Banyak orang yang mengaku sebagai pecinta Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun seperti diungkapkan dalam sebuah bait syair:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً لِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
masing-masing mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Sementara Laila tidak mengakui hubungan itu dengan mereka [1]
Sementara Laila tidak mengakui hubungan itu dengan mereka [1]
Mestinya, setiap orang yang mengakui sesuatu harus membuktikan kebenaran pengakuannya, sehingga bukan sekedar bualan kosong belaka:
وَالدَّعَاوِي إِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا بَيِّنَاتٌ فَأَصْحَابُهَا أَدْعِيَاء
Pengakuan-pengakuan jika tak ada bukti
Maka pengakunya hanya pembual belaka
Maka pengakunya hanya pembual belaka
Begitulah halnya dengan pengakuan cinta terhadap Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang paling bersemangat menyuarakan kecintan kepada Ahlu Bait adalah firqah sesat Rafidhah. Bahkan suara pengakuan cinta mereka terkesan dipaksa-paksakan, karena sebenarnya mereka tidak cinta. Akan tetapi dalam rangka mengelabuhi umat Islam, maka mereka mengumandangkan cinta gombal mereka dengan cara-cara menggembar-gemborkannya, kalau perlu dengan membakukannya dalam bentuk perkumpulan atau organisasi pecinta Ahli Bait.
Melalui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wasiat beliau supaya menyintai Ahlu Bait, kaum Rafidhah memanfaatkannya untuk menjajakan agama mereka di tengah kaum Muslimin, sekaligus untuk memecah belah barisan kaum Muslimin.
Di antara hadits-hadits itu ialah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim. Berisi wasiat yang beliau sampaikan di Ghadir Khum (sebuah mata air yang terletak di Khum, suatu tempat antara Mekkah dan Madinah – Lihat Syarh Nawawi).
Dalam hadits itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa beliau meninggalkan dua perkara besar bagi umatnya. Yang pertama Kitab Allah, sedangkan yang kedua adalah sabda beliau berikut ini:
وَأَهْلُ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
Dan Ahli baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku. [HR. Muslim Kitab Fadha’il ash-Shahabah, bab Min Fadha’il Ali Radhiyallahu 'anhu].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang hadits di atas bahwa, “(yang dimaksud) bukan kekhususan bagi Ali Radhiyallahu ‘anhu (dan keturunannya-pen), tetapi meliputi semua Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang yang paling jauh dari (pelaksanaan terhadap) wasiat ini adalah kaum Rafidhah. Karena sesungguhnya mereka (kaum Rafidhah) memusuhi al-Abbas beserta keturunannya, bahkan memusuhi mayoritas Ahli Bait dan membantu orang-orang kafir untuk membinasakannya” [Lihat Majmu’ Fatawa (IV/419].
Zaid bin Arqam, seorang sahabat Nabi yang membawa riwayat hadits di atas, menerangkan bahwa Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meliputi Keluarga Ali bin Abu Thalib, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli Bait beliau. Hanya saja isteri-isteri beliau tidak termasuk yang diharamkan menerima shadaqah (zakat), sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi. [2]
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli Bait beliau, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait. [Al-Ahzab : 33] [3]
Imam Ibnu Katsir, berkaitan dengan surat al-Ahzab ayat 33 di atas, mengatakan, “Ini merupakan nash (ketetapan berdasarkan nash) bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli Bait beliau, sebab mereka merupakan pangkal bagi sebab turunnya ayat tersebut” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa kaum Rafidhah sebenarnya membenci kebanyakan Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada bukti bahwa mereka menyintai Ahli Bait kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Itupun dilakukan secara berlebih-lebihan. Para Ahli Bait yang diperlakukan demikian sendiri tidak mengakui kecintaan mereka.
SIAPAKAH KAUM RAFIDHAH?
Secara garis besar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang siapa Rafidhah itu. Rafidhah ialah kaum yang membenci dan melaknat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma(dua orang Khulafa’ur Rasyidin yang pertama dan kedua-pen). Oleh sebab itu, ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang siapakah orang Rafidhah? Beliau menjawab: Yaitu yang mencaci maki Abu Bakar dan Umar. Karena caci-makian inilah mereka disebut Rafidhah. Sesungguhnya mereka telah menolak (rafadha) Zaid bin Ali (salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib-pen) ketika beliau menyatakan pujian dan kecintaannya kepada dua orang khalifah Abu Bakar dan Umar. Sedangkan kaum Rafidhah membenci keduanya. Maka barangsiapa yang membenci Abu Bakar dan Umar berarti ia seorang Rafidhah.
