpuasa pada hari itu dalam rangka meneladani Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
(lihat Ahadits ‘Asyara Dzil Hijjah, hal. 33)
Wallahu a’lam.
—-
* sumber ilustrasi gambar: http://t.co/fG6Ll1Vv


Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Untuk Kita Renungkan

Setiap tubuh manusia di dalamnya terdapat segumpal darah yang terletak di dalam dadanya. Hati itulah kebanyakan dari manusia menyebutnya. Hati merupakan tempat penglihatan Allah atas hambaNya.  Hati adalah tempatnya niat yang dengannya diterima atau ditolaknya suatu amalan dhohir.  Hati adalah tempat yang dengannya mengenal Alloh, mencintaiNya, takut, berharap dan bertawakkal kepadaNya. Sehingga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan berkenaan dengan segumpal darah yang ada pada setiap tubuh manusia tersebut dengan sabdanya :
ألا وَإنَّ في الجسدِ مُضْغَة إذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّه وَإذا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلَّهُ ألا وَهيَ القَلْبُ
Dan ketahuilah sesungguhnya pada tubuh manusia itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota badannya, dan jika ia rusak rusaklah seluruh anggota tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.Hadits Riwayat Bukhory dan Muslim dari sahabat An-Nu’man bin Basyir –radziallahu’anhuma-
Ibnul Qoyyim –Rahimahullah- menyebutkan : Sesuatu yang paling mulia pada tubuh manusia adalah hatinya, Hati adalah yang mengenal Alloh Ta’aala yang senantiasa berusaha tertuju kepadaNya dan yang senantiasa berusaha untuk mencintaiNya, Hati adalah tempatnya iman dan pengetahuan, ia yang diajak berbicara dan yang diutus kepadanya para Rasul, yang dikhususkan dengan pemberian yang paling utama yaitu keimanan dan akal.Adapun seluruh anggota badan hanyalah mengikuti hati dan melayani hati tersebut….- sampai akhir ucapan beliau –
Kegalauan, rasa gundah gulana dan yang kemudian berakibat menjadikan kerasnya hati bak kerasnya batu atau bahkan lebih keras dari batu , adalah disebabkan karena ketertipuan dengan berbagai perhiasan dunia dan pernak-pernik dari fitnah dunia.  Memberikan kebanyakan dari waktunya untuk mencari dunia dan bersenang-senang terhadap perkara dunia yang telah dicapainya. Dan sedikitnya sikap untuk menghadiri halaqoh ilmu dan merasa cukup dengan apa yang ia ketahui dari urusan agamanya.
Belum lagi, dari dunia luar mengancam berbagai hal-hal yang lebih akan memalingkan lagi, yaitu hal-hal yang secara hukum syari’ah mewajibkan untuk menjauhinya. Dulunya sebagian rumah-rumah kaum muslimin dengan kesadarannya sehingga selamat dari perkara yang melalaikan, dengan dikeluarkannya dari rumah tersebut suatu benda berupa televisi dan yang semisalnya. Akan tetapi suatu musibah yang menimpa di zaman ini, bahwa benda dari dunia luar tersebut bukan lagi masuk ke rumah-rumah kaum muslimin akan tetapi sekarang telah masuk ke saku-saku baju anak-anak kaum muslimin.
Para orang tua, para bapak, para ibu dan segenap kaum muslimin di hadapan kita semua terdapat tantangan baru, kelanjutan episode yang telah lalu. Kalau kisah episode yang telah lalu ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya ketika bermain di tempat kakek-neneknya : Nak, di tempat simbah dilarang nonton televisi ya ! Awas nanti saya tanya kepada mbah… atau ungkapan semisalnya. Adapun episode sekarang dan mendatang bagaimana para orang tua akan menasihati anak-anak mereka. Jawabannya adalah kembali kepada para orang tua tersebut yang sadar dan yang memiliki kepedulian atas pendidikan dan akhlak anak-anak mereka masing-masing. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya :
كُلُّ مَولودٍ يولَدُ عَلى فطرةٍ فأبواهُ يُهوِّدانه أو يُنَصِّرانِهِ أو يُمجِّسانِهِ
Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikan anak-anak mereka itu apakah sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau seorang Majusi.
Peran wanita shalihah apakah kedudukannya sebagai dirinya sendiri atau kedudukannya sebagai seorang isteri atau kedudukannya sebagai seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar terhadap perilaku dan akhlak generasi anak-anak kaum muslimin.
Wanita shalihah sebagai dirinya sendiri ia akan memulai dari dirinya untuk memerangi jiwanya berupaya menjalankan setiap perintah dan berupaya menjauhi setiap larangan Allah dan RasulNya. Senantiasa ia memohon kepada Alloh Ta’aala dengan panjatan doa sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallahu’alaihi Wa Sallam dalam setiap khutbah hajah beliau :
وَنَعُوذ باللهِ مِنْ شُرورِ أنفُسِنا وَمِنِ سَيِّاتِ أعْمالنا
Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami.
Seorang wanita shalihah akan senantiasa menghisab jiwanya dan menyelisihi dari setiap seruan kejelekan dari jiwanya. ‘Umar bin al-Khaththab berkata : Hisablah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah jiwa-jiwa kalian sebelum ditegakkan timbangan kepada kalian, sungguh yang demikian itu lebih ringan untuk menghadapi penghisaban di hari esok (kiamat), dan timbanglah jiwa-jiwa kalian untuk menghadapi hari dihadapkan seluruh amalan (hari kiamat) nanti.Firman Allah Ta’aala :
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu) tidak ada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah Ta’aala). (Al-Haaqah : 18 ).
Perkara yang sangat pantas menghiasi diri seorang wanita shalihah adalah tidak lalai dari menghisab jiwanya dan senantiasa menghisab jiwanya apakah pada setiap gerak-gerik tindakannya, setiap langkah kakinya, dan bahkan di saat diamnya. Firman Allah Ta’aala :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan ia menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.(An-Naazi’aat : 40-41).
Wanita shalihah senantiasa berupaya melakukan sebab-sebab yang akan melunakkan hatinya, dan sebesar-besar sebab perkara untuk melunakkan hati adalah senantiasa membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, firman Allah Ta’aala :
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (Qaaf : 37).
Dan Firman Allah Ta’aala :
فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ
Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.(Qaaf : 45)
Dan wanita shalihah adalah seorang yang cermat di dalam memilih sahabat dekat , terlebih di dalam menimba  ilmu agama ini dari siapa  ia mengambilnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
المَرْءُ  مَعَ دِينِ خَليلِه
Seseorang itu bersama agama teman dekatnya.
Firman Allah Ta’aala :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh. Lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri-diri mereka sendiri, mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.(Al-Hasyr : 19).
Sehingga demikian pula seorang wanita shalihah adalah menghindari dan menjauhkan diri dari berteman kepada orang-orang yang berlaku kejelekan dan para pelaku kemaksiatan, karena sesungguhnya seseorang itu adalah siapa yang menjadi teman dekatnya, dan di dalam mengenali seeorang janganlah bertanya kepada seseorang tersebut akan tetapi bertanyalah tentang siapa teman dekat seseorang yang ingin kalian kenal tersebut.
Fenomena berteman secara acak, telah disuguhkan pada jejaring social yang bernama Facebook dan yang semisalnya, akankah wanita muslimah yang masih dipenuhi rasa malu untuk nimbrung di dalamnya? Terlebih kedudukan sebagai wanita shalihah.
Masih banyak sarana untuk mendapatkan ilmu agama ini dengan perkara yang lebih selamat. Tidaklah  semua perkara yang mubah mesti  harus digunakan, apalagi perkara yang mubah tersebut jelas membawa kepada kemudharatan agamanya.  Na’uudzu billahi min kulli syarrin.


Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Thursday, September 27, 2012

Kenapa Pemuda Kita Banyak yang Menyimpang?



Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Faktor Penyebab Tawuran

Baru-baru ini kita mulai dipanaskan kembali dengan budaya tawuran di antara para pelajar. Sampai-sampai terjadi korban jiwa. Dan sungguh sadis, tawuran kali ini bukan hanya dengan main tangan, tetapi lebih dari itu menggunakan senjata tajam.
Sebenarnya ada beberapa faktor yang kami amati sebagai penyebab tawuran, yaitu kami bagi menjadi faktor internal maupun eksternal.
Faktor Internal
1- Kurangnya didikan agama
Faktor internal yang paling besar adalah kurangnya didikan agama.  Jika pendidikan agama yang diberikan mulai dari rumah sudahlah bagus atau jadi perhatian, tentu anak akan memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak mulia inilah yang dapat memperbaiki perilaku anak. Ketika ia sudah merasa bahwa Allah selalu mengamatinya setiap saat dan di mana pun itu, pasti ia mendapatkan petunjuk untuk berbuat baik dan bersikap lemah lembut. Inilah keutamaan pendidikan agama. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037). Jika anak diberikan pendidikan agama yang benar, maka pasti ia akan terbimbing pada akhlak yang mulia. Buah dari akhlak yang mulia adalah akan punya sikap lemah lembut terhadap sesama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
مَا كَانَ الرِّفْقُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ عُزِلَ عَنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu lepas melainkan ia akan menjelekkannya.” (HR. Ahmad 6: 206, sanad shahih).
Jadi tidak semua anak mesti cerdas. Jika cerdas namun tidak memiliki akhlak mulia, maka ia pasti akan jadi anak yang brutal dan nakal, apalagi jika ditambah jauh dari agama.
2- Pengaruh teman
Faktor lainnya yang ini masih masuk faktor internal adalah lingkungan pergaulan yang jelek. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana pengaruh lingkungan yang jelek terhadap diri anak,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa). Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”
Biasanya karena pengaruh teman, takut dibilang “cupu loe ga mau ikut tauran, punya nyali ga loe..??” atau “ini kan buat kebaikan sekolah kita, klo loe ga ikut mending ga usah jadi temen gue”. Kalau anak sudah memiliki agama yang bagus ditambah ia tahu bagaimana pergaulan yang buruk mesti dijauhi, ditambah dengan ia tidak mau perhatikan ucapan kawannya atau kakak angkatannya “cupu” atau “culun”. Tentu ia tidak mau terlibat dalam tawuran.
Faktor Eksternal
Selain faktor internal faktor eksternal secara tidak langsung mendorong para pelajar pelajar untuk melakukan aksi tawuran. Di antara faktor tersebut:
1- Kurangnya perhatian orang tua.
Saat ini pendidikan anak sudah diserahkan penuh pada sekolah. Orang tua (ayah dan ibu) hanya sibuk untuk cari nafkah mulai selepas fajar hingga matahari tenggelam. Sehingga kesempatan bertemu dan memperhatikan anak amat sedikit. Jadinya, tempat curhat dan cari perhatian si anak adalah pada teman-temannya. Kalau yang didapat lingkungan yang jelek, akibatnya ia pun akan ikut rusak dan brutal. Beda halnya jika ibunya berdiam di rumah. Tentu dia akan lebih memperhatikan si anak. Inilah mengapa di antara hikmah Allah memerintahkan wanita untuk berdiam di rumah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33). Karena pendidikan dalam rumah lebih dibebankan pada para wanita. Sedangkan pendidikan luar rumah atau pendidikan kemasyarakatan, itulah yang dibebankan pada para pria.
2- Faktor ekonomi
Biasanya para pelaku tawuran adalah golongan pelajar menengah ke bawah. Disebabkan faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat membuat mereka melampiaskan segala ketidakberdayaannya lewat aksi perkelahia. Karena di antara mereka merasa dianggap rendah ekonominya dan akhirnya ikut tawuran agar dapat dianggap jagoan.
Jika anak walau ia berekonomi menengah ke bawah menyadari bahwa tidak perlu iri pada orang yang berekonomi tinggi karena seseorang bisa mulia di sisi Allah adalah dengan takwa. Pemahaman seperti ini tentu saja bisa didapat jika si anak mendapatkan pendidikan agama yang baik.
Jadi, yang terpenting dari ini semua adalah tarbiyah (pendidikan) agama dan pembinaan iman, ini faktor penting yang membuat anak tercegah dari tawuran, di samping pula perhatian orang tua.
Semoga kita sebagai orang tua bisa menyadari hal ini. Wallahu waliyyut taufiq.

