Ketujuh: Majalah porno dan kisah-kisah murahan
Berbagai bentuk majalah yang mengumbar nafsu, kisah-kisah yang penuh senda gurau, film-film murahan, serta cerita-cerita yang merusak akhlak sangat berperan dalam membangkitkan dan menyebarkan perbuatan zina dan keji.
Apa bedanya memandang seorang wanita di majalah-majalah dengan di dunia nyata? Mungkin ada yang mengatakan, “Sudah tentu berbeda karena di dunia nyata objeknya nyata, sedangkan jika melihat di majalah, objeknya tidak nyata.”
Mungkin memang benar perkataan itu, namun tidakkah kita tahu bahwasannya hanya dengan melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, nafsu para lelaki dapat dibangkitkan dengan mudah? Untuk apa kita melihat gambar-gambar yang ada di majalah membuat pikiran tidak karuan? Allahu a’lam.
Majalah-majalah yang berisi aneka bentuk dan tampilan bertujuan mengajak kepada perbuatan fasik dan dosa yang membangkitkan hawa nafsu serta melanggar larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara tampilan murahan tersebut adalah:
- Gambar-gambar penuh godaan yang dimuat di sampul-sampul majalah. Begitu juga isinya.
- Foto para wanita yang mengenakan dengan berbagai perhiasan yang memenuhi tubuhnya, padahal foto-foto itu hanya memuat penipuan belaka.
- Perkataan-perkataan jorok serta ungkapan dan kalimat yang tersusun memikat, namun jauh dari sifat malu dan kemuliaan. Wallahu a’lam.
- Kisah-kisah percintaan serta berita-berita seputar selebriti (para artis), penyanyi, dan penari dari kalangan orang-orang fasik, baik dari kaum Adam maupun Hawa.
Isi majalah-majalah tersebut jelas-jelas mengajak kepada perbuatan tabarruj (bersolek) di hadapan lelaki yang bukan mahram, ikhtilath (campur baur) antara lelaki dan wanita yang bukan mahram, serta tindakan mencabik-cabik hijab muslimah.
Tak lupa pula, pameran busana yang mewah namun telanjang ditujukan kepada para wanita mukminah untuk menjerumuskan mereka dalam budaya telanjang dan tasyabbuh(meniru) para wanita “nakal”. Na’udzubillah min dzalik.
Diekspos pula tentang gaya pelukan, ciuman, antara lelaki dengan wanita. Termasuk juga dimuatnya berbagai macam cerita dan perkataan-perkataan menggebu-gebu yang membangkitkan nafsu para pemuda dan pemudi, sehingga cerita tersebut akan mendorong mereka untuk mengikuti jalan hidup yang menyesatkan dan menyimpang. Akhirnya, mereka akan terjerumus dalam perbuatan zina (keji), dosa, dan percintaan yang diharamkan.
Kedelapan: Penyimpangan penggunaan alat telekomunikasi (telepon atau HP)
Kedelapan: Penyimpangan penggunaan alat telekomunikasi (telepon atau HP)
Tidaklah menjadi rahasia lagi bagi setiap muslim bahwa segala kenikmatan –yang dilimpahkan Allah Ta’ala kepada kita– tidak terhitung jumlahnya. Di antara nikmat-nikmat tersebut adalah ketersediaan alat komunikasi. Allah Ta’ala yang memudahkannya untuk kita, dengan segala kemurahan dan kemuliaan-Nya. Seorang muslim yang cerdas tidak akan salah menyikapi nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Allah Maha Mengetahui, siapa saja hamba yang bersyukur di antara sekian banyak hamba yang kufur (ingkar).
Hendaknya kita tergolong orang yang pandai bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.s. An-Nahl: 114)
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.s. Ibrahim: 7)
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (Qs. An-Nahl : 53)
Akan tetapi, jika kita tidak menggunakan nikmat tersebut secara benar atau bahkan memberikan koneksi kepada orang asing tanpa ada pengawasan, berubahlah nikmat alat-alat komunikasi tersebut menjadi hal-hal yang membinasakan dan menghancurkan harga diri dan kemuliaan seseorang.
Padahal Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia).” (Q.s. At-Takatsur: 8)
Mungkin pada mulanya, sekadar perbuatan iseng yang tidak berguna. Namun ternyata, berakhir dengan kerugian dan kedustaan. Bisa juga berawal dari salah sambung. Mulanya dari sebuah panggilan salah sambung atau SMS salah kirim, akhirnya berlanjut ke pembicaraan yang mengarah kepada perkenalan, atau bahkan menuju kemaksiatan!
