Hadits Pertama
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ
ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ
أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَنْ لَا يَبْلُغُوا مِنْ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِي
بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُولِ الْعُمْرِ فَأَعْطَاهُ اللَّهُ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
diperlihatkan umur-umur manusia sebelum beliau atau sesuatu yang Allah
kehendaki dari hal tersebut. Beliau menganggap bahwa umur umatnya pendek
untuk mencapai amalan yang telah dicapai oleh selain umat Islam yang
berumur panjang. Maka, kepada beliau, Allah memberikan lailatul qadr
yang lebih baik daripada seribu bulan.”Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththâ` no. 768. Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Saya tidak mengetahui hadits yang diriwayatkan secara musnad, tidak (pula) secara mursal dari jalur periwayatan (apapun), kecuali sesuatu yang ada dalam Al-Muwaththâ`. Itu adalah salah satu di antara empat hadits yang tidak ditemukan kecuali pada (kitab) yang bukan Al-Muwaththâ`.”[1]
Dalam Takmil An-Nafa’, penulisnya, Syaikh Muhammad ‘Amr Abdul Lathif, membawakan riwayat yang semakna dengan hadits di atas, yaitu sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas,sebuah riwayat mursal dari Mujahid, dan sebuah riwayat mu’dhal ‘keterputusan dalam sanad dengan gugurnya dua rawi atau lebih’ dari Ali bin ‘Urwah –salah seorang rawi yang sangat lemah-. Semuanya memiliki kelemahan.
Hadits Kedua
Dari Yusuf bin Sa’ad, beliau berkata, “Seorang lelaki berdiri kepada Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu ‘anhu setelah (Al-Hasan) membaiat muawiyah radhiyallâhu ‘anhu. (Orang tersebut) berkata, ‘Engkau telah mencoreng wajah kaum mukminin (atau dia berkata, ‘Wahai orang yang mencoreng wajah kaum mukminin’),’ maka (Al-Hasan) berkata,
لاَ تُؤَنِّبْنِيْ رَحِمَكَ اللَّهُ فَإِنَّ
النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أُرِىَ بَنِى أُمَيَّةَ
عَلَى مِنْبَرِهِ فَسَاءَهُ ذَلِكَ فَنَزَلَتْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ
الْكَوْثَرَ يَا مُحَمَّدُ يَعْنِى نَهْرًا فِي الْجَنَّةِ وَنَزَلَتْ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ يَمْلِكُهَا بَعْدَكَ بَنُو أُمَيَّةَ يَا مُحَمَّدُ
‘Janganlah engkau mencela saya. Semoga Allah merahmatimu.
Sesungguhnya Bani Umayyah diperlihatkan kepada beliau, sedang beliau
berada di atas mimbar, maka hal tersebut tidak menyenangkan beliau.
Kemudian, turunlah “innâ a’thainâkal kautsar”. Wahai Muhammad, yakni sebuah sungai di surga. Turun pula “innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. Wa mâ adrâka mâ lailatul qadr. Lailatul qadri khairun min alfi syahr”. Wahai Muhammad, hal tersebut dimiliki oleh Bani Umayyah setelahmu.’.”Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy, Ibnul Jarîr, dan selainnya. Imam At-Tirmidzy sendiri melemahkan hadits di atas, demikian pula Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, dan Ibnu Katsir menambahkan bahwa sanad hadits tersebut juga mengandung idthirâb ‘keguncangan’ dan, pada matannya, terdapat nakârah ‘kemungkaran’ dari beberapa sisi.
Hadits Ketiga
Dari Abu Dzar Al-Ghifary, beliau berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي عَنْ
لَيْلَةِ الْقَدْرِ فِيْ رَمَضَانَ أَوْ فِيْ غَيْرِهِ ؟ قَالَ: ” بَلْ
هِيَ فِيْ رَمَضَانَ “، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ تَكُونُ مَعَ
الْأَنْبِيَاءِ مَا كَانُوا فَإِذَا قُبِضَ الْأَنْبِيَاءُ رُفِعَتْ أَمْ
هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؟ قَالَ: ” لَا، بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ “، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فِيْ أَيِّ رَمَضَانَ
هِيَ ؟ قَالَ: ” الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأُوَلِ وَالْعَشْرِ
الْأَوَاخِرِ ” قَالَ: ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ ، فَقُلْتُ: فِيْ أَيِّ الْعَشْرَينِ
؟ قَالَ: ” الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ لَا تَسْأَلْنِي
عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا “، ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَ فَاهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ، فَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ لَتُخْبِرَنِّيْ أَوْ لَمَا
أَخْبَرْتَنِيْ فِيْ أَيِّ الْعَشْرِ هِيَ ؟ قَالَ: فَغَضِبَ عَلَيَّ
غَضَبًا مَا غَضِبَ عَلَيَّ مِثْلَهُ لَا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ،
فَقَالَ: ” إِنَّ اللهَ لَوْ شَاءَ لَأَطْلَعَكُمْ عَلَيْهَا الْتَمِسُوهَا
فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ “
“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku bahwa
lailatul qadr berada pada (bulan) Ramadhan atau pada (bulan) lain.’