@ KSU, Riyadh, KSA, 11 Dzulqo’dah 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Jangan Putus Asa!

Jangan Putus Asa!

Dosa, sebuah perkara yang meresahkan hati insan beriman. Keberadaannya tidak menjadikan tentram. ‘Memelihara’ dosa sama saja dengan menyimpan bom waktu, yang suatu ketika akan menghancurkan kebahagiaan seorang hamba. Di antara tipuan setan kepada orang-orang yang berdosa adalah perasaan putus asa dari rahmat dan ampunan-Nya sehingga merasa tidak ada lagi harapan dan cita-cita untuk bertaubat kepada-Nya. Aduhai, apakah kita ragu akan kasih sayang dan ampunan-Nya?
Saudaraku seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Ketahuilah, Allāh ta’āla telah berfirman (yang artinya),
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allāh. Sesungguhnya Allāh mengampuni segala macam dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar: 53)
Kapan saja seorang hamba terjerumus dalam dosa,  Allāh ta’āla tetap bentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat mereka. Dari Abu Musa raḍiyallāhu’ anhudari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allāh ‘azza wa jalla senantiasa membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu siang dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu malam, sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim no. 2759).
Selama matahari masih terbit dari arah timur dan nyawa belum ada di tenggorokan, pintu taubat selalu terbuka. Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu’ anhu, Rasulullahṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang bertaubat sebelum terbitnya matahari dari arah tenggelamnya niscaya Allāh masih menerima taubatnya.” (HR. Muslim no. 2703)
Sebesar apapun dosa, selama seorang hamba tulus bertaubat kepada Allāh ta’āla, niscaya Allah pun akan mencurahkan maghfirah-Nya. Dari Abu Sa’id al-Khudri raḍiyallāhu’ anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dahulu di kalangan Bani Isra’il ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 jiwa manusia. Kemudian dia pun keluar dan mendatangi seorang rahib, lalu dia bertanya kepada rahib itu. Dia mengatakan, “Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Rahib itu menjawab, “Tidak.” Maka lelaki itu pun membunuhnya.
Setelah itu, ada seseorang yang memberikan saran kepadanya, “Datanglah ke kota ini dan itu.” Kemudian, di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba ajal menjemputnya. Dia meninggal dalam keadaan dadanya condong ke arah kota tujuannya.
Terjadilah pertengkaran antara Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Allāh pun mewahyukan kepada kota yang satu, “Mendekatlah.” Dan Allah mewahyukan kepada kota yang lainnya, “Menjauhlah.” Lalu Allah memerintahkan, “Ukurlah berapa jarak antara keduanya.” Ternyata didapati bahwa lelaki tersebut lebih dekat sejengkal dengan kota yang baik; maka diampunilah dia.” (HR. Bukhari no. 3470 dan Muslim no. 2766, ini lafal Bukhari)
Allāh ta’āla pun sangat bergembira dengan taubat yang ikhlas dari seorang hamba. Dari Anas bin Malik raḍiyallāhu’ anhu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, Allāh jauh lebih bergembira terhadap taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang dari kalian yang suatu saat mengendarai hewan tunggangannya di padang yang luas, namun tiba-tiba hewan itu lepas darinya. Padahal, di atasnya terdapat makanan dan minumannya. Dia pun berputus asa untuk bisa mendapatkannya kembali. Lalu dia mendatangi sebuah pohon kemudian berbaring di bawah naungannya dengan perasaan putus asa dari memperoleh tunggangannya tadi. Ketika dia sedang larut dalam perasaan semacam itu, tiba-tiba hewan tadi telah ada berdiri di sisinya. Lalu dia pun meraih tali pengikat hewan tadi, dan karena saking bergembiranya dia pun berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.’ Dia salah berucap gara-gara terlampau gembira.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747, lafal milik Muslim)
Dosa di mata Seorang Mukmin
Bagi seorang mukmin, dosa adalah petaka di dalam kehidupannya. Sehingga sekecil apapun dosa, maka itu pasti melukai hati dan perasaannya. Abdullah bin Mas’ud raḍiyallāhu’ anhu berkata,
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang duduk di bawah kaki bukit dan khawatir kalau-kalau bukit itu akan runtuh menimpanya.”
Adapun orang yang fajir/pendosa maka dia melihat dosa-dosanya seolah-olah seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya lalu dia usir dengan cara begini.”
Abu Syihab -salah seorang periwayat- berkata, “Maksudnya adalah dengan sekedar menggerakkan tangan di atas hidungnya.” …
(HR. Bukhari no. 6308)
Istighfar Nabi
Apa yang membuat kita malas bertaubat? Padahal Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam saja -manusia yang paling dalam ilmunya, paling bertakwa, dan paling takut kepada Allah- senantiasa bertaubat dan beristighfar kepada Allah puluhan kali setiap harinya.
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu’ anhu- Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allāh, sesungguhnya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari no 6307)
Dari al-Agharr al-Muzani -raḍiyallāhu’ anhu- Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allāh. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no 2702)
an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menjelaskan kandungan hadits ini,
“Adapun kita -apabila dibandingkan dengan Nabi- maka sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istighfar dan taubat -daripada beliau-…” (Syarh Muslim [8/293]).
Ya Allāh, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.

