Sebagian
orang memahami bahwa setiap yatim, di tempat kita memilah antara
yatim-piatu, yatim dan piatu, mereka berhak mendapat zakat atau bagian
dari ashnaf yang berhak mendapatkan zakat. Padahal tidak selamanya
seperti itu. Ashnaf (golongan) yang berhak menerima zakat sudah
ditetapkan dalam Al Qur’an sejumlah 8 golongan. Kita tidak bisa
seenaknya menetapkan yatim sebagai ashnaf zakat kecuali dengan dalil.
Terbatasnya Golongan yang Menerima Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada 8 golongan sebagaimana telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amil zakat, (4) para mu'allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan Allah dan (8)
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1] Bagaimana dengan Anak Yatim?
Sebagaimana keterangan para ulama, yatim adalah orang yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa)[2]. Istilah dalam Al Qur’an demikian dan hal itu sama dengan yatim-piatu, yatim atau piatu.
Jika yatim termasuk dalam 8 ashnaf di atas, semisal ia fakir atau miskin, maka boleh diberikan zakat untuknya. Sehingga tidak selamanya anak yatim berhak mendapatkan zakat. Karena anak yatim pun ada yang kaya atau berkecukupan dengan harta.
Keterangan Para Ulama
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -mufti kerajaan Saudi Arabia- di masa silam ditanya,
“Apakah merawat anak yatim termasuk dalam penyaluran zakat?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Jika yatim itu fakir (miskin), maka ia bagian dari orang-orang yang berhak menerima zakat, ia masuk golongan fakir dan miskin. Jika ia tinggal dalam keadaan fakir tidak memiliki pengganti orang tuanya yang menyantuninya dan tidak ada yang memberi nafkah untuknya, maka ia diberi zakat. Namun jika ada yang telah menafkahinya, ia sama sekali tidak berhak menerima zakat.”[3]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Wajib kita ketahui bahwa zakat sebenarnya bukanlah untuk anak yatim. Zakat itu disalurkan untuk fakir, miskin dan ashnaf (golongan) penerima zakat lainnya. Anak yatim bisa saja kaya karena ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia punya pemasukan rutin dari dhoman al ijtima’i atau dari pemasukan lainnya yang mencukupi. Oleh karenya, kami katakan bahwa wajib bagi wali yatim untuk tidak menerima zakat ketika yatim tadi sudah hidup berkecukupan. Adapun sedekah, maka itu sah-sah saja (disunnahkan) diberikan pada yatim walau ia kaya.”[4]
Dalam perkataan lainnya, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Perlu diperhatikan bahwa sebagian orang salah paham, ia sangka anak yatim boleh menerima zakat dalam segala keadaan. Padahal tidak seperti itu. Karena yatim tidak selamanya boleh mendapatkan zakat. Anak yatim tidaklah mendapatkan zakat kecuali jika dia termasuk delapan ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat). Dan asalnya yatim apalagi kaya, tidaklah menerima zakat sama sekali.”[5]
Semoga sajian di akhir-akhir Ramadhan ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-GK, 26 Ramadhan 1433 H
www.rumaysho.com
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 312.
[2] Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 330, terbitan Daruts Tsaroya.
[3] Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/13944
[4] Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 18: 307
[5] Majmu’ Al Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 18: 353
0 comments:
Post a Comment