Beliau menjawab, ‘Bahkan (malam) itu berada pada (bulan) Ramadhan.’ Saya
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (malam) itu bersama para nabi
sepanjang mereka ada, apabila mereka meninggal, (malam) itu juga ikut
terangkat, ataukah (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak, tetapi (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat.’
Saya bertanya (lagi), ‘Berada pada (malam) Ramadhan manakah (malam)
itu?’ Beliau menjawab, ‘Carilah pada sepuluh malam pertama dan sepuluh
malam terakhir.’ Kemudian, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
melanjutkan pembicaraan maka saya menunggu kesempatan, lalu saya
bertanya, ‘Di manakah di antara dua sepuluh itu?’ Beliau menjawab,
‘Carilah pada sepuluh malam terakhir, jangan engkau bertanya sesuatu
apapun setelahnya.’ Kemudian, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
melanjutkan pembicaraan maka saya menunggu kesempatan, lalu saya
berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya bersumpah terhadapmu agar engkau
memberitahukan kepadaku di manakah (malam) itu di antara sepuluh (malam
terakhir) tersebut.’ Maka, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam marah
kepadaku, dengan kemarahan yang beliau tidak pernah seperti itu
sebelumnya tidak (pula) setelahnya, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya
Allah -jika berkehendak- akan memperlihatkan (malam) itu kepada kalian.
Carilah pada tujuh malam terakhir.’.”Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’âni Al-Atsar, Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqy, dan selainnya.
Pada sanadnya, terdapat rawi yang bernama Martsad bin ‘Abdillah, seorang rawi yang majhul ‘tidak dikenal’. Hadits tersebut dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 3100 dan disebutkan pula oleh beliau bahwa ada bentuk nakârah ‘kemungkaran’ dalam matannya.
Hadits Keempat
مَنْ قَرَأَ فِيْ إِثْرِ وُضُوْئِهِ : { إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ } مَرَّةً وَاحِدَةً كَانَ مِنَ
الصِّدِّيْقِيْنَ وَمَنْ قَرَأَهَا مَرَّتَيْنِ كُتِبَ فِيْ دِيْوَانِ
الشُّهَدَاءِ وَمَنْ قَرَأَهَا ثَلَاثًا حَشَرَهُ اللهُ مَحْشَرَ
الْأَنْبِيَاءِ
“Barangsiapa yang, setelah berwudhu, membaca, ‘Innâ anzalnâhu fî lailatil qadr,’
sebanyak sekali, dia (tergolong salah satu) dari para shiddiqin.
Barangsiapa yang membaca (ayat) itu sebanyak dua kali, dia akan
terhitung ke dalam catatan para syuhada. Barangsiapa yang membaca (ayat)
itu sebanyak tiga kali, dia akan dikumpulkan oleh Allah bersama
perkumpulan para nabi.”Hadits di atas diriwayatkan oleh Ad-Dailamy dalam Musnad Firdaus dari jalur Abu ‘Ubaidah, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Demikian yang disebutkan oleh As-Suyuthy dalam Al-Hawy. Pada sanad tersebut, ada Abu ‘Ubaidah, sementara pengguna kata dari oleh Al-Hasan Al-Bashry, padahal beliau adalah seorang mudallis.
Hadits di atas dianggap palsu oleh Syaikh Al-Albany rahimahullâh dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 1449 dan no. 1527.
Anggapan kepalsuan hadits di atas –menurut Syaikh Al-Albany rahimahullâh – sangat tampak dari konteks hadits itu.
