Share
div id='fb-root'/>

Saturday, November 5, 2011

Kak Seto dan Mengajarkan Anak Berbohong

Share on :

Kak Seto dan Mengajarkan Anak Berbohong


Oleh: Wira Mandiri Bachrun
Hari ini di halaman opini harian KOMPAS (19/05) ada tulisan Kak Seto, salah seorang tokoh pendidikan anak yang hampir dikenal semua orang karena aktivitas beliau sebagai ketua Komnas Perlindungan Anak. Tulisan yang berjudul “Mari Belajar Berbohong” itu cukup menarik perhatian saya. Di dalam tulisan tersebut Kak Seto menyebutkan bahwa sekarang anak-anak sudah diajari berbohong melalui penyelenggaraan Pemilu dan juga melalui serangkaian kecurangan dalam UN.
Pernyataan ini cukup menggelitik pikiran saya. Di dalam artikel yang tidak terlalu panjang itu Kak Seto mengkritik kebohongan para caleg ketika berkampanye, penggelebungan suara dalam pemilu, serta beragam kecurangan dalam ujian nasional yang kata beliau telah mengajarkan ketidakjujuran serta bolehnya menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan dengan cara berbohong.
Pikiran saya melayang ke masa kecil saya, di waktu siaran TPI baru saja bisa ditangkap oleh parabola rumah kami di Pangkalpinang. Di TPI ada sebuah acara yang diasuh oleh Kak Seto. Saya lupa judulnya, tapi yang jelas di sana ada si Komo, hewan komodo yang merupakan tokoh utama acara ini, kemudian ada si Belu, bebek lucu, dan ada juga Ulil. Jangan bayangkan si Ulil ini tokoh JIL Utan Kayu, Ulil di dalam pertunjukan ini adalah seekor ulat. Semua tokoh hewan dalam acara ini bisa berbicara, berinteraksi melalui dialog-dialog lucu seperti layaknya manusia.
Komodo bisa bicara, bebek bisa bicara, ulat bisa bicara, bukankah ini sebuah kebohongan? Mana ada komodo bisa bicara? Apalagi komodo itu ternyata juga bertransformasi menjadi raksasa komodo yang bisa membuat Jakarta macet karena ikutan lewat di jalan umum sambil berkata “Weleh weleh weleh…”. Ini semua adalah KEBOHONGAN.
Inilah realitas pendidikan kita, begitu penuh kebohongan. Tidak perlu kita bicara tentang Pemilu dan UN, jauh sebelum anak-anak bisa menganalisa bentuk kebohongan dalam program nasional itu, mereka telah diajari banyak kebohongan. Kebohongan dongeng-dongeng pengantar tidur, legenda-legenda daerah, komik-komik, film-film kartun, yang harus kita akui bahwa semuanya adalah imajinasi yang tidak terjadi dalam kehidupan nyata, alias dusta.
Kalau Kak Seto beralasan bahwa kebohongan semacam kisah si Komo dan yang sejenisnya ini diperbolehkan karena tujuannya baik, maka apa bedanya jalan pikiran Kak Seto dengan kasus yang dikritik di atas. Guru-guru yang melakukan manipulasi agar siswa-siswinya lulus UN pasti punya niat yang baik. Saya percaya guru-guru tidak akan melakukan perbuatan tercela ini melainkan karena memikirkan nasib anak didiknya apabila nanti tidak lulus bagaimana.
Kak Seto yang seorang muslim harusnya benar-benar memahami bahwa di dalam Islam berbohong itu jelek dan merupakan karakteristik yang rendah. Tujuan yang ingin dicapai dalam kisah-kisah fiksi anak, misalnya karena ingin menanamkan rasa mengasihi, sikap ksatria, atau menanamkan kejujuran, seharusnya tidaklah dilakukan dengan cara yang tidak jujur. Sudah demikian paradokskah kita sehingga menanamkan kejujuran pun dengan cara yang tidak jujur?
Seharusnya kita benar-benar terinspirasi dengan figur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang benar-benar memegang teguh kejujuran, sebagaimana ucapan beliau:
“Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga, dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta akan membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka, dan seorang hamba senantiasa berdusta dan membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Kejujuranlah yang akan membimbing kita ke dalam surga, bukan kebohongan.
Mungkin yang sedikit ini bisa menjadi koreksi kecil bagi Kak Seto dan semua pihak yang berkecimpung dengan dunia pendidikan. Kami tutup tulisan ini dengan menukilkan ucapan dari Kak Seto sendiri yang menurut saya amat baik, apalagi apabila dipraktekkan secara konsisten.
“Sudah saatnya kita berani introspeksi dan jujur mengakui berbagai kekeliruan yang tanpa sadar telah mengajarkan kebohongan.”
Wallahu a’lam bisshawab.
Jogjakarta, 19 Mei 2009.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More