Qadha (penggantian) puasa diwajibkan atas beberapa orang:
Pertama, musafir.
Kedua, orang sakit yang diharapkan bisa sembuh, yaitu sakit yang bisa disembuhkan menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan.
Dua poin di atas berdasarkan firman Allah Ta’âla,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka, barangsiapa di antara kalian yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari (puasa) yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]
Ketiga, perempuan yang menangguhkan puasa karena haidh atau nifas.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Aisyah menyatakan,
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami, dan kami diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”
Adapun perempuan nifas, hukumnya sama dengan perempuan haidh dalam pandangan syariat Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
Keempat, muntah dengan sengaja.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ yang mempunyai hukum marfu’ bahwa beliau berkata,
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Barangsiapa yang sengaja muntah, padahal dalam keadaan berpuasa, dia wajib membayar qadha, dan barangsiapa yang tidak kuasa menahan muntah (muntah dengan tidak sengaja,-pent.), tidak ada qadha atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shahih)
Tidak ada qadha atas siapapun, kecuali terhadap orang-orang tersebut di atas.
Waktu Pelaksanaan Qadha
Qadha bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallâhu‘anhâ bahwa Aisyah berkata,
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kadang saya memiliki (tunggakan) puasa Ramadhan, tetapi saya tidak dapat mengqadhanya, kecuali pada Sya’ban, lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”
Cara dalam Hal Mengqadha
Ada keluasan dalam hal mengqadha tunggakan puasa, baik secara bertutut-turut maupun terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’âla,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“(Dia wajib berpuasa) sebanyak hari (puasa) yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” bermakna umum, baik dilakukan secara berturut-turut maupun terpisah.
Segera Mengqadha
Tentunya, tidaklah diragukan bahwa bersegera dalam hal mengqadha tunggakan puasa adalah perkara yang sangat afdhal dalam tuntunan syariat.
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah, untuk bersegera dalam kebaikan, yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah, seperti firman AllahTa’âla,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 61]
Lalai dalam Hal mengqadha
Barangsiapa yang tidak mengqadha tunggakan puasanya sehingga bulan Ramadhan berikutnya masuk, padahal sebelumnya, memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mengqadha tunggakan puasa tersebut, ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa beliau berkata,
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kadang saya memiliki (tunggakan) puasa Ramadhan, tetapi saya tidak dapat mengqadhanya, kecuali pada Sya’ban, lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan ketidakbolehan mengakhirkan qadha puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab, andaikata hal tersebut boleh, niscaya Aisyah akan mengakhirkan qadhanya setelah Ramadhan karena mungkin saja pada Sya’ban, beliau juga sibuk melayani Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Berangkat dari sinilah pendapat Imam Empat serta jumhur ulama salaf dan khalaf, bahkan ada kesepakatan yang dinukil dari kalangan ulama akan ketidakbolehan mengakhirkan qadha setelah Ramadhan.
Bila Ada Udzur dalam Hal Mengakhirkan Qadha
Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali mengqadha tunggakan puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya, seperti orang yang bersafar terus menerus dan perempuan yang hamil berkali-kali dengan jarak yang rapat, dia tidak berdosa dan hendaklah mengganti puasanya pada waktu yang ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah: 286]
Wafat Sebelum Mengqadha
Bagi orang yang meninggal dan belum mengqadha tunggakan puasa Ramadhan, padahal sebelumnya, memiliki kemampuan mengqadha tunggakan puasanya, ahli warisnya wajib membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang meninggal, padahal memiliki kewajiban (tunggakan) puasa, ahli warisnya dapat berpuasa untuknya.”
Adapun, kalau meninggal sebelum ada kemungkinan baginya untuk mengqadha puasanya, dia tidak berdosa, insya Allah, juga ahli warisnya tidak wajib membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah: 286]
0 comments:
Post a Comment