Hadits Kelima
إِنَّ اللهَ وَهَبَ لِأُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَلَمْ يُعْطِهَا مَنْ كَانَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan lailatul qadr pada umatku, dan tidak pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya.”Hadits di atas dikeluarkan oleh Ad-Dailamy dalam Musnad Firdaus sebagaimana dalam Ad-Durr Al-Mantsûr karya As-Suyuthy dan dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 3106 karya Syaikh Al-Albany.
Hadits tersebut divonis sebagai hadits palsu oleh Syaikh Al-Albany lantaran, di dalam sanadnya, terdapat seorang pemalsu hadits, Ismail bin Abi Ziyad Asy-Syamy.
Hadits Keenam
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ومَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
“Barangsiapa yang qiyam Ramadhan karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu. Barangsiapa yang qiyam
pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan
diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu dan yang akan
datang.”Hadits dengan konteks di atas dikeluarkan oleh Imam An-Nasâ`iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ` dengan bersandar pada nukilan Syaikh Al-Albany dari manuskrip As-Sunan Al-Kubrâ`, walaupun ada sedikit perbedaan dengan konteks kitab tersebut yang tercetak saat ini.
Tambahan kalimat pada akhir hadits dianggap syâdz ‘ganjil’ oleh Syaikh Al-Albany pada sebuah pembahasan ilmiah dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 5083, demikian pula dianggap sebagai tambahan yang mungkar oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 7/105.
Hadits Ketujuh
مَنْ قَرَأَ “إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ” عُدِلَتْ بِرُبُعِ الْقُرْآنِ
“Barangsiapa yang membaca, ‘Innâ anzalnâhu fî lailatil qadr,’ (bacaannya) akan dinilai dengan seperempat Al-Qur`an.”Hadits di atas dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazy sebagaimana dalam Mukhtashar Qiyâmul Lail dari jalur ‘Amr bin Riyâh (seorang dajjal, pendusta), dari Yazîd Ar-Raqâsy (seorang yang dhaif), dari Anas bin Malik secara marfu.
Hadits ini divonis palsu oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 4324.
Hadits Kedelapan
اطْلُبُوهَا لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْ رَمَضَانَ وَلَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ سَكَتَ
“(Rasulullah bersabda,) ‘Carilah (lailatul qadr) pada malam
ketujuh belas, malam kedua puluh satu, dan malam kedua puluh tiga,’
kemudian beliau diam.”Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dâwud no. 244, tetapi dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dha’îf Sunan Abu Dâwud 2/65/66.
Hadits Kesembilan
Dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila saya mengetahui lailatul qadr pada suatu malam. Apa yang mesti saya baca? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
قُولِيْ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
‘Katakanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai rasa maaf, maka maafkanlah aku.’.’.”Hadits di atas dikeluarkan oleh At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, dan selainnya dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Abdullah bin Buraidah dianggap tidak mendengar hadits apapun dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Demikian ucapan Ad-Dâraquthny dan Al-Baihaqy, serta diikuti oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar.
Dahulu, Syaikh Al-Albany pernah melemahkan hadits ini berdasarkan sebab tersebut dalam risalah beliau, Naqd Nushûsh Haditsiyah hal. 45, tetapi beliau rujuk dan menshahihkan hadits tersebut dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah no. 3337.
Alasan Syaikh Al-Albany adalah bahwa Abdullah bin Buraidah mendapati masa hidup Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ dan mungkin mendengar dari Aisyah.
Sangkaan saya adalah bahwa, dalam hal ini, ucapan Ad-Dâraquthny dan Al-Baiqhaqy lebih harus diterima. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal:
Pertama, Ad-Dâraquthny memastikan bahwa Abdullah bin Buraidah tidak mendengar dari Aisyah.
Kedua, tidak seorang pun di antara imam ahli hadits yang menetapkan sebaliknya.
Ketiga, sebagaimana ucapan Ad-Dâraquthny diterima dalam hal menghukumi seorang rawi walaupun bersendirian, demikian pula ucapan tersebut harus diterima dalam hal menafikan pendengaran.
Hadits di atas juga telah dilemahkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dalam kitab beliau, Ahâdits Mu’allah Zhâhiruhâ Ash-Shihhah hal. 450-460 (cet. Dârul Atsar).
Wallâhu A’lam.
Demikian beberapa pembahasan yang berkaitan dengan lailatul qadr. Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk para pembaca. Wallâhu A’lam.
http://dzulqarnain.net/
0 comments:
Post a Comment