Share
div id='fb-root'/>

Tuesday, January 24, 2012

Pengorbanan Jatah Waktu Bagi Istri Aktivis Dakwah

Share on :

“Abang, gimana ni, pagi-pagi ba’da subuh pergi mengajar bahasa Arab, habis itu pergi ke kantor, terus kadang pulang sore sambil ngurus dakwah di luar, ngurus kajian atau daurah, ba’da magrib juga kadang ikut kajian, nah malamnya abang belajar baca kitab, kadang lama banget dan gak bisa di ganggu, waktu buat saya kapan bang? Abang itu seakan-akan bukan suami saya tapi suaminya jama’ah”

Siapa bilang jadi istri aktivis dakwah enak terus? siapa bilang jadi istri ustadz terjamin masuk surga dan otomatis jadi ustadzah? Siapa bilang jadi istri sorang dai selalu bahagia. Salah satu ujian dalam agama yang cukup terasa oleh istri para aktivis dakwah adalah jatah waktu buat mereka yang berkurang atau sangat sedikit dari suami mereka. Waktu dan perhatian yang terbagi, padahal sudah bukan rahasia lagi jika salah satu kebahagiaan utama istri adalah bermanja-manja, perhatian dan pendidikan dari suami. Di sinilah diperlukan dukungan dan pengertian dari istri.

Kenikmatan ilmu, ibadah dan dakwah bisa mengalahkan kenikmatan wanita
Salah satu kenikmatan yang paling nikmat untuk dinikmati oleh laki-laki dari karunia Allah  adalah wanita [yang halal]. wanita adalah anugrah Allah yang sangat besar bagi laki-laki dan sebaik-baik pehisasan dunia jika wanita yang menjadi istri yang halal adalah wanita yang shalihah. Bahkan di antara semua kenikmatan dunia, salah satu yang paling disukai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita. Beliau bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
Diberi rasa cinta padaku dari dunia yaitu wanita dan wangi-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.” [HR. An Nasai no. 3939, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani, Lihat Al Misykah no. 5261 dan Shahih Al Jaami’ Ash Shagir no. 3124]

Dan wanita adalah kenikmatan dunia sekaligus fintah terbesar laki-laki. shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.” [HR. Bukhari no.5096 dan Muslim no.7122]

Dan kenyataan membenarkannya, sampai-sampai ada komentar orang awam, “percuma saja kaya, jabatan tinggi dan wajah ganteng tetapi tidak bisa menikmati wanita [yang halal]”
Akan tetapi terkadang ada kenikmatan yang lebih nikmat lagi dan hanya mampu dirasakan oleh orang yang mendapat taufik dari Allah yaitu nikmatnya ilmu dan dakwah. Kenikmatan ilmu memang tiada taranya, nikmat menelaah dan membaca kitab-kitab para ulama, nikmat membahas permasalahan agama kemudian memperoleh jawabannya dan kenikmatan memainkan pena menulis Al-Quran, Sunnah dan perkataan ulama. Begitu juga dengan kenikmatan beribadah, Semua kenikmatan ini terkadang bisa mengalahkan kenikmatan wanita. Inilah yang dirasakan oleh sebagian aktivis dakwah, ustadz dan dai.

Memang kenikmatan mendekatkan diri kepada Allah baik berupa amal dan ilmu adalah suatu kenikmatan yang tiada taranya. Ini hanya diperoleh bagi mereka yang bersungguh-sungguh dan mendapat taufik dari Allah. Bisa kita lihat kisah sahabat Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu yang sudah merasakan nikmatnya beribadah sampai lupa terhadap istrinya.
عن عون بن أبي جحيفة، عن أبيه، قال: آخى النبي
صلى الله عليه وسلم بين سلمان، وأبي الدرداء، فزار سلمان
أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء متبذلة، فقال لها:
ما شأنك؟ قالت: أخوك أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا،
“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan: Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisi) dengan sahabat Abu Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi, maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya: Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’-pun menjawab: Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia.

 فجاء أبو الدرداء فصنع له طعاما، فقال: كل؟ قال:
فإني صائم، قال: ما أنا بآكل حتى تأكل،
قال: فأكل، فلما كان الليل ذهب أبو الدرداء يقوم،
قال: نم، فنام، ثم ذهب يقوم فقال: نم، فلما
كان من آخر الليل قال: سلمان قم الآن، فصليا
Maka tatkala Abu Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salmanpun berkata: Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abud Darda’ pun menjawab: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata: Aku tidak akan makan, hingga engkau makan, maka Abu Darda’pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abud Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya: Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salmanpun kembali berkata kepadanya: tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata: bangunlah sekarang, dan shalat (tahajjud).