Ada lagi yang mengatakan bahwa kaum Rafidhah disebut rafidhah karena mereka menolak (rafadha) Abu Bakar dan Umar. [4]
Asal usul Rafidhah berasal dari kaum munafiqin dan orang-orang zindik (orang yang secara lahir seperti cinta kepada Islam, namun batinnya penuh kebencian terhadap Islam). Kelompok ini merupakan hasil rekayasa Ibnu Saba’ sang zindik. Mula-mula ia menampakkan sikap berlebih-lebihan (cinta secara over acting) terhadap Ali. Caranya, dengan menganggap Ali berhak menjadi Imam berdasarkan nash. Kemudian menganggap bahwa Ali adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan-pen).
Oleh sebab itu, ketika asas Rafidhah adalah kemunafikan, maka sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa, “Menyintai Abu Bakar dan Umar merupakan keimanan, sedangkan membenci keduanya merupakan kemunafikan. Menyintai Bani Hasyim (di antaranya al-Abbas-pen) adalah keimanan, sedangkan membencinya berarti kemunafikan” [5]
BAGAIMANA SIKAP AHLUS SUNNAH?
Ternyata yang benar-benar menyintai dan memberikan pembelaan serta loyalitas kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagai salah seorang tokoh terkenal Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa “Ahlus Sunah menyintai dan memberikan pembelaan kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta memelihara wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keharusan menyintai Ahlul Bait yang disampaikan di Ghadir Khum”, kemudian beliau memaparkan dalil-dalilnya. [6]
Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya meriwayatkan hadits dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhuketika di tanya oleh Hushain bin Sabrah (seorang Tabi’i). Zaid bin Arqam mengatakan,
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا فِيْنَا خَطِيْبًا، بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا، بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَة فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ :”أَمَّا بَعْدُ : أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ ! فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُوْلُ رَبِّي فَأُجِيْبَ، وَأَناَ تَاِركٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ : أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ فَخُذُوْا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ”. فَحَثَّ عَلَي كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ، ثُمَّ قَالَ : “وَأَهْلُ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي”. فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ : وَمَنْ أهْلُ بَيْتِهِ ؟ يَا زَيْدُ ! أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ : نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ يَبْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ : وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ : هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيْلٍ وَآلُ جَعْفَر وَآلُ عَبَّاسٍ. قاَلَ : كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ : نَعَمْ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan kami, di samping sebuah mata air di suatu tempat yang disebut Khum, (terletak) di antara Mekah dan Madinah. Maka beliau membaca hamdalah dan memuji Allah. Beliau memberikan nasihat dan memberikan peringatan. Kemudian beliau bersabda : “Amma ba’du : Ketahuilah wahai manusia! Saya hanyalah seorang manusia, siapa tahu utusan Rabbku segera datang memanggilku lalu akupun menyambutnya. Saya tinggalkan kepada kalian dua hal besar : Yang pertama : Kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab Allah itu dan pegangilah ia dengan kuat”. Maka beliau menekankan untuk berpegang pada Kitabullah dan mendorong untuk bersemangat berpegang padanya. Kemudian beliau berkata lagi : “Dan Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku”. Kemudian Hushain (bin Sabrah) berkata kepada Zaid (bin Arqam) : “Siapakah Ahli Baitnya?, Wahai Zaid, bukankah isteri-isteri beliau termasuk Ahli Baitnya?” Zaid menjawab : “Isteri-isteri beliau memang termasuk Ahli Baitnya, namun Ahli baitnya (yang dimaksudkan-pen) ialah orang yang diharamkan shadaqah (zakat) bagi mereka sepeninggal Nabi”. Hushain bertanya : Siapakah mereka?. Zaid menjawab : Mereka ialah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas. Hushain bertanya : Mereka semua diharamkan menerima shadaqah?. Zaid menjawab : Ya.[Shahih Muslim, Syarh Nawawi. Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha XV/174-175]
Dalam lafal yang lain, Zaid bin Arqam ditanya: “Siapakah Ahli Baitnya? Apakah isteri-isteri beliau?” Zaid menjawab: Bukan. Demi Allah, seorang wanita bisa bersama-sama dengan (menjadi isteri bagi) seorang laki-laki hanya dalam sepotong waktu, kemudian si suami menceraikannya hingga wanita itu kembali kepada orang tua dan keluarganya. Ahli Bait (yang dimaksud di sini-pen) ialah asal-usulnya dan hubungan darahnya yang diharamkan bagi mereka shadaqah” [Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha XV/176]
Imam Nawawi menggabungkan dua riwayat di atas, bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli baitnya, hanya mereka tetap tidak diharamkan menerima shadaqah. [Syarh Nawawi XV/175)]
Itulah wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umatnya memperhatikan dan menyintai serta membela Ahli bait beliau.