Saya akan berikan contoh nyata dalam kehidupan kita sekarang ini, yaitu masih adanya fenomena lelaki muslim dan wanita muslimah yang bukan mahram melakukan SMS-an, dengan dalih untuk berdakwah atau menyambung silaturahim.
Wahai jiwa-jiwa yang lalai, pahamilah arti dari masing-masing dalih itu. Jika suatu cara dilakukan dengan tujuan baik, namun cara itu harus melanggar syariat Allah Ta’ala, apakah cara itu masih bisa dikatakan baik? Apakah para lelaki muslim yang tidak pandai menjaga dirinya itu tidak berpikir bahwa SMS yang dia kirimkan –walau hanya sekadar ucapan salam atau kiriman hadits-hadits yang berisikan hikmah yang baik– tidak dapat menimbulkan fitnah (godaan) terhadap para wanita yang bukan mahram mereka? Bisakah mereka menjamin tidak akan muncul fitnah (godaan)?
Telah saya jelaskan di awal tulisan ini bahwa wanita itu dapat terfitnah juga dengan sesuatu yang ada dalam diri seorang lelaki muslim (baca: ikhwan), baik itu berupa perhatian, kebaikan, kelembutan, dan ungkapan-ungkapan manis terhadapnya.
Ini perlu menjadi perhatian para ikhwan agar mereka semua berusaha tidak melakukan pelanggaran dalam penggunaan alat telekomunikasi, khususnya HP (handphone). Bagaimana bisa seseorang yang mengaku paham ilmu agama tidak mengetahui faktor-faktor fitnah (godaan)? Kita berusaha berpikir positif bahwa mungkin saja dia terlupa akan ilmu yang selama ini dipelajari, mungkin ia sedang khilaf, atau bisa juga karena tidak ada teman yang menasihati dan mengingatkannya. Bukan ingin menyalahkan seorang laki-laki dalam penggunaan alat telekomunikasi ini, melainkan hendaknya ikhwan dan akhwatberusaha membuat batas-batas dalam komunikasi yang terjadi antara mereka.
Saya berikan sedikit penjelasan agar para ikhwan dapat memahaminya dengan baik, insya Allah. Misalnya, jika ada seorang akhwat yang mengirimkan SMS ke nomor HP si ikhwan, hendaknya dia benar-benar selektif dalam membalasnya. Mengapa demikian? Karena bisa saja wanita ini hanya ingin mengetes ikhwan tersebut, hanya ingin mencari perhatian, atau hanya mengisi waktu luang dengan mengirim SMS kepada lelaki yang bukan mahramnya.
Jika memang harus berkomunikasi dengan wanita yang bukan mahram kita, gunakanlah kata-kata yang nadanya datar, maksudnya tidak bertele-tele atau mendayu-dayu layaknya sedang merayu istri, atau dengan basa-basi yang tidak ditahui ujungnya membicarakan apa. Selesai keperluan, tidak perlu harus bertanya hal-hal yang bukan haknya untuk diketahui. Contohnya:
Ikhwan: Assalamu ’alaykum, Ukhtiy. Maaf, kitab berjudul A karya siapa?
Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Karya B.
Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Karya B.
Selesai urusannya. Tidak perlu harus bertanya yang tidak ada manfaatnya. Contohnya :
Ikhwan : Jazaakillahu khoyran ya, Ukhtiy. Waktu itu belinya di mana? Dengan siapa? Oiya, anti sudah baca? Kalau sudah, bagus tidak? Kapan-kapan, saya boleh pinjam ya, Ukhtiy? Apa anti sekarang lagi membacanya ya? Semangat ya, Ukhtiy!
Mungkin juga dapat berupa pertanyaan yang jauh lebih aneh dan memalukan. Contohnya:
Ikhwan: Assalamu ’alaykum, Ukhtiy. Apa info kajian hari ini telah dikirim?
Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Sudah.
Ikhwan: Jazaakillahu khoyran ya, Ukhtiy. Nanti berangkat atau tidak? Sama siapa berangkatnya? Jangan lupa membawa buku catatan ya, Ukhtiy…!
Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Sudah.
Ikhwan: Jazaakillahu khoyran ya, Ukhtiy. Nanti berangkat atau tidak? Sama siapa berangkatnya? Jangan lupa membawa buku catatan ya, Ukhtiy…!
Subhanallah ….
