Share
div id='fb-root'/>

Thursday, September 27, 2012

Melakukan Perbuatan yang Tidak Pernah Dilakukan Nabi

Share on :

Melakukan Perbuatan yang Tidak Pernah Dilakukan Nabi

كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه
“Semua perbuatan yang “sebab” mengerjakannya ada pada zaman rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam,namun beliau tidak mengerjakannya, maka yang disyariatkan adalah meninggalkan perbuatan tersebut.”
(Kaidah Fiqh)
Muqaddimah
Setiap pemuda muslim niscaya paham bahwa sebagai utusan Allāh ta’āla, segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan yang patut diikuti, baik perbuatan yang menjadi ibadah wajib maupun sekadar sunnah saja. Namun, bagaimana jika nabi di zaman itu tidak melakukansuatu perbuatan, apakah kita di zaman sekarang ini juga diharuskan tidak melakukan semua perbuatan yang tidak dikerjakan nabi?
Dari pertanyaan di atas, muncul berbagai kasus semisal berikut:
  • Perayaan maulid Nabiisra’ mi’rajnuzulul qur’an, dan selamatan kematian semuanya tidak dilakukan nabi di zamannya. Bolehkah dilakukan di zaman sekarang?
  • Menunaikan ibadah haji menggunakan mobil atau pesawat, kemudian menggunakan microphone berserta pengeras suara untuk adzan juga tidak dilakukan nabi di zamannya. Apakah ini tidak boleh dilakukan di zaman sekarang karena dulu nabi tidak melakukannya?
Bagaimana menjawab permasalahan di atas?

Pembahasan
Perlu diketahui bahwa perbuatan yang tidak dikerjakan nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa kemungkinan kasus, sebagai berikut.
Pertama: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan, padahal ada sebab dan tuntutan untuk mengerjakannya di zaman beliau, dan tidak ada yang menghalangi beliau untuk melakukannya. Perbuatan dalam kasus pertama ini, harus ditinggalkan dan tidak boleh diamalkan. Jika mengerjakannya termasuk melakukan bid’ah (perbuatan mengada-ada dalam ibadah yang tidak ada contohnya dari nabi) yang terlarang.
  • Contohnya adalah melakukan ritual perayaan maulid nabi. Ritual ini tidak pernah dilakukan nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tuntutan zaman sekarang untuk mengingat momen kelahiran nabi pun ada pula di zaman nabi. Kemudian, tidak ada satupun yang menghalangi nabi untuk melakukannya. Artinya, Andai nabi mau, beliau bisa dengan mudah melakukannya karena merayakan kelahiran sangat mudah, tidak ada penghalang yang susah.
  • Meskipun demikian, nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memperingati hari kelahirannya sendiri. Bahkan, manusia yang mendapatkan pengajaran langsung dari nabi, yaitu para shahabat nabi pun tidak ada yang mengamalkan ritual maulid nabi. Oleh karena itu, perbuatan ini termasuk bid’ah terlarang, tidak boleh dilakukan, dan harus ditinggalkan.
  • Selain maulid nabi, perbuatan yang serupa dengan kasus pertama ini, dan banyak terjadi di tengah masyarakat kita adalah isra’ mi’raj, nuzulul qur’an, dan selamatan kematian. Semuanya harus ditinggalkan karena termasuk bid’ah yang sesat dan terlarang.
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak.”  (H.R al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.”
Nabi  ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ 
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(H.R. Abu Dawud)

Kedua: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan padahal ada tuntutan untuk mengerjakannya, namun ada yang menghalangi beliau untuk melakukannya.Dalam kasus kedua ini, apa yang ditinggalkan nabi bukanlah termasuk sunnah. Akan tetapi, suatu saat nanti jika penghalang tersebut hilang, perbuatan tersebut boleh dikerjakan.
  • Contoh: Nabi ketika menunaikan ibadah haji, tidak mengendarai mobil atau pesawat. Di zaman beliau, pennyampaian adzan juga tidak menggunakan microphone dan pengeras suara.
  • Di zaman itu, tuntunan untuk menunaikan ibadah haji sudah ada, hanya saja belum ada (belum ditemukan)  mobil atau pesawat. Di zaman itu pula, tuntutan agar kaum muslimin mendengar suara adzan sebagai tanda waktu shalat telah tiba, sudah ada, hanya saja belum ada microphone dan pengeras suara.
  • Hal yang menghalangi beliau untuk naik mobil atau pesawat dan menggunakan microphone – pengeras suara ketika adzan adalah benda-benda ini belum ada (belum ditemukan) ketika itu.
  • Dengan demikian, perbuatan naik mobil/pesawat untuk menunaikan ibadah haji dan menggunakan microphone – pengeras suara ketika adzan di zaman sekarang ini, tidak termasuk bid’ah, sehingga jika dilakukan tidak apa-apa.
Ketiga: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan karena tidak ada tuntutan untuk mengerjakannya.Dalam kasus ini, yang sunnah adalah tidak mengerjakan perbuatan tersebut, sebagaimana nabi juga tidak mengerjakannya. Akan tetapi, jika suatu saat nanti ada tuntutan syar’i untuk mengerjakannya, maka boleh dikerjakan.
  • Contoh: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan pencatatan hadits. Beliau menyampaikan ilmu kepada para shahabat melalui lisan beliau, tetapi beliau sendiri tidak mencatat ilmu yang telah disampaikan. Tidak ada tuntutanuntuk melakukannya karena para shahabat ketika mendapatkan ilmu dari nabi, mereka langsung mempraktekkannya dan mengingat-ingatnya / menghafalnya dalam dada-dada mereka. Baru, di zaman ‘Utsman bin Affanraḍiyallāhu ‘anhu, dilakukan pencatatan dan pembukuan Al-Qur’an. Kemudian, di zaman ‘Umar bin Abdil Aziz raḥimahullāh dilakukan pembukuan hadits. ‘Utsman melakukan itu karena adanya tuntutan agar ilmu Al-Qur’an tidak hilang setelah banyaknya penghafal Al-Qur’an yang meninggal dunia, sedangkan ‘Umar bin Abdil Aziz melakukannya juga  karena adanya tuntutan agar ilmu hadits tidak hilang.
  • Perbuatan ‘Utsman dan ‘Umar tersebut tidak termasuk bid’ah, tetapi justru hal yang syar’i dikerjakan karena memang ada tuntutan syar’i untuk melakukannya.
Keempat: Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan karena adanya “sebab tertentu”. Dalam kasus ini, hukum melakukan perbuatan tersebut tergantung pada ada atau tidak adanya “sebab tertentu” tersebut. Jika “sebab tertentu” itu masih ada, tidak boleh mengerjakannya. Namun, jika “sebab tertentu” tersebut telah hilang, baru diperbolehkan mengerjakan perbuatan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i yang berhubungan dengannya.
  • Contoh: Dulu, nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat tarawih berjama’ah di masjid selama tiga atau empat malam. Pada malam berikutnya, beliau tidak ke masjid, padahal jama’ah telah penuh di masjid. Setelah shalat shubuh, beliau bersabda,
فإنه لم يخف علي مكانكم لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها
“Bukannya saya tidak mengetahui keberadaan kalian, namun saya khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”
(H.R. Bukhari)
  • Dalam hadits di atas, diketahui bahwa nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat tarawih berjama’ah “karena satu sebab”, yaitu khawatir shalat tarawih akan diwajibkan, sedangkan jika diwajibkan bisa jadi kaum muslimin nanti tidak mampu melaksanakannya.
  • Kemudian, setelah nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat, ‘Umar bin Al-Khaṭṭab raḍiyallāhu’ anhu memerintah kaum muslimin untuk kembali menunaikan shalat tarawih berjama’ah. Yang dilakukan ‘Umar ini benar, karena “sebab” untuk meninggalkan shalat tarawih berjama’ah (yaitu: khawatir akan diwajibkan) telah hilang. Masa pensyariatan dan turunnya wahyu hanya ada semasa nabi masih hidup, dan berakhir dengan wafatnya nabi. Oleh karena itu, jika semasa hidup hingga wafatnya nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak ada pensyariatan dari Allāh bahwa shalat tarawih berjama’ah diwajibkan, hukum shalat tarawih tetap menjadi sunnah. Sikap Umar memerintah kaum muslimin melakukan shalat tarawih berjama’ah tidak salah dan bukan termasuk bid’ah karena pada asalnya shalat tarawih berjama’ah memang pernah dilakukan nabi. Di samping itu, setelah nabi meninggal dunia, kaum muslimin telah tahu bahwa shalat tarawih berjama’ah adalah sunnah, bukan wajib.

Kesimpulan:
Intinya, jika kita akan mengerjakan suatu perbuatan, yang perbuatan ini dulu tidak dikerjakan nabi semasa hidupnya, bermuara pada dua hal, menjadi perbuatan halal atau perbuatan bid’ah yang sesat dan terlarang.
Untuk menentukan mana yang bid’ah dan mana yang bukan, uraian di atas dapat disingkat dengan kaidah fiqh berikut ini:
كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه
“Semua perbuatan yang “sebab” mengerjakannya ada pada zaman rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak mengerjakannya,  yang disyariatkan adalah meninggalkan perbuatan tersebut.”

Referensi:
  • Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud via software Al-Maktabah Asy-Syamilah.
  • Kitab تلقيح الافهام العلية بشرح القواعد الفقهية /talqīḥul afhāmul ‘aliyyah bi syarḥil qawā’idil fiqhiyyah/, karya وليد بن راشد السعيدان /Walīd bin Rāsyid As-Su’aidān/.
  • Penjelasan Ustadz Ahmad Sabiq mengenai kaidah كل فعل توفر سببه على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يفعله فالمشروع تركه dalam majalah Al-Furqon, edisi 9/1431.
  • referensi ilustrasi gambar: http://ht.ly/dXPB5

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More