Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Ia berkata, “Kapan hari kiamat terjadi?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?” Ia menjawab, “Tidak ada sama sekali. Hanya saja, sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rosul-Nya.” Maka beliau bersabda, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas pun mengatakan, “Tidaklah kami berbahagia dengan sesuatu seperti halnya kebahagiaan kami dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Karena saya mencintai Nabi, Abu Bakar dan Umar. Dan saya berharap saya bersama mereka karena kecintaan saya kepada mereka, meskipun saya tidak beramal seperti amal mereka.” [1]
Cinta bisa membawa sengsara, cinta juga bisa membawa bahagia, cinta tidak bisa dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia dan seluruh makhluk di dunia, bahkan cinta adalah sifat yang Maha Kuasa, Pencipta cinta.
Cinta adalah fitrah manusia yang memiliki derajat dan tingkatan. Puncak cinta tertinggi adalah penghambaan dan ibadah, kepada siapa cinta itu ditujukan, dan bagaimana cinta itu diberikan. Itulah yang akan menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan, bukan hanya didunia ini saja, namun juga yang paling penting adalah setelah keluar dari dunia ini, di akhirat kelak.
Luapan cinta akan membuahkan idola. Tidak mungkin seseorang menjadikan sesuatu sebagai idola melainkan sebelumnya telah didasari dengan cinta, ditambah dengan pemuliaan dan pengagungan kepada yang diidolakan, maka idola bisa menjadi sesembahan, yang apabila ditujukan kepada selain Allah azza wa jalla maka idola yang demikian akan menjadi suatu berhala yang disembah dan diagungkan dengan Allah azza wa jalla, bahkan lebih besar dari-Nya. Demikianlah memang, meskipun dalam perkembangan bahasa kita, kata ini telah menjadi suatu istilah yang lebih mengarah kepada makna suri tauladan yang dicintai, disanjung, dipuja, dikagumi dan dijadikan panutan.
Apalagi sekarang ini kita lihat kaum muslimin banyak yang meng’idola’kan orang-orang yang tidak pantas untuk dijadikan panutan dan teladan. Berbagai acara di televisi yang mengarahkan idola kepada para selebritis, bintang film, penyanyi, dan semacamnya yang dilihat dari ‘keberhasilan’ dunia mereka, ketenaran, kemasyhuran, kesuksesan duniawi yang mereka miliki; telah membawa kaum muslimin kepada arus yang sangat deras ini. Media itu sengaja dibuat dan direkayasa oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin untuk menyesatkan dan menjauhkan mereka dari Islam secara total, jika mereka mampu, atau minimalnya mengikuti ajaran mereka. Meskipun masih menyandang status muslim, tetapi cara berfikir dan pemahaman bahkan keyakinan dan akidah mereka telah jauh dari Islam. Dan hal ini lebih mudah bagi mereka untuk merealisasikannya. Cara ini telah berhasil mereka lakukan kepada banyak kaum muslimin dan generasi muslim, hingga kepada kalangan remaja, anak-anak bahkan mereka yang maish balita sekalipun.
Keluarga adalah kelompok terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat dan suatu bangsa. Baik buruknya sebuah masyarakat atau suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh keluarga-keluarga yang membentuknya. Dimulai dari awal terbentuknya biduk rumah tangga, suami istri yang memiliki satu keyakinan, cara pandang dan berfikir sama, satu tujuan dan akidah, prinsip hidup dan pemahaman yang satu adalah titik penting yang menentukan ke mana arah dan orientasi keluarga itu di masa mendatang. Demikian pula sebaliknya, ketika di antara suami dan istri tidak memiliki kesatuan dalam prinsip dan orientasi, apalagi akidah, maka hal ini akan sangat berpengaruh dalam pembentukan generasi dan keturunan. Sehingga hal ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar bagi orang tua yang harus diperhatikan.
Seorang muslim harus membentengi diri dan keluarga mereka dari berbagai pengaruh buruk yang masuk dan merasuk ke dalam diri mereka, apalagi dengan perkembangan tekhnologi yang tidak bisa dibendung dan dihindari seperti sekarang ini. Ketika membawa muatan negative dan sisi buruk, orang tua harus lebih ketat dan melekat dalam mengawasi dan membimbing anak-anaknya.