Wahai para lelaki muslim, sungguh semua ini pertanda seorang laki-laki tidak pandai menjaga dirinya. Mengapa? Bisa saja, bermula dari percakapan yang ringan dan sederhana, hingga percakapan yang semakin lama semakin tidak ada faedahnya. Haruskah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ditujukan pada orang yang bukan mahram kita keluar dari lisan kita? Ataukah rasa takut akan munculnya fitnah(godaan) telah hilang dari jiwa ini? Sekali saja seorang laki-laki membuka kesempatan kepada seorang wanita untuk melakukan percapakan yang tidak penting, maka wanita tersebut akan berusaha membuka percakapan-percakapan selanjutnya yang jauh lebih tidak penting lagi. Ini telah terjadi di zaman sekarang.
Mungkin bisa saja kita menghapus pesan-pesan yang ada di dalam HP kita, atau dengan mengganti nama lelaki menjadi nama wanita di dalam phonebook HP kita, atau sebaliknya. Wahai para lelaki, bersikap jujurlah dan jangan hancurkan diri dengan kedustaan.
“Sesungguhnya kejujuran adalah sebuah kebajikan, sedangkan kebajikan akan menuntun seseorang menuju surga. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk jujur sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kedustaan merupakan sebuah kekejian, sedangkan kekejian akan menuntun seseorang menuju neraka. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk berdusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (H.r. Muslim, no. 4720)
Dalam memberikan nomor HP pun sebaiknya harus selektif agar kita tidak terganggu oleh orang-orang yang kurang kadar tauhidnya kepada Allah.
Mungkin ada orang yang akan menjawab “Kalo gitu, kita enggak usah beli pulsa, biar enggak bisa SMS-an. Kalo gitu, kembali aja ke zaman dulu, biar enggak perlu pakai HP.”
Mungkin juga ada yang berucap, “Salah siapa SMS ke nomor HP saya!”
Mungkin juga ada jawaban seperti ini, “Baiklah, kalo gitu, saya enggak perlu beli HP, biar enggak bisa komunikasi dengan lawan jenis!”
Demi Allah, bukan itu semua yang dimaksud. Pesan yang ingin disampaikan melalui nasihat ini hanyalah agar hendaknya setiap muslim dan muslimah membuat batas-batas dan aturan-aturan dalam menggunakan HP serta mengamalkan ilmu agama yang telah dipelajari dan dipahami.
Sungguh bijak petuah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.”
Kesembilan: Internet dan penggunaannya yang buruk dan menyimpang
Internet bisa bermanfaat, sekaligus bisa mendatangkan musibah dan bahaya. Faedahnya sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Bahayanya juga sangat banyak dan tidak terhitung lagi. Ini adalah perkara yang nyata dan tidak diragukan lagi! Sedang kenyataan yang ada menjadi bukti atas kebaikan dan keburukan internet. Kemudahan dalam mengoperasikan, menggunakannya, dan menikmati segala fungsinya membuat internet menjadi pisau bermata dua.
Pada penyebab kesepuluh ini, saya tidak akan banyak menjelaskan hingga detail karena jika kita memahami perkataan Ibnu Mas’ud bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah, maka insya Allah kita dapat mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala dalam penggunaan internet. Pada zaman sekarang ini, teknologi sudah semakin canggih sehingga jika kita mau bermaksiat, itu bukanlah hal yang sulit. Kendati demikian, hendaknya kita membaca dan memahami firman Allah Ta’ala,
فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى
“Dia mengetahui perkara rahasia dan perkara yang lebih tersembunyi lagi.” (Q.s. Thaha: 7)
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ
“Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (Q.s. Al-Mujadalah: 6)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan segala hal yang disembunyikan oleh hati.” (Q.s. Ghafir: 19)
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Q.s. Al-Isra’: 36)
Apalagi dengan adanya situs jejaring facebook (FB). Tentu sudah tidak asing lagi namanya bagi kita. Telah ada artikel yang menasehatkan tentang bahayanya jika kita melakukan “add” atau “confirm” terhadap lawan jenis atau artikel tentang cara ber-FB agar kita tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Akan tetapi, hanya sebagian orang yang mengambil hikmahnya.
Renungkanlah …. Bukan berarti jika kita tidak melakukan “add” atau “confirm” terhadap lawan jenis lantas kita telah aman dari fitnah (godaan). Kembali ingatlah perkataan Ibnu Mas’ud, bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Sebaiknya kita pun cerdas dalam menilai suatu pesan itu penting atau tidak jika kita kirimkan untuk lawan jenis. Bisa saja tidak terlalu penting, namun dibuat agar terkesan penting. Bisa jadi pula, pertanyaan yang diajukan tidak terlalu bermanfaat, namun dibuat-buat agar terlihat bermanfaat. Semua fenomena ini bisa saja terjