Sebelum menikah, saya ikut partai yang terkadang kegiatannya diiringi dengan musik. Sekarang kondisi berubah, dari pakaian yang saya kenakan dan lainnya. Akan tetapi ada satu hal yang sampai sekarang sulit dihilangkan, belum bisa melupakan lagu-lagu itu dari hati ini.
Terkadang, tanpa suami tahu, saya masih menyanyikannya. Begitu suami memergokiku, langsung tampak kekecewaan di wajahnya. Demi Allâh, lagu-lagu itu menyulitkan saya untuk menghafal al-Qur‘an dan buku-buku. Benar-benar saya kesulitan untuk menghilangkannya padahal sudah dua tahun saya coba. Tolong mohon nasehatnya.
Ummu Hafshah Medan 081236772XXX
Jawaban:
Semoga Ukhti (Saudari) memperoleh taufik dan kemudahan dalam menyingkirkan apa yang telah mengintervensi hati Anda. Memang merupakan perkara tidak mudah untuk menghilangkan sebuah kebiasaan yang telah mendarah-daging yang Anda peroleh ketika berkecimpung dalam kepartaian. Penilaian kami ini merujuk kepada keterangan Anda yang terkadang mendendangkan lagu itu begitu saja, seolah-olah sudah masuk dalam alam bawah sadar.
Saudariku yang dirahmati Allâh Ta'âla,
Pertama-tama kami ingin menggarisbawahi bahwa penamaan nasyid (lagu apa saja) dengan nasyid (lagu) Islami tidaklah tepat. Apalagi, sekarang ini apa yang disebut lagu-lagu ‘Islami’ tak ubahnya dengan musik-musik pop pada umumnya, setelah sebelumnya hanya bermodalkan suara dan rebana semata.
Mari kita dengarkan fatwa Syaikh Shaleh al-Fauzan hafizhahullâh saat ditanya tentang nasyid Islam dan fatwa yang membolehkannya. Beliau mengatakan, “Penamaan itu (nasyid Islami) saja sudah tidak tepat. Sebab sebutan ini belum pernah ada dalam khazanah buku generasi Salaf dan ulama besar. Golongan Sufi lah yang menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama yang mereka namai dengan as-samâ’. Di masa kita ini, tatkala partai-partai dan gerakan-gerakan dakwah menjamur, setiap partai dan jamaah dakwah memiliki nasyid-nasyid pemompa gelora semangat yang mereka tengarai dengan nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar. Karena itu, tidak boleh dipakai dan disebarluaskan di tengah masyarakat. Wabillâhit taufiq. (Majallah ad-Da’wah, kutipan dari hlm. 37)
Dalam al-Khuthab al-Mimbariyyah (3/184-185), beliau juga menegaskan hal yang sama dengan berkata, “Penamaannya dengan nasyid Islami adalah sebuah kekeliruan. Sebab Islam tidak mensyariatkan nasyid. Akan tetapi, yang disyariatkan adalah dzikrullâh, membaca al-Qur`ân dan belajar ilmu yang bermanfaat… Memasukkan musik dalam bagian agama termasuk tasyabbuh (menyerupai) dengan Nasrani yang membangun agama mereka nyayian koor dan alunan musik…”
Jelas sudah, sumbernya sendiri sudah bermasalah. Karena itu, tidak mengherankan bila juga melahirkan masalah lanjutan, menjauhkan dari al-Qur‘an dan Sunnah. Hasil yang tentunya sangat kontradiktif dari niat para pencipta lirik dan orang-orang yang melakukannya. Pastinya, mereka berharap lebih dekat dengan Allâh Ta'âla dan mencintai ajaran Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Faktanya, penanya (Anda) sudah mengalaminya sendiri.
Dalam al-Qur‘an, penyakit terbagi dua; syahwat dan syubhat. Penyakit pertama menimpa kaum pelaku maksiat yang memperturutkan hawa nafsunya untuk kepuasan sesaat. Penyakit kedua langsung mengenai hati dan pikiran, dimana pola pikir atau argumentasi lemah yang memperdaya telah mengendap di dalam hati paling dalam sehingga mampu menyetirnya dan menjauhkan dari dzikrullâh.
Konkretnya, akan muncul kata dari hati Anda atau komentar dukungan dari orang lain yang sepemikiran yang kurang lebih berbunyi, “Ini kan musik Islami alternatif pengganti musik-musik yang ada, syair-syairnya kan bagus, tidak berbicara tentang cinta haram seperti musik kebanyakan, akan tetapi bertemakan tentang akherat, jihad, mencari cinta Allâh Ta'âla, mendambakan anak shaleh, istri shalehah….