Oleh seorang hamba yang berlumuran dengan dosa
-semoga Allāh mengampuni dosa dan kesalahannya-
___
* sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/dZQp9

By 



Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Melakukan Perbuatan yang Tidak Pernah Dilakukan Nabi

Melakukan Perbuatan yang Tidak Pernah Dilakukan Nabi

كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه
“Semua perbuatan yang “sebab” mengerjakannya ada pada zaman rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam,namun beliau tidak mengerjakannya, maka yang disyariatkan adalah meninggalkan perbuatan tersebut.”
(Kaidah Fiqh)
Muqaddimah
Setiap pemuda muslim niscaya paham bahwa sebagai utusan Allāh ta’āla, segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan yang patut diikuti, baik perbuatan yang menjadi ibadah wajib maupun sekadar sunnah saja. Namun, bagaimana jika nabi di zaman itu tidak melakukansuatu perbuatan, apakah kita di zaman sekarang ini juga diharuskan tidak melakukan semua perbuatan yang tidak dikerjakan nabi?
Dari pertanyaan di atas, muncul berbagai kasus semisal berikut:
  • Perayaan maulid Nabiisra’ mi’rajnuzulul qur’an, dan selamatan kematian semuanya tidak dilakukan nabi di zamannya. Bolehkah dilakukan di zaman sekarang?
  • Menunaikan ibadah haji menggunakan mobil atau pesawat, kemudian menggunakan microphone berserta pengeras suara untuk adzan juga tidak dilakukan nabi di zamannya. Apakah ini tidak boleh dilakukan di zaman sekarang karena dulu nabi tidak melakukannya?
Bagaimana menjawab permasalahan di atas?

