Share
div id='fb-root'/>

Wednesday, August 15, 2012

Hukum terhadap Orang yang Menahan Pengeluaran Zakatnya

Share on :

Zakat adalah suatu tuntunan dalam syariat yang kewajibannya telah diterangkan oleh Al-Qur`an dan Al-Hadits serta kesepakatan di kalangan ulama.
Telah berlalu, sejumlah ayat yang menunjukkan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah-perintah tersebut menegaskan kewajiban mengeluarkan zakat.
Rasulullah juga menjelaskan kewajiban zakat dalam sejumlah hadits beliau. Di antaranya adalah beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu saat Mu’âdz diutus ke Yaman,
إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ. فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Hendaknya engkau menyeru mereka untuk mempersaksikan bahwa tiada yang berhak diibadahi, kecuali Allah, dan bahwa sesungguhnya saya adalah rasul Allah. Bila mereka telah menaatimu dalam hal tersebut, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu kepada mereka dalam sehari dan semalam. Bila mereka telah menaatimu dalam hal tersebut, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka. Bila mereka telah menaatimu dalam hal tersebut, berhati-hatilah terhadap harta yang mereka sayangi, serta berhati-hatilah terhadap doa orang yang dizhalimi karena tidak ada perantara antara (doa) itu dan Allah.”

Para ulama telah bersepakat tentang kewajiban zakat bila segala persyaratannya terpenuhi, dan para shahabat bersepakat memerangi orang-orang yang menahan dan tidak mengeluarkan zakatnya.

Telah datang sejumlah peringatan bagi siapa saja yang menahan zakatnya, di antaranya adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nashrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, juga orang-orang yang menyimpan emas dan perak, (tetapi) tidak menafkahkan (emas dan perak) tersebut pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa pedih. (Yakni), pada hari ketika (emas dan perak) itu dipanaskan dalam neraka jahannam, lalu dahi, lambung, dan punggung mereka dibakar dengannya. (Kemudian dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa-apa yang kalian simpan itu.’.” [At-Taubah: 34-35]
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
“Sekali-kali janganlah orang-orang, yang bakhil terhadap harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.” [Âli-‘Imrân: 180]
Dalam firman-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla juga menjelaskan perihal mereka yang dianggap saudara dalam agama dan tidak boleh diperangi,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ.
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” [At-Taubah: 5]
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ.
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama.” [At-Taubah: 11]

