Share
div id='fb-root'/>

Friday, July 1, 2011

Jangan Marah atas Musibah yang Menimpa

Share on :

Pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang marah-marah apabila mendapatkan musibah?
Jawaban: Sikap manusia dalam menghadapi musibah ada beberapa tingkat. Tingkat pertama adalah marah. Hal ini pun ada beberapa macam. 1. Marah dengan hati. Ia seolah-olah marah kepada Tuhannya dan berang terhadap takdir yang ditetapkan Allah. Bersikap seperti ini haram karena dapat menyebabkan kekafiran. Allah berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ
Di antara manusia ada yang menyembah Allah menurut seleranya. Apabila ia mendapatkan kebaikan, hatinya merasa tenang. Akan tetapi, apabila ia mendapat cobaan buruk, ia memalingkan wajahnya. Rugilah dunia dan akhiratnya.” (Qs. al-Hajj: 11).
2. Marah dengan lisan, seperti menyerukan kata-kata: “alangkah celakanya,” “duhai binasanya,” dan kata-kata lain yang serupa. Bersikap seperti ini adalah haram.
3. Marah dengan tindakan, seperti menampar muka, merobek-robek baju, menjambak rambut sendiri, dan lain-lain. Bersikap seperti ini haram karena menyalahi sikap wajib bersabar.
Tingkat kedua adalah sabar, seperti yang dikatakan penyair, “Sabar, seperti namanya, adalah sesuatu yang pahit dirasakan, tetapi hasilnya lebih manis daripada madu.
Seseorang menganggap sesuatu itu berat bagi dirinya, tetapi ia tetap menerimanya, ia tidak suka yang berat itu terjadi pada dirinya, namun ia menjauhkan diri dari sikap marah demi menjaga imannya. Demikianlah, karena terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu tidaklah sama baginya. Bersikap seperti ini wajib karena Allah telah memerintahkan untuk berlaku sabar, sebagaimana firman-Nya,
وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
Bersabarlah kalian. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. al-Anfal: 46).
Tingkat ketiga adalah ridha, yaitu seseorang ridha terhadap musibah yang menimpanya bagaimana pun keadaannya. Ia tidak merasa berat atas adanya musibah dan tidak menerimanya sebagai sesuatu yang berat. Menurut pendapat yang kuat, bersikap seperti ini hukumnya boleh, tidak wajib. Sangat jelas perbedaan tingkat ketiga dengan tingkat sebelumnya karena pada tingkat ini ada atau tidak adanya musibah diterimanya dengan ridha. Adapun pada tingkat sebelumnya, musibah itu dianggapnya sebagai sesuatu yang berat, namun ia menghadapi dengan sikap sabar.
Tingkat keempat, adalah syukur. Inilah tingkatan tertinggi. Ia bersyukur kepada Allah dalam menghadapi musibah karena ia menyadari bahwa musibah yang menimpanya menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya dan barangkali dapat memperbanyak pahalanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Apa pun bentuk musibah yang menimpa seorang muslim, niscaya akan Allah menjadikannya sebagai penghapus dosa dari dirinya, sekalipun sebatang duri yang menancap pada dirinya.” (Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail, juz 2, hal. 109-111)
Sumber: Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, Media Hidayah, Cetakan 1, Tahun 2003.
(Dengan penataan bahasa oleh www.konsultasisyariah.com)

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More