فقال له سلمان: إن لربك عليك حقا، ولنفسك عليك حقا،
ولأهلك عليك حقا، فأعط كل ذي حق حقه،
فأتى النبي صلى الله عليه وسلم، فذكر ذلك له،
فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «صدق سلمان
Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata: Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya. Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan bersabda: Salman telah benar.” (HR. Bukhari no. 1968).

Dan banyak kisah lainnya yang hampir sama, seperti Khuwailah binti Hakim yaitu istri Utsman bin Mazh’un, keadaannya juga  sering lusuh, Aisyah menceritakan bahwa suaminya senantiasa puasa di siang hari dan senantiasa shalat sepanjang malam, sehingga keadaannya seakan-akan tidak bersuami. Oleh sebab itulah ia merasa tidak perlu berhias, bahkan membiarkan dirinya apa adanya seperti ini.
Demikian juga dikisahkan bahwa kebiasaan Imam Zuhri kalau masuk rumah, maka beliau meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau menikmati kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia lainnya. Suatu saat isterinya pernah berkata padanya: “Demi Allah, sungguh kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga isteri sainganku!”.[ Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 4/177-178, dinukil dari http://abiubaidah.com]

Hendaknya istri mendukung suami dalam ilmu, amal dan dakwah
Sudah menjadi fitrah bahwa tugas istri adalah mendukung suaminya dalam kehidupannya. Lebih-lebih dalam memperjuangkan agama ini, mendukung suaminya dalam menuntut ilmu agama, mengamalkan ilmunya dan mendukung dalam dakwah.
Hal ini sesuai dengan fitrah wanita dan didukung juga oleh syariat, karena wanita tidak dibebankan amal sebanyak amalan laki-laki seperti jihad, berbakti kepada orang tua dan dakwah. Dan ini sesuai dengan kodrat wanita yang lebih lemah baik fisik dan mentalnya di banding laki-laki. Dalam hadits dijelaskan bahwa wanita cukup melakukan empat hal saja untuk masuk surga dari pintu mana saja, padahal untuk masuk surga dari pinta mana saja, memerlukan kesungguhan yang sangat tinggi. Salah satu empat hal tersebut adalah mentaati suaminya yaitu bisa merupa mendukungnya dalam dakwah adalah mencari ridha suaminya maka ia bisa masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita [1] mengerjakan shalat lima waktunya, [2] mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, [3] menjaga kemaluannya dan [4] menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghirno. 660.)

Bahkan begitu harus taatnya dalam kebaikan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” [HR. At-Tirmidzi no. 1159, berkata Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”]

Bentuk dukungan bisa berupa:
-jika suami sedang belajar di rumah, maka berusaha agar tidak “mengganggu” suami dan menjaga anak-anak agar tidak menyibukkan ayahnya.
-ridha jika suami sering keluar untuk keperluan ilmu dan dakwah dan meninggalkannya.
-tidak terlalu sering sekali protes jika suami sering meninggalkannya untuk hal-hal kebaikan, karena akan membuat suami tidak konsentrasi berdakwah di luar, karena suami yang bertanggung jawab maka ia juga akan memikirkan apa yang menjadi keinginan dan “uneg-uneg” istrinya.
Maka ungkapan “Dibalik laki-laki yang hebat ada wanita yang hebat” adalah ungkapan yang ada benarnya juga.

Mendapat pahala yang sama dengan suami
Terkadang terbesit dalam pikiran para wanita terutama istri, jika wanita hanya diam di rumah maka pahalanya kebaikannya kurang dan hanya suami saja yang mendapatkan pahala jihad dan dakwah. Maka ini sudah pernah ditanyakan oleh sahabat wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sahabat wanita itu adalah Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha,
أنها أتت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهو بين أصحابه،
فقالت: بأبي وأمي أنت يا رسول الله، أنا وافدة النساء إليك،
إن الله عَزَّ وَجَلَّ بعثك إلى الرجال والنساء كافة،
فآمنا بك وبإلاهك، وإنا معشر النساء محصورات مقصورات،
قواعد بيوتكم، ومقضى شهواتكم، وحاملات أولادكم.
“Bahwa dia [Asma] mendatangi Rasulullah, sementara beliau sedang duduk di antara para sahabatnya. Asma’ berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu ya Rasulullah. Saya adalah utusan para wanita di belakangku kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Kami para wanita selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian,

وإنكم معشر الرجال فضلتم علينا بالجمع والجماعات،
وعيادة المرضى، وشهود الجنائز، والحج بعد الحج،
وأفضل من ذلك الجهاد في سبيل الله عَزَّ وَجَلَّ وإن الرجل
إذا خرج حاجا أو معتمرا أو مجاهدا، حفظنا لكم أموالكم،
وغزلنا أثوابكم، وربينا لكم أولادكم،
أفما نشارككم في هذا الأجر والخير؟
sementara kalian – kaum laki-laki – mengungguli kami dengan shalat Jum’at, shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang lebih utama dari itu adalah jihad fi sabilillah. Jika salah seorang dari kalian pergi haji atau umrah atau jihad maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan ini sama seperti kalian?”

