Enam Perkara Yang Harus Diwaspadai
أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا : إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ وَ سَفْكَ الدَّمِ وَ بَيْعَ الْحُكْمِ وَ قَطِيْعَةَ الرَّحْمِ وَ نَشْوًا يَتَّخِذُوْنَ الْقُرْآنَ مَزَامِيْرَ وَ كَثْرَةَ الشُّرَطِ
“Aku mengkhawatir atas kalian enam perkara: imarah sufaha (orang-orang yang bodoh menjadi pemimpin), menumpahkan darah, jual beli hukum, memutuskan silaturahim, anak-anak muda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling, dan banyaknya algojo (yang zalim).” (HR. Ath Thabrani)[1]
Dalam hadis ini Nabi mengkhawatirkan enam perkara atas umatnya yaitu:
1. Orang-Orang Bodoh Menjadi Pemimpin (Imarah Sufaha)
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan imarah sufaha, beliau bersabda kepada Ka’ab bin ‘Ujrah
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
“Semoga Allah melindungimu dari imarah sufaha.” Ia berkata, “Siapakah imarah sufaha itu?” Beliau bersabda, “Yaitu pemimpin-pemimpin yang akan datang setelahku. Mereka tidak mau mengambil petunjukku, dan tidak mau mengambil sunahku. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan dan membantu kezaliman mereka, maka ia bukan dari golonganku dan aku bukan dari mereka, dan mereka tidak akan singgah di telaga haudlku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu kezalimannya, maka merekalah golonganku dan aku dari golongan mereka, dan mereka akan singgah di telaga haudlku.” (HR. Ahmad)[2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya imarah sufaha, karena mereka tidak mau mengambil petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peraturan, sehingga hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dikesampingkan. Akibatnya, rusaklah kehidupan, padahal hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kehidupan untuk manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 179)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Menegakkan sebuah hadd Allah lebih baik bagi penduduk bumi dari hujan selama empat puluh malam.” (HR Ibnu Majah)[3]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang yang berakal agar berpikir, bahwa hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kehidupan untuk manusia. Dalam kasus pembunuhan misalnya, bila ditegakkan qishash, maka orang akan berpikir dua belas kali sebelum melakukannya, karena balasannya adalah dibunuh kembali. Pencuri akan jera, dan orang pun akan meninggalkan zina, dan manusia tidak akan berani menzalimi orang lain, karena akan diberi hukuman yang setimpal. Berbeda bila hanya dipenjara, mereka tak akan pernah jera, bahkan akan semakin merajalela.
Dalam pemilihan pemimpin, Islam memerintahkan untuk menyerahkan kepada ahlul hilli wal ‘aqdi yang berisi para alim ulama dan orang-orang yang berpengalaman, agar memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Salah satu kualifikasi di antaranya harus seorang mujtahid, luas pengetahuannya, sehat jasmani dan rohaninya, adil, menguasai taktik perang, dan lain-lain. Berbeda bila diserahkan kepada rakyat, maka yang dapat menjadi pemimpin adalah yang paling banyak suara dan uangnya, walaupun ia berhati setan dan berbadan manusia, sehingga tidak akan mungkin lepas dari korupsi dan manipulasi, karena besarnya uang yang dibutuhkan untuk pencalonan. Bila uang itu digunakan untuk pembangunan negara, tentu akan lebih bermanfaat dari pada dihambur-hamburkan untuk mencari masa.
Islam amat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan menghilangkan kemudharatan dari mereka, menghancurkan kezaliman dan melarang tindakan semena-mena, cobalah dengarkan khutbah Abu Bakar radhiallahu’anhu, ketika beliau diangkat menjadi khalifah,
“Wahai hadirin, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu. Namun aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat kesalahan, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisiku, sampai aku kembalikan haknya insya Allah. Sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku, sampai aku ambil hak (zakat) darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah tersebar zina pada suatu kaum, kecuali Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan apabila aku memaksiati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kamu kepadaku.”[4]
Bersambung insya Allah
Content goes here
[1] Dalam Al Mu’jamul Kabiir 18/57 no 105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ Ash Shagier no 216.
[2] Hadits shahih, Lihat shahih Targhib wattarhib no 2242.
[3]Hadits hasan, Lihat silsilah shahihah no 231.
[4] Al Bidayah wan Nihayah 5/269, ibnu Katsir berkata: “Sanadnya shahih”.
0 comments:
Post a Comment