Ada dua kandungan penting pada dua ayat di atas yang berkaitan dengan pembahasan zakat:
Pertama, pembolehan untuk memerangi orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat.
Bila suatu kaum menahan pengeluaran zakatnya, penguasa boleh memerangi mereka lantaran penahanan tersebut sebagaimana yang Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq dan para shahabat radhiyallâhu ‘anhum lakukan berdasarkan dalil sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Saya diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi, kecuali Allah, dan bahwa sungguh Muhammad adalah rasul Allah, menegakkan shalat, serta mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan hak keislaman dan hisab mereka di sisi Allah.” [1]
Kedua, hukum terhadap orang-orang yang menahan pengeluaran zakat, apakah dianggap kafir, keluar dari Islam, atau tidak?
Barang siapa yang menahan pengeluaran zakat karena mengingkari kewajiban zakat, dia dianggap kafir, keluar dari Islam, menurut kesepakatan ulama.
Adapun orang yang mengakui kewajiban zakat, tetapi tidak mengeluarkan zakat lantaran kikir atau malas, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
Sebagian ulama menjadikan dua ayat di atas sebagai dalil bahwa orang yang menahan pengeluaran zakatnya dianggap kafir karena ketentuan perihal teranggapnya seseorang sebagai muslim, saudara seagama, dan tidak boleh diperangi adalah bila dia bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Pendapat mereka juga didukung oleh dalil-dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas dianggap keluar dari agama maka demikian pula orang yang menahan zakatnya karena kikir.
Namun, kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang yang menahan pengeluaran zakatnya karena kikir tidaklah dikafirkan. Mereka berdalil dengan hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِىَ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالإِبِلُ قَالَ « وَلاَ صَاحِبُ إِبِلٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَا كَانَتْ لاَ يَفْقِدُ مِنَهَا فَصِيلاً وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالْبَقَرُ وَالْغَنَمُ قَالَ « وَلاَ صَاحِبُ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ لاَ يَفْقِدُ مِنْهَا شَيْئًا لَيْسَ فِيهَا عَقْصَاءُ وَلاَ جَلْحَاءُ وَلاَ عَضْبَاءُ تَنْطِحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا كُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ أُولاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Tidak seorang pun pemilik emas tidak pula pemilik perak yang tidak mengeluarkan hak (baca: zakat) (emas dan perak) itu, kecuali bahwa, pada hari kiamat, lembaran-lembaran dari neraka akan dihamparkan untuknya, kemudian dia dipanaskan di atas (lembaran) itu maka terpangganglah lambung, dahi, dan punggungnya. Setiap kali api itu mendingin, (panas api itu) akan dikembalikan baginya, pada suatu hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun, hingga ketetapan diputuskan antara manusia, kemudian jalannya diperlihatkan: apakah menuju ke surga atau menuju ke neraka. Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan (pemilik) unta?’ Beliau bersabda, ‘Tidak seorang pun pemilik unta yang tidak mengeluarkan hak (baca: zakat) (unta) itu, yang di antara hak (unta) itu adalah (unta tersebut) memerah saat berada di sumber airnya[2], kecuali bahwa, pada hari kiamat, tanah datar yang luas dihamparkan untuk (unta-unta) itu. Keadaan unta-unta itu sangatlah maksimal[3], tidak satu anak unta pun yang terlantar. Kemudian unta-unta itu menginjak (pemiliknya) dengan sepatunya dan menggigit (pemiliknya) dengan mulutnya. Setiap kali melampaui akhirnya, dia akan dikembalikan lagi ke awalnya, pada suatu hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun, hingga ketetapan diputuskan antara manusia, kemudian jalannya diperlihatkan: apakah menuju ke surga atau menuju ke neraka. Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, bagimana dengan (pemilik) sapi dan kambing?’ Beliau bersabda, ‘Tidak seorang pun pemilik sapi tidak pula pemilik kambing yang tidak mengeluarkan hak (baca: zakat) (sapi dan kambing) itu, kecuali bahwa, pada hari kiamat, tanah datar yang luas dihamparkan untuk (sapi dan kambing) itu. Keadaan (sapi dan kambing) itu sangatlah maksimal, tidak satu pun yang terlantar. Tiada (sapi dan kambing) yang tanduknya bengkok, yang tak bertanduk, tidak pula yang tanduknya patah dari dalam. Lalu (sapi dan kambing) akan menanduk (pemiliknya) dengan tanduk-tanduknya dan menginjak (pemiliknya) dengan sepatu-sepatunya. Setiap kali melampaui akhirnya, dia akan dikembalikan lagi ke awalnya, pada suatu hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun, hingga ketetapan diputuskan antara manusia, kemudian jalannya diperlihatkan: apakah menuju ke surga atau menuju ke neraka ….”
Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah bahwa, andaikata dianggap kafir dan keluar dari Islam, tentu orang yang tidak mengeluarkan zakatnya pasti dimasukkan ke dalam neraka. Namun, dalam hadits, orang tersebut diberi alternatif melalui sabda beliau, “… Kemudian diperlihatkan jalannya: apakah menuju ke surga atau menuju ke neraka ….”
Dari hadits di atas, tampak bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak mengeluarkan zakat karena kikir tidak dianggap keluar dari Islam adalah pendapat yang lebih kuat. Wallâhu A’lam.

http://dzulqarnain.net/


[1] Hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 25 dan Muslim no. 22. Dikeluarkan pula oleh Al-Bukhâry no. 1399, 2946, 6924, 7284, Muslim no. 20, 21, Abu Dawud no. 1556, 2640, At-Tirmidzy no. 2611, 2612, An-Nasâ`iy 5/14, 6/4-5, 7, 7/77-79, dan Ibnu Mâjah no. 71, 3927 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Juga dikeluarkan oleh Muslim no. 21 dan Ibnu Mâjah no. 3928 dari Jâbir radhiyallâhu ‘anhumâ. Selain itu, dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 392, Abu Dawud no. 2641-2642, At-Tirmidzy no. 2613, dan An-Nasâ`iy 6/6, 7/75-76 dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu. Semakna pula dengannya hadits Thâriq bin Asy-yam radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 23. Al-Kattany menyebutkannya sebagai hadits mutawatir dalam Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 50-51.
[2] Maksud frasa “unta tersebut memerah” bukan di kandangnya adalah agar hal itu lebih meringankan unta dan pemiliknya, serta meringankan orang-orang miskin dan musafir yang kehabisan bekal supaya segera mendapat manfaat dari susu unta. Bacalah Syarh Muslim oleh An-Nawawy dan Syarh As-Sunnah karya Al-Baghâwy.
[3] Maksimal dari sisi kekuatan, jumlah, dan kesempurnaannya.
Bookmark and Share

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More