Pembahasan
Perlu diketahui bahwa perbuatan yang tidak dikerjakan nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa kemungkinan kasus, sebagai berikut.
Pertama: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan, padahal ada sebab dan tuntutan untuk mengerjakannya di zaman beliau, dan tidak ada yang menghalangi beliau untuk melakukannya. Perbuatan dalam kasus pertama ini, harus ditinggalkan dan tidak boleh diamalkan. Jika mengerjakannya termasuk melakukan bid’ah (perbuatan mengada-ada dalam ibadah yang tidak ada contohnya dari nabi) yang terlarang.
  • Contohnya adalah melakukan ritual perayaan maulid nabi. Ritual ini tidak pernah dilakukan nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tuntutan zaman sekarang untuk mengingat momen kelahiran nabi pun ada pula di zaman nabi. Kemudian, tidak ada satupun yang menghalangi nabi untuk melakukannya. Artinya, Andai nabi mau, beliau bisa dengan mudah melakukannya karena merayakan kelahiran sangat mudah, tidak ada penghalang yang susah.
  • Meskipun demikian, nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memperingati hari kelahirannya sendiri. Bahkan, manusia yang mendapatkan pengajaran langsung dari nabi, yaitu para shahabat nabi pun tidak ada yang mengamalkan ritual maulid nabi. Oleh karena itu, perbuatan ini termasuk bid’ah terlarang, tidak boleh dilakukan, dan harus ditinggalkan.
  • Selain maulid nabi, perbuatan yang serupa dengan kasus pertama ini, dan banyak terjadi di tengah masyarakat kita adalah isra’ mi’raj, nuzulul qur’an, dan selamatan kematian. Semuanya harus ditinggalkan karena termasuk bid’ah yang sesat dan terlarang.
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak.”  (H.R al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.”
Nabi  ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ 
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(H.R. Abu Dawud)

