Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allah… Kehidupan yang kita jalani penuh dengan warna. Tidak hanya suka, bahkan tidak jarang duka pun melanda. Tidak hanya sehat, bahkan sakit pun terkadang menimpa. Tidak hanya lapang, bahkan kesempitan pun menyapa. Hidup penuh dengan cobaan dan godaan.
Dengan latar belakang semacam itu, wajarlah jika setiap hari kita diperintahkan untuk berdoa memohon hidayah kepada Allah di dalam setiap raka’at sholat kita. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim‘ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).
Lebih Urgen Daripada Oksigen
Nu’aim bin Hammad menceritakan: Aku mendengar Abdullah bin Mubarak -semoga Allah meridhainya- mengatakan -pada saat orang-orang mencela beliau karena begitu seringnya beliau mencari hadits-; ketika itu mereka berkata kepadanya,“Sampai kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau pun menjawab,“Sampai mati!” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 77)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihatQathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 114)
Sebagian orang yang arif mengatakan, “Bukankah orang yang sakit apabila dihalangi dari makanan dan minuman serta obat maka dia akan mati?”. Orang-orang menjawab, “Ya, benar.” Lalu dia menimpali, “Maka demikian pula hati, apabila ia terhalangi dari ilmu dan hikmah selama tiga hari niscaya ia akan mati.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 144)
Lebih Penting Daripada Air
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).
Pondasi Tegaknya Ibadah
Ilmu merupakan pondasi tegaknya amalan dan ibadah. Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dengan judul Bab. Ilmu sebelum ucapan dan amalan (lihat Shahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 30). Ibnul Munayyir rahimahullah mengatakan, “Beliau -Imam Bukhari- ingin menjelaskan bahwa ilmu menjadi syarat sah ucapan dan amalan. Keduanya tidak dinilai apabila tidak dilandasi ilmu. Oleh sebab itu ilmu lebih didahulukan di atas keduanya; sebab ilmu merupakan faktor yang meluruskan niat, dan niat itulah yang menentukan kelurusan amalan.” (lihat Fath al-Bari [1/195] cet. Dar al-Hadits)
Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai -al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat -adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihatThariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyelamatkan dirinya maka sedikit darinya telah mencukupi. Akan tetapi barangsiapa yang menuntut ilmu demi memenuhi kebutuhan seluruh manusia, maka kebutuhan manusia itu tidak ada habisnya.” Lalu Syaikh Ibrahim ar-Ruhailihafizhahullah mengatakan, “Oleh sebab itu sebenarnya tidak semestinya seorang memperbanyak ilmu namun tidak mengiringinya dengan amalan.” (dikutip dari rekaman ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hafizhahullah)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).
al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihatal-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 142). Beliau juga mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bukti kebodohan.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22).
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari no. 267 dan Muslim no. 2989)
Waspadai Jebakan Setan!
Qatadah berkata, “Sesungguhnya setan tidak pernah membiarkan lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan ia pun datang melalui pintu ilmu. Setan mengatakan,“Untuk apa kamu terus-menerus menuntut ilmu? Seandainya kamu mengamalkan semua (ilmu) yang telah kamu dengar, niscaya itu sudah cukup bagimu.” Qatadah berkata: Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup dengan ilmunya, niscaya Musa ‘alaihis salam adalah orang yang paling layak untuk merasa cukup dengan ilmunya. Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang artinya), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku kebenaran yang diajarkan Allah kepadamu.” (QS. al-Kahfi: 66).” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/136])
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabukan Doa.
0 comments:
Post a Comment