Dalam suatu kasus, Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, salah seorang isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus sebagai salah seorang tokoh Salafus Shalih dari kalangan wanita, pernah mengecam penduduk Irak yang terlibat pembunuhan terhadap Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Syahr bin Hausyab yang mengatakan :
“Saya mendengar Ummu Salamah, salah seorang isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika datang kabar kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma, melaknat penduduk Irak. Ummu Salamah berkata: “Mereka telah membunuh Husain bin Ali, semoga Allah membinasakan mereka. Mereka telah membuat tipu muslihat terhadap Husain dan mereka telah menghinanya, semoga Allah melaknat mereka. Sesungguhnya saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangi oleh Fatimah pagi-pagi. Ia membawa periuk (terbuat dari tanah) yang berisi bubur yang ia buat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Periuk itu ia bawa dengan dilambari talam. Kemudian ia letakkannya di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi bertanya kepadanya : “Di mana anak pamanmu (maksudnya Ali-pen)?”. Fatimah menjawab : Ia di rumah. Nabi bersabda : “Pergilah dan panggillah Ali, dan bawa serta kedua anaknya (yaitu Hasan dan Husain-pen)”.
Ummu Salamah berkata : Setelah itu datanglah Fatimah kembali dengan menuntun kedua puteranya, masing-masing berada pada satu tangan. Sedangkan Ali berjalan dibelakangnya. Sampai akhirnya mereka masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau mendudukkan kedua anak Ali di pangkuan beliau. Sementara Ali duduk di sebelah kanan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dan Fatimah duduk di sebelah kirinya.
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya : Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik selimut yang berasal dari Khaibar yang ada di bawahku. Selimut itu biasa sebagai hamparan kami di tempat tidur di Madinah. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimutkan selimut itu kepada semuanya (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain-pen). Kedua ujung selimut itu dipegangi dengan tangan kiri beliau, sedangkan tangan kanannya, beliau isyaratkan kepada Allah Azza wa Jallaseraya berdoa,
“Saya mendengar Ummu Salamah, salah seorang isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika datang kabar kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma, melaknat penduduk Irak. Ummu Salamah berkata: “Mereka telah membunuh Husain bin Ali, semoga Allah membinasakan mereka. Mereka telah membuat tipu muslihat terhadap Husain dan mereka telah menghinanya, semoga Allah melaknat mereka. Sesungguhnya saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangi oleh Fatimah pagi-pagi. Ia membawa periuk (terbuat dari tanah) yang berisi bubur yang ia buat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Periuk itu ia bawa dengan dilambari talam. Kemudian ia letakkannya di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi bertanya kepadanya : “Di mana anak pamanmu (maksudnya Ali-pen)?”. Fatimah menjawab : Ia di rumah. Nabi bersabda : “Pergilah dan panggillah Ali, dan bawa serta kedua anaknya (yaitu Hasan dan Husain-pen)”.
Ummu Salamah berkata : Setelah itu datanglah Fatimah kembali dengan menuntun kedua puteranya, masing-masing berada pada satu tangan. Sedangkan Ali berjalan dibelakangnya. Sampai akhirnya mereka masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau mendudukkan kedua anak Ali di pangkuan beliau. Sementara Ali duduk di sebelah kanan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dan Fatimah duduk di sebelah kirinya.
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya : Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik selimut yang berasal dari Khaibar yang ada di bawahku. Selimut itu biasa sebagai hamparan kami di tempat tidur di Madinah. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimutkan selimut itu kepada semuanya (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain-pen). Kedua ujung selimut itu dipegangi dengan tangan kiri beliau, sedangkan tangan kanannya, beliau isyaratkan kepada Allah Azza wa Jallaseraya berdoa,
اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا، اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا، اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا
Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka, Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka, Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.
Aku (Ummu Salamah) berkata : Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk Ahli Bait (keluarga)mu? Beliau menjawab : Tentu, masuklah ke dalam selimut. [7]
Aku (Ummu Salamah) berkata : Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk Ahli Bait (keluarga)mu? Beliau menjawab : Tentu, masuklah ke dalam selimut. [7]
Kisah di atas menjelaskan bagaimana pembelaan, loyalitas serta pemeliharaan Salafus Shalih kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih al-Fauzan, salah seorang tokoh Ahlu Sunnah zaman sekarang, menjelaskan bahwa Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab yang demikian itu termasuk menghormati dan memuliakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan demikian.