Kedua: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan padahal ada tuntutan untuk mengerjakannya, namun ada yang menghalangi beliau untuk melakukannya.Dalam kasus kedua ini, apa yang ditinggalkan nabi bukanlah termasuk sunnah. Akan tetapi, suatu saat nanti jika penghalang tersebut hilang, perbuatan tersebut boleh dikerjakan.
  • Contoh: Nabi ketika menunaikan ibadah haji, tidak mengendarai mobil atau pesawat. Di zaman beliau, pennyampaian adzan juga tidak menggunakan microphone dan pengeras suara.
  • Di zaman itu, tuntunan untuk menunaikan ibadah haji sudah ada, hanya saja belum ada (belum ditemukan)  mobil atau pesawat. Di zaman itu pula, tuntutan agar kaum muslimin mendengar suara adzan sebagai tanda waktu shalat telah tiba, sudah ada, hanya saja belum ada microphone dan pengeras suara.
  • Hal yang menghalangi beliau untuk naik mobil atau pesawat dan menggunakan microphone – pengeras suara ketika adzan adalah benda-benda ini belum ada (belum ditemukan) ketika itu.
  • Dengan demikian, perbuatan naik mobil/pesawat untuk menunaikan ibadah haji dan menggunakan microphone – pengeras suara ketika adzan di zaman sekarang ini, tidak termasuk bid’ah, sehingga jika dilakukan tidak apa-apa.
Ketiga: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan karena tidak ada tuntutan untuk mengerjakannya.Dalam kasus ini, yang sunnah adalah tidak mengerjakan perbuatan tersebut, sebagaimana nabi juga tidak mengerjakannya. Akan tetapi, jika suatu saat nanti ada tuntutan syar’i untuk mengerjakannya, maka boleh dikerjakan.
  • Contoh: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan pencatatan hadits. Beliau menyampaikan ilmu kepada para shahabat melalui lisan beliau, tetapi beliau sendiri tidak mencatat ilmu yang telah disampaikan. Tidak ada tuntutanuntuk melakukannya karena para shahabat ketika mendapatkan ilmu dari nabi, mereka langsung mempraktekkannya dan mengingat-ingatnya / menghafalnya dalam dada-dada mereka. Baru, di zaman ‘Utsman bin Affanraḍiyallāhu ‘anhu, dilakukan pencatatan dan pembukuan Al-Qur’an. Kemudian, di zaman ‘Umar bin Abdil Aziz raḥimahullāh dilakukan pembukuan hadits. ‘Utsman melakukan itu karena adanya tuntutan agar ilmu Al-Qur’an tidak hilang setelah banyaknya penghafal Al-Qur’an yang meninggal dunia, sedangkan ‘Umar bin Abdil Aziz melakukannya juga  karena adanya tuntutan agar ilmu hadits tidak hilang.
  • Perbuatan ‘Utsman dan ‘Umar tersebut tidak termasuk bid’ah, tetapi justru hal yang syar’i dikerjakan karena memang ada tuntutan syar’i untuk melakukannya.
Keempat: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan karena adanya “sebab tertentu”. Dalam kasus ini, hukum melakukan perbuatan tersebut tergantung pada ada atau tidak adanya “sebab tertentu” tersebut. Jika “sebab tertentu” itu masih ada, tidak boleh mengerjakannya. Namun, jika “sebab tertentu” tersebut telah hilang, baru diperbolehkan mengerjakan perbuatan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i yang berhubungan dengannya.
  • Contoh: Dulu, nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat tarawih berjama’ah di masjid selama tiga atau empat malam. Pada malam berikutnya, beliau tidak ke masjid, padahal jama’ah telah penuh di masjid. Setelah shalat shubuh, beliau bersabda,
فإنه لم يخف علي مكانكم لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها
“Bukannya saya tidak mengetahui keberadaan kalian, namun saya khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”
(H.R. Bukhari)
  • Dalam hadits di atas, diketahui bahwa nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat tarawih berjama’ah “karena satu sebab”, yaitu khawatir shalat tarawih akan diwajibkan, sedangkan jika diwajibkan bisa jadi kaum muslimin nanti tidak mampu melaksanakannya.
  • Kemudian, setelah nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat, ‘Umar bin Al-Khaṭṭab raḍiyallāhu’ anhu memerintah kaum muslimin untuk kembali menunaikan shalat tarawih berjama’ah. Yang dilakukan ‘Umar ini benar, karena “sebab” untuk meninggalkan shalat tarawih berjama’ah (yaitu: khawatir akan diwajibkan) telah hilang. Masa pensyariatan dan turunnya wahyu hanya ada semasa nabi masih hidup, dan berakhir dengan wafatnya nabi. Oleh karena itu, jika semasa hidup hingga wafatnya nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak ada pensyariatan dari Allāh bahwa shalat tarawih berjama’ah diwajibkan, hukum shalat tarawih tetap menjadi sunnah. Sikap Umar memerintah kaum muslimin melakukan shalat tarawih berjama’ah tidak salah dan bukan termasuk bid’ah karena pada asalnya shalat tarawih berjama’ah memang pernah dilakukan nabi. Di samping itu, setelah nabi meninggal dunia, kaum muslimin telah tahu bahwa shalat tarawih berjama’ah adalah sunnah, bukan wajib.

Kesimpulan:
Intinya, jika kita akan mengerjakan suatu perbuatan, yang perbuatan ini dulu tidak dikerjakan nabi semasa hidupnya, bermuara pada dua hal, menjadi perbuatan halal atau perbuatan bid’ah yang sesat dan terlarang.
Untuk menentukan mana yang bid’ah dan mana yang bukan, uraian di atas dapat disingkat dengan kaidah fiqh berikut ini:
كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه
“Semua perbuatan yang “sebab” mengerjakannya ada pada zaman rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak mengerjakannya,  yang disyariatkan adalah meninggalkan perbuatan tersebut.”