فالتفت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى أصحابه بوجهه كله،
ثم قال: ” هل سمعتم مقالة امرأة قط أحسن من مساءلتها
في أمر دينها من هذه؟ ” فقالوا: يا رسول الله،
ما ظننا أن امرأة تهتدي إلى مثل هذا.
Nabi memandang para sahabat dengan seluruh wajahnya. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang urusan agamanya daripada wanita ini?” mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak pernah menyangka ada wanita yang bisa bertanya seperti dia.”

فالتفت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إليها فقال:
” افهمي أيتها المرأة، وأعلمي من خلفك من النساء،
أن حسن تبعل المرأة لزوجها وطلبها مرضاته، واتباعها موافقته،
يعدل ذلك كله “.فانصرفت المرأة وهي تهلل
Nabi menengok kepadanya dan bersabda, “Pahamilah wahai ibu. Dan beritahu para wanita di belakangmu bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu. Wanita itu berlalu dengan wajah berseri-seri. [Usudul Ghaayah  fi ma’rifatis shahabah 7/17, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. Ke1, 1415 H. Asy-Syamilah]

Perbandingan dengan istri ulama dan ustadz
Hendaknya para istri melihat pengorbanan istri para ulama dan ustadz, Pengorbanan waktu para istri di zaman ini jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu para istri ulama dahulu maka sangat jauh, para ulama meninggalkan istri mereka selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun untuk menuntut ilmu, berdakwah dan berjihad. Begitu juga dengan ustadz-ustadz yang sering pergi ke berbagai daerah selama beberpa pekan, mereka juga meninggalkan istrinya. Sedangkan jika hanya ditinggal beberapa lama dan tetap pulang pada hari itu, maka ini tidak seberapa.
Sebagai perbandingan, lihat bagaimana istri ulama besar abad ini, Al-Mujaddid syaikh Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin  yang istrinya sempat buta huruf, tidak sempat belajar karena membantu dan mendukung suaminya, istrinya bertutur,
“ini mungkin tidak diketahui sebagian besar orang bahwa saya buta huruf dan tidak menerima sedikitpun pendidikan formal. Ketika saya pertama kali menikah dengan Syaikh, saya benar-benar sibuk melayaninya dan memberikannya kebenaran, lingkungan yang nyaman agar dapat menuntut ilmu dan mengajar. Setelah kami memiliki anak, saya sibuk dengan mereka, mengambil semua waktu saya untuk membesarkan mereka, disamping waktu yang saya habiskan untuk membantu dan mendukung Syaikh dalam menuntut ilmu.” [ Majalah “Al-Mutamayyizah”, Riyadh, KSA, Edisi No. 45, Ramadhan 1427H. http://salafiyunpad.wordpress.com]

Demikian juga di masa Umar bin Khattab ketika sedang gencar-gencarnya jihad perluasan daerah dan dakwa Islam, para istri juga harus berkorban waktu dan jatahnya, karena ditinggal waktu yang sangat lama oleh suami mereka, sehingga Umar membatasi waktu selama 4 bulan saja dan setelah 4bulan, suami harus pulang mengobati kerinduan istri mereka. Bisa di lihat dikisah berikut,
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه خرج ليلة يحرس الناس
فمر بامرأة وهي في بيتها وهي تقول
(تطاول هذا الليل واسود جانبه وطال علي ألا خليل ألاعبه)
(فوالله لولا خشية الله وحده لحرك من هذا السرير جوانبه)
“Bahwasanya Umar bin Khathab  radiallahu ‘anhu  keluar pada suatu malam menjaga (sidak) manusia, maka dia melewati seorang wanita di dalam rumahnya bersyair:
Malam ini begitu lama, sisi-sisinya begitu hitam.
Menjadi semakin lama pula atasku, tanpa ada kekasih yang bercumbu dengannya
 Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut terhadap Allah semata
Pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergoyang-goyang
–maksud  “pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergoyang-goyang” adalah, karena saking lamanya, ia tidak tahan untuk tidak disentuh [syahwat biologisnya tidak tersalurkan],  jika jika tidak ada takwa/takut kepada Allah maka ranjangnya pasti akan digoyang oleh laki-laki yang lain, pent–

