Sering kita melihat makanan, buah, atau kurma terdapat ulat. Ulat sendiri sesuatu yang menjijikkan bagi orang yang normal. Namun bagaimana menyantap makanan yang terdapat ulat? Halalkah?
Dalam kitab fikih, para ulama merinci mengenai hukum ulat dalam makanan.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ulat zunbur (ulat kumbang) dan semacamnya sebelum ditiupkan ruh di dalamnya, tidak mengapa dimakan karena ketika itu kumbang tersebut bukanlah bangkai. Jika ruh sudah ditiup pada ulat tersebut, tidak boleh dimakan. Oleh karenanya, tidak boleh memakan keju, cuka dan buah-buahan yang terdapat ulat semacam itu.
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa jika ulat dan sejenisnya mati di dalam makanan (artinya: bukan ikutan dari makanan), lalu bisa dibedakan dengan makanan, maka ulat tersebut wajib disingkirkan. Tidak boleh makan ulat tersebut bersama makanan tadi. Tidak perlu membuang makanan setelah ulat tadi disingkarkan karena bangkai ulat tersebut suci. Akan tetapi, jika ulat tadi tidak bisa dibedakan ketika bercampur dengan makanan, ketika itu makanan dibuang. Karena tidak boleh memakan ulat yang sudah mati walaupun ulat tersebut suci. Makanan tersebut bisa diberi pada anjing, kucing atau hewan lainnya. Namun jika ulat tersebut tidak mati dan ada dalam makanan, boleh memakan ulat tersebut bersama makanan tadi.
Maksud ulama Malikiyah di atas adalah jika ulat tersebut tidak berkembang biak di dalam makanan (seperti pada buah, biji atau kurma). Jika ulat tersebut berkembang biak dalam makanan, maka boleh menikmati makanan tersebut, baik jumlah ulat tadi banyak atau sedikit, baik sudah mati atau masih hidup, baik bisa dibedakan dengan makanan ataukah tidak. Hukum ulat pada kasus kedua ini adalah sebagai ikutan (baca: taabi’) pada makanan.
Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa halal memakan ulat yang berkembang biak di makanan seperti pada cuka dan buah, namun dengan syarat:
- Ulat dimakan dengan makanan, baik ulat tersebut hidup atau mati. Jika hanya ulat saja yang dimakan, maka tidak halal.
- Ulat tidak diambil secara tersendiri. Jika dipisah secara tersendiri, maka tidak halal dimakan. Kedua syarat pertama ini bermakna taabi’, artinya ulat tersebut hanya sebagai ikutan.
- Ulat tersebut tidak merubah rasa, bau, atau warna makanan jika makanan tersebut cair. Namun, jika ulat tersebut merubah ketiga hal tadi, maka tidak halal disantap atau diminum karena ketika itu dinilai najis.
Hal di atas diqiyaskan (dianalogikan) dengan ulat yang berkembang biak pada kurma atau sayuran lalu dipanasi. Ulat tersebut halal dimakan selama tidak mengubah keadaan air. Begitu pula hal di atas dianalogikan dengan semut yang jatuh dimadu. Semut jika disantap sendiri jelas tidak halal, berbeda halnya jika semut tersebut ada bersama gula atau madu.
Ketika Imam Ahmad mendapati sayuran yang terdapat ulat di dalamnya. Beliau lantas berkata,
تجنّبه أحبّ إليّ ، وإن لم يتقذّر فأرجو
“Menjauhi sayuran semacam itu lebih aku sukai. Namun jika tidak sampai mengotori (menjijikkan), maka aku pun mau.” Imam Ahmad menganggap tidak mengapa jika kita menyelidik-nyelidik kurma yang terdapat ulat. Lihat contoh dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أُتِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِتَمْرٍ عَتِيقٍ فَجَعَلَ يُفَتِّشُهُ يُخْرِجُ السُّوسَ مِنْهُ.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kurma yang sudah agak lama (membusuk), lalu beliau mengorek-ngorek kurma tersebut. Lantas beliau mengeluarkan ulat dari kurma itu. (HR. Abu Daud no. 3832, shahih kata Syaikh Al Albani)
Jadi hati-hati jika menyantap makanan yang ada ulatnya. Jika ulat itu sendiri diolah menjadi makakan, ini bisa jadi masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat ulat tersebut. Artinya, beliau tidak mau menyantapnya. Dan asal ulat adalah makanan yang menjijikkan menurut orang normal. Allah Ta’ala berfirman,
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
"Dan dia mengharamkan bagi mereka segala yang khobits". (QS Al A’raf: 157). Khobits berarti: sesuatu yang dianggap jijik dan tidak baik oleh orang yang memiliki naluri yang benar
Wallahu a’lam. Wallahu waliyyut taufiq was sadad.
[Diolah dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, pada Bab ‘Ath’imah’ (makanan)]
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Shofar 1433 H after Shubuh prayer
0 comments:
Post a Comment