Begitu panjang deretan bisikan pembelaan yang akhirnya akan membuat orang mengangguk setuju kalau itu musik Islami sehingga bukan suatu yang tercela untuk melagukannya.
Parahnya, sebagian orang mendendangkannya setiap ada kesempatan dan waktu luang atau untuk mengiringi pekerjaan yang sedang dikerjakan maupun menjadikannya sebagai hobi. Ini berarti telah meninggalkan hal-hal lain yang lebih penting, misalnya dzikrullâh yang disyariatkan. Atau yang lebih parah dari itu, apabila ada orang yang lebih merasa lebih mudah tersentuh dengan lirik-lirik nasyid daripada dengan nasehat-nasehaat al-Qur‘an dan Hadits. Nas‘alullâh lana wa lil muslimin hidaayah wal ‘afiyah.
Hendaknya mereka mencamkan firman Allâh Ta'âla berikut :
Dan apakah tidak cukup bagi mereka
bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al- Qur’an)
sedang dia dibacakan kepada mereka
Sesungguhnya di dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar
dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman
(Qs al-’Ankabût/29:51)
bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al- Qur’an)
sedang dia dibacakan kepada mereka
Sesungguhnya di dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar
dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman
(Qs al-’Ankabût/29:51)
Abu Zur’ah rahimahullâh pernah mengatakan:
مَنْ لَـمْ يَكُنْ لَهُ فِـيْ كِتَابِاللهِ عِبْرٌ فَلَيْسَ لَهُ فِـيْ هَذَا عِبْرَةٌ
Siapa saja yang tidak mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari Kitabullâh,
maka ia tidak dapat mengambil ibrah (dari selainnya)
(Siyar A’lâmin Nubalâ: 12/ 1120)
maka ia tidak dapat mengambil ibrah (dari selainnya)
(Siyar A’lâmin Nubalâ: 12/ 1120)
Inilah kekeliruan sebagian orang, kurang memperhatikan al-Qur‘an yang sarat dengan pelajaran-pelajaran dan hikmah sehingga lebih menyukai lirik-lirik syair yang dimusikkan. Ini termasuk hajrul Qur‘ân (mengacuhkan al-Qur‘ân) yang dikeluhkan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada Allâh Ta'âla :
Berkatalah Rasul:
“Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku
telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan”
(Qs al-Furqân/25:30)
“Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku
telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan”
(Qs al-Furqân/25:30)
Dalam kitab ash-Shahîh, Imam al-Bukhâri rahimahullâh menuliskan bab yang berjudul 'Adalah dibenci kondisi orang yang lebih banyak sibuk dengan syair sampai melupakannya dari dzikrullâh, ilmu dan al-Qur`ân’.
Sebagai terapi pengobatan, hendaknya kita kembali kepada hal-hal yang disyariatkan Islam dalam seluruh urusan; misalnya dalam urusan cara menenangkan jiwa, memompa semangat berbuat baik, melunakkan hati, meningkatkan semangat pengorbanan dan perjuangan.
Secara bertahap beralihlah untuk memperbanyak mendengar al-Qur‘an. Al-Qur‘an merupakan kitab hidayah (petunjuk) yang tidak boleh dikesampingkan seorang Muslim dan Muslimah. Bacaan tartil para imam Haramain (Mekah Madinah) bisa jadi pilihan. Saat mendengarkan bacaan, berusahalah memahami makna dan menghayatinya sedikit demi sedikit. Bersikaplah seolah-oleh mendengarnya langsung dari Allâh Ta'âla. Lakukan terapi ini sampai tercabut dari hati dan kecintaan mendengar al-Qur‘an menjadi mapan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh telah menyampaikan ini dalam al- Madârij 1/540, 2/517-518)
Tak lupa, memperbanyak istighfar dan dzikir karena mampu membersihkan hati dan jiwa dan mendekatkan diri kita kepada Allâh Ta'âla sehingga lebih mudah menerima nasehat dari wahyu Ilahi. Akhirnya, semoga pemaparan singkat ini bermanfaat sehingga Anda dapat meraih cinta Allâh Ta'âla dengan cara-cara yang disyariatkan, dan selanjutnya cinta suami pun selalu dalam genggaman. Wallâhu muwaffiq.
(Sakinah: Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)
0 comments:
Post a Comment