فلمل أصبح عمر أرسل إلى المرأة فسأل عنها فقيل :
هذه فلانة بنت فلان وزوجها غاز في سبيل الله
فأرسل إليها امرأة فقال : كوني معها حتى يأتي زوجها
وكتب إلى زوجها فأقفله ثم ذهب إلى حفصة بنته
Maka ketika pagi Umar mengirim utusan kepada wanita tersebut dan bertanya tentangnya, maka dikatakan: ini adalah Fulanah binti Fulan, suami berperang di jalan Allah, maka Umar mengirim seorang wanita kepanya dengan berkata: ‘tinggallah kamu bersamanya sampai suaminya datang’, dan Umar menulis kepada suaminya lalu pulang kemudian pergi kepada Hafshah putrinya
فقال لها يا بنية ! كم تصبر المرأة عن زوجها ؟ فقالت له
: يا أبه ! يغفر الله لك أمثلك يسأل مثلي عن هذا ؟
فقال لها : إنه لولا أنه شيء أريد أن أنظر فيه للرعية
ما سألتك عن هذا قالت : أربعة أشهر أو خمسة أشهر
أو ستة أشهر فقال عمر : يغزو الناس يسيرون شهرا ذاهبين
ويكونون في غزوهم أربعة أشهر ويقفلون شهرا
فوقت ذلك للناس من سنتهم في غزوهم
Maka Umar berkata kepadanya: ‘wahai putriku! Berapa lama seorang wanita sabar ditinggal suaminya?’ Maka dia menjawab: ‘Wahai ayahanda! Semoga Allah mengampuni Anda, orang seperti Anda bertanya kepada orang sepertiku tentang masalah ini?’ Umar Menjwab: ‘seandainya bukan karena aku ingin melihat urusan kaum muslimin, aku tidak akan bertanya kepadamu’. Dia menjawab: ’empat bulan atau lima bulan atau enam bulan’. Maka Umar berkata: ‘Manusia akan berperang (maksimal) selama satu bulan perjalanan berangkat, dalam medan perang selama empat bulan dan pulang selama satu bulan, dan ini adalah waktu yang menjadi ketetapan manusia dalam berperang’”
[Sunan Sa’id bin Manshur 2/210 no. 2463, Darus Salafiyah, cet. Ke-1, 1403 H,Asy-Syamilah), j. 2, hlm. 174, no. 2463, lihat juga Mushnaf Abdirrazaq  7/151 no. 12593, Asy-Syamilah]

Hendaknya suami tidak lupa dakwah di rumah sendiri
Jangan sampai para suami sibuk berdakwah di luar tetapi lupa dengan dakwah di keluarganya, tidak mendidik istri dan anak-anaknya. Allah  Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(QS. At-Taahrim:6)

Ar-Razi rahimahullahu menjelaskan ayat ini mengutip perkataan Muqatil rahimahullahu,
وَقَالَ مُقَاتِلٌ: أَنْ يُؤَدِّبَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ،
فَيَأْمُرَهُمْ بِالْخَيْرِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الشَّرِّ
seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, memerintahkan mereka kebaikan dan melarang dari keburukan”. (Mafaatihul Ghoib Tafsir Ar-Roziy30/527Dar Ihya’ At-Turats, cet-ke-3, 1420 H, Asy- Syamilah)

Contoh sederhananya misalnya:
-jika suami pulang majelis ilmu maka suami menjelaskan dan meringkas ilmu yang diperoleh kepada istri, bisa sekitar 5-10 menit, demikian juga jiika setelah membaca buku. Akan tetapi sang istri juga harus semangat meminta dijelaskan dan menuntut ilmu dari suaminya
-mengajarkan bahasar Arab bagi istri di rumah, bisa dengan membiasakan bahasa Arab sediki-tsedikit dengan istri, dalam berbincang ringan dengan istri.
-menyisihkan waktu untuk mendengarkan setoran hapalan istri berupa hapalan Al-Quran atau hadits atau doa sehari-hari, karena kelak istrilah yang lebih banyak mengajarkan kepada anak kita.

Demikian yang dapat kami jabarkan semoga bermanfaat bagi kita semua.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
30 Shafar 1433 H bertepatan 24 Januari 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Terkhusus untuk istri penulis yang harus berbagi antara kampus, rumah sakit, Ilmu dan dakwah
Artikel http//muslimafiyah.com

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More