Referensi:
  • Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud via software Al-Maktabah Asy-Syamilah.
  • Kitab تلقيح الافهام العلية بشرح القواعد الفقهية /talqīḥul afhāmul ‘aliyyah bi syarḥil qawā’idil fiqhiyyah/, karya وليد بن راشد السعيدان /Walīd bin Rāsyid As-Su’aidān/.
  • Penjelasan Ustadz Ahmad Sabiq mengenai kaidah كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه dalam majalah Al-Furqon, edisi 9/1431.
  • referensi ilustrasi gambar: http://ht.ly/dXPB5

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Saya ini Sedang Futur...

 Saya ini sedang futur
Terbukti dengan ogah-ogahan
Saya datang ke pengajian tiap pekan
Terbukti dengan alasan-alasan klasik
Kuliah, lelah, sibuklah, tugas menumpuklah, inilah, itulah
Saya ini sedang kalah

Saya ini sedang futur
Lihat penampilan saya yang banyak berubah 
Kaki tanpa kaus kaki
Sudah mulai tabaruj (berdandan)
Jilbab semakin naik

Saya ini sedang futur
Jarang baca buku tentang Islam dan Al-Quran
Lagi demen baca novel, komik dan majalah wanita

Saya ini sedang futur
Walau takut adzab
Tak pernah sekali terisak
Malah senang terbahak-bahak

Saya ini sedang futur
Malas berusaha, malas berdoa
Ingin pasrah tanpa usaha
Dan berharap bantuan manusia

Saya ini sedang futur
Lihat perut saya makin buncit
Karena junk food dan pangsit
Kalau infak sedikit sudah mulai pelit

Saya ini sedang futur
Sibuk ngurusin kuliah dan pekerjaan
Acuh berbuat untuk umat

Saya ini sedang futur
Senang disanjung
Dikritik murung

Saya ini sedang futur
Saya sukar bangun malam, tafakur
Lebih senang peluk guling dan mendengkur

Saya ini sedang futur
Malas bangun ngurus keluarga
Rajin menggunjing tetangga
Sedikit sekali muhasabah
Malah banyak menggibah
Ya memang saya sedang futur

Kenapa saya futur ????
Karena tidak ada seorang sahabatpun yang menegur dan menghibur
Kenapa batas-batas sudah mulai kendur???
Kenapa kepura-praan kebasa-basian semakin subur?
Kenapa diantara kita sudah mulai tidak jujur???
Kenapa diantara kita sudah mulai ngawur???
Kenapa ukhuwah diantara kita sudah mulai hancur???
Kenapa ada diantara kita ada yang tidur mendengkur dan kufur??
Kenapa diantara kita hanya pandai bertutur???

Ya Allah, pintaku……
Berikanku pelipur dan pengibur
Agar aku tidak semakin futur dan tersungkur.

Saudariku……
Futur adalah suatu penyakit yang dapat menimpa seseorang (dalam bentuk perbuatan). Tingkatan paling rendah adalah berupa kemalasan, menunda-nunda atau memperlambat diri. Sedangkan puncak kefuturan adalah terhenti sama sekali setelah sebelumnya rajin dan terus bergerak.
Dengan apa hendak kita obati KEFUTURAN…??
Dengan I’tikad yang kuat, mengembalikan hati pada Sang penggenggam hati dan mengadzamkan niat untuk kembali pada jalan kebenaran dan tidak tidak kembali pada jalan kefuturan. Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan. Barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) pada sunnahku maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.” (H. R. Imam Ahmad)

Saudariku,…….
Mari kita bangkit dari lembah keFUTURan dengan memulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadist, “Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya.” Kebeningan hati, ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh ntuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada semangat untuk beramal yang tinggi.

Tetaplah semangat saudariku… ^^
Semoga Allah memudahkan kita dalam melakukan ketaatan, serta semoga kita selalu di istiqomahkan dalam jalanNya yang lurus…
Ingatlah, Syurga itu mahal…… ^_^

Sumber: http://smpitru.blogspot.com/2009/11/nasihat-untuk-para-futurisme.html

(dengan sedikit perubahan)
via widyanuradinasafitri.tumblr.com

dari note fb

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More