Di antara sisi yang paling penting dalam perkembangan pribadi anak adalah bagaimana menanamkan dan membentuk sosok yang bisa dijadikan sang anak sebagai panutan dan teladan yang mengakar dalam dirinya. Hal ini bisa diwujudkan dengan senantiasa menceritakan, mengisahkan dan menyampaikannya secara terus-menerus dan rutin, menyebutkan dan membacakan keutamaan dan keagungan sosok tersebut, hingga terbentuk, tertanam dan terpatri dalam diri mereka rasa cinta, hormat, kagum, bangga, dan mengagungkannya dan menjadikan sang anak memiliki keinginan untuk menjadi seperti mereka, meneladaninya dan menjadikan panutan dalam hidupnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, para nabi dan rosul berserta keluarga mereka, para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat wanita, laki-laki dan wanita salafush shalih, dan para ulama adalah yang paling layak dan harus dijadikan sosok tersebut. Keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, keluarga ‘Imron, keluarga Luqman al-Hakim, keluarga Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, keluarga Nabi Dawud ‘alaihis salam, keluarga Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, dan seluruh keluarga yang dikisahkan dalam al Qur’an adalah sosok keluarga-keluarga teladan yang paling layak dijadikan contoh dan teladan keluarga muslim. Maryam, Asiyah istri Fir’aun, dan para wanita yang disebutkan dalam al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan bagi para wanita beriman.
Kisah dan siroh perjalanan hidup mereka seharusnya banyak diceritakan dan dikisahkan dalam keluarga muslim untuk membentuk sosok kepribadian teladan bagi pribadi dan keluarga. Sebaliknya, keluarga harus dijauhkan dari berbagai sosok lain yang tidak pantas atau bahkan haram untuk dijadikan sebagai panutan dan teladan, apalagi ‘idola’, seperti tokoh fiktif dan khayalan semisal superman dan semacamnya, atau para selebritis, penyanyi, bintang film, pemain olah raga dan semisal mereka yang banyak dipropagandakan dan menjadi proyek musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya.
Apabila seseorang telah menjadikan sebuah sosok sebagai teladan, panutan apalagi idola, maka ia akan berusaha mengikuti, meneladani dan mencontoh apa saja yang dilakukannya dan mentaati apa saja yang dikatakannya sebagaimana dikatakan:
Seandainya cintamu sejati tentu engkau akan menaatinya
Sesungguhnya orang yang mencintai akan taat kepada yang dicintainya..
Dalam hadits di atas, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu merasakan kebahagiaan yang paling mendalam setelah kebahagiaan dengan keimanan dan keislamannya dengan hadits ini, yaitu kecintaan keapda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhum. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa seseorang akan bersama orang yang dicintainya, berarti ia akan bersama mereka di surga karena mereka adalah para penghuni surga yang paling tinggi. Meskipun Anas merasa tidak mampu untuk beramal sebagaimana amal mereka, namun ia yakin dan berharap cintalah yang akan bisa membawanya bersama mereka hingga hari kiamat, dan hingga masuk ke dalam surga di sisi-Nya.
Berbahagialah orang yang memberikan cinta yang paling besar dalam dirinya setelah Allah azza wa jalla. Kepada manusia-manusia yang diridhoi dan dicintai-Nya. Adapun sebaliknya, apabila seseorang menjadikan teladan , panutan dan orang yang dicintainya apalagi yang menjadi idola dalam hidupnya adalah ahli dunia, apalagi yang memiliki sifat, amal perbuatan, keyakinan yang menyimpang bahwa bertentangan dengan apa yang dimurkai-Nya, maka ia pun akan bersamanya di dunia dan nanti di akhirat ketika mereka terancam dengan api neraka, wal’iyadzubillah.
Akankah kita memilih teladan dan panutan yang lain setelah kita mengetahui dan yakin bahwa kita akan bersama orang yang kita teladani dan kita cintai nanti dihari kiamat?! Seorang mukmin tidak akan spekulatif dalam pilihannya. Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dunia pergi menjauh dan akhirat dating mendekat, dan masing-masing dari keduanya memiliki anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, karena hari ini adalah hari beramal, bukan hari penghisaban, dan esok adalah hari penghisaban dan tiada lagi beramal.”
Wallahul muwaffiq
Penulis: Ustadz Abu Abdirrohman –hafizhahullah-
——————–
Fote Note:
Fote Note:
[1] HR.al-Bukhari kitab al-Jumu’ah bab man intazhara hatta tudfan 5/12 no.3688, Muslim 8/42 kitab Al-Birr wash shilah wal aadaab, bab al-Mar’u ma’a man ahabba 8/42 no.6881
[2] Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 7/100 no.34495 dan yang lain
Sumber: Disalin ulang dari Majalah al-Mawaddah Edisi ke-8, Tahun ke-3, Robi’ul Awwal-Robi’uts Tsani 1431H, Maret 2010, Hal.12-14
Download File:
Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah – Moslem Weblog
0 comments:
Post a Comment