Dengan catatan, bila Ahlul Bait tersebut mengikuti Sunnah Nabi dan istiqamah berpijak pada ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu Ahlul Bait seperti al-Abbas beserta anak-anaknya, dan Ali bin Abu Thalib beserta anak-anaknya. Adapun kepada orang yang menyimpang dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak istiqamah berpijak pada ajaran Islam, maka menyintainya tidak boleh sekalipun ia termasuk Ahlul Bait.[8]
Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan : Kita tidak boleh mengingkari orang-orang yang mewasiatkan agar berbuat baik dan berbuat ihsan kepada Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga agar menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab mereka adalah termasuk anak-anak keturunan keluarga suci, berasal dari sebuah keluarga paling mulia yang pernah ditemukan dipermukaan bumi, khususnya bila mereka mengikuti Sunnah Nabi yang Shahih, seperti ditauladankan oleh para pendahulunya yaitu al-Abbas beserta anak-anaknya dan Ali beserta keluarganya Radhiyallahu ‘anhum. [9]
Yang jelas, tidak pernah ada bukti bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah pernah mengotori lidahnya dengan cacian dan makian terhadap Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak pernah ada bukti bahwa mereka mengotori tindakan mereka dengan perbuatan lancang atau perbuatan jahat terhadap Ahli Bait beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab prinsip Ahlu Sunnah adalah menyintai, membela, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait, selama mereka (Ahli Bait) bukan orang-orang kafir atau ahli bid’ah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para Ulama Ahlu Sunnah.
Jadi, Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait karena dua hal : Pertama, karena keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua, karena hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (juga seorang tokoh Ulama Ahlu Sunnah zaman sekarang yang telah meninggal dunia) rahimahullah, ketika menjelaskan perkatan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Aqidah al-Wasithiyah tentang sikap Ahlu Sunnah terhadap Ahlul Bait, mengatakan :
“Di antara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah ialah bahwa mereka menyintai Ahli Bait RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlu Sunnah menyintai Ahlil Bait karena dua hal :
1. Karena Keimanan Ahlul Bait,
2. karena kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Di antara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah ialah bahwa mereka menyintai Ahli Bait RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlu Sunnah menyintai Ahlil Bait karena dua hal :
1. Karena Keimanan Ahlul Bait,
2. karena kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi Ahlu Sunnah tidak berkata seperti perkataan firqah Rafidhah, yaitu bahwa setiap yang menyintai Abu Bakar dan Umar berarti membenci Ali. Jadi menurut Rafidhah, tidak mungkin menyintai Ali sebelum membenci Abu Bakar dan Umar. Seolah-olah Abu Bakar dan Umar bermusuhan dengan Ali. Padahal riwayat telah mutawatir bahwa Ali bin Abi Thalib memuji-muji Abu Bakar dan Umar melalui mimbar.
Maka kita tegaskan, bahwa kita bersaksi dihadapan Allah, sesungguhnya kita menyintai Ahli Bait dan keluarga dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita mencintai mereka dalam rangka cinta kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” [10]
Seterusnya, dalam kitab yang sama, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan :
“Jadi kita menyintai Ahlul bait karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena keimanan mereka kepada Allah. Maka apabila mereka kafir kepada Allah, jelas kita tidak menyintai mereka, sekalipun mereka termasuk keluarga dekat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya adalah Abu Lahab, ia adalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kita tidak boleh menyintainya, betapapun keadaannya. Bahkan kita wajib membenci Abu Lahab karena kekafirannya dan karena permusuhan serta gangguannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Jadi kita menyintai Ahlul bait karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena keimanan mereka kepada Allah. Maka apabila mereka kafir kepada Allah, jelas kita tidak menyintai mereka, sekalipun mereka termasuk keluarga dekat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya adalah Abu Lahab, ia adalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kita tidak boleh menyintainya, betapapun keadaannya. Bahkan kita wajib membenci Abu Lahab karena kekafirannya dan karena permusuhan serta gangguannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula, kitapun wajib membenci Abu Thalib, karena kekafirannya. Tetapi kita menyukai tindakan-tindakan yang dilakukannya berupa perlindungan dan pembelaan terhadap RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam“[11]
Dengan demikian, aqidah Ahlu Sunnah wal jama’ah berkaitan dengan Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ialah menyintai Ahlul Bait dan memberikan loyalitas kepada mereka serta memelihara wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan mereka. Namun tidak menempatkan Ahlul Bait melebihi kedudukan yang semestinya. Bahkan Ahlu Sunnah berlepas diri dari firqah-firqah yang bersikap berlebihan terhadap Ahlul Bait hingga mendudukannya sebagai seperti sesembahan, seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ terhadap Ali bin Abu ThalibRadhiyallahu ‘anhu. [12]
KESIMPULAN
Secara umum, sikap Ahlu Sunnah adalah tengah-tengah antara cara-cara Rafidhah dan cara-cara kaum Nawashib. Sekaligus berlepas diri dari mereka semua. Cara-cara Rafidhah adalah ekstrim dalam menyintai Ali dan Ahlul Bait. Rafidhah adalah salah satu firqah ahli bid’ah yang paling sesat dan paling benci kepada para sahabat yang bukan Ahlul Bait. Sedangkan Nawashib ialah firqah ahli bid’ah yang bertolak belakang dengan Rafidhah. Mereka membangun permusuhan, mencela dan mencaci maki Ahlul Bait.[13]
Ahlu Sunnah menyintai Ahlul Bait karena keimanan serta kekerabatannya dengan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Ahlul Bait yang harus dicintai adalah termasuk seluruh isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, nas’alullah at-Taufiq was Sadad, wanas’alullah an Yaj’alana min Mutbi’in lis Sunnah.
Penulis: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin hafizhahullahArtikel www.ustadzFaiz.com
________
Catatan Kaki:
[1]. Syair ini di antaranya dimuat dalam kitab Shabbu al-‘Azab ‘Ala man Sabba al-Ash-haab, karya al-‘Allamah Abu al-Ma’ali Mahmud Syukri al-Alusi, Tahqiq ; Abdullah al-Bukhari, hal. 237, cet. I – 1417 H/1997 M. Terbitan Adhwa’ as-Salaf, Riyadh
[2]. Lihat Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, juz XV hal. 175-176
[3]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syarah Syeikh Shalih al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh cet VI th. 1413 H/1993 M, hal. 195.
[4]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah IV/435
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah IV/435
[6]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah Ibnu Taimiyah, yang di syarah oleh Syeikh Shalih al-Fauzan, hal. 195, cet. VI Maktabah al-Ma’arif – Riyadh
[7]. Hadits ini dikatakan oleh pensyarah, yaitu Syeikh Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain : Sanadnya Hasan. Lihat Musnad Imam Ahmad, Syarah Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain, hadits no. 26429 jilid XVIII, cet. I 1416 H/1995. Daar al-Hadits al-Qahirah
[8]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah hal. 196, Maktabah al-Ma’arif-Riyadh.
[9]. Tafsir Ibnu katsir , surat asy-Syura ayat 23 – IV/143
[10]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Takhrij : Sa’d bin Fawwaz ash-Shumail Juz II, hal 273-274. Daar Ibnu al-Jauzi – Maktabah Syams, cet. II, Dzul Qa’dah 1415H
[11]. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/274-275
[12]. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/227
[13]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Utsaimin II/283
________
Catatan Kaki:
[1]. Syair ini di antaranya dimuat dalam kitab Shabbu al-‘Azab ‘Ala man Sabba al-Ash-haab, karya al-‘Allamah Abu al-Ma’ali Mahmud Syukri al-Alusi, Tahqiq ; Abdullah al-Bukhari, hal. 237, cet. I – 1417 H/1997 M. Terbitan Adhwa’ as-Salaf, Riyadh
[2]. Lihat Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, juz XV hal. 175-176
[3]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syarah Syeikh Shalih al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh cet VI th. 1413 H/1993 M, hal. 195.
[4]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah IV/435
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah IV/435
[6]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah Ibnu Taimiyah, yang di syarah oleh Syeikh Shalih al-Fauzan, hal. 195, cet. VI Maktabah al-Ma’arif – Riyadh
[7]. Hadits ini dikatakan oleh pensyarah, yaitu Syeikh Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain : Sanadnya Hasan. Lihat Musnad Imam Ahmad, Syarah Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain, hadits no. 26429 jilid XVIII, cet. I 1416 H/1995. Daar al-Hadits al-Qahirah
[8]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah hal. 196, Maktabah al-Ma’arif-Riyadh.
[9]. Tafsir Ibnu katsir , surat asy-Syura ayat 23 – IV/143
[10]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Takhrij : Sa’d bin Fawwaz ash-Shumail Juz II, hal 273-274. Daar Ibnu al-Jauzi – Maktabah Syams, cet. II, Dzul Qa’dah 1415H
[11]. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/274-275
[12]. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/227
[13]. Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syeikh Utsaimin II/283
0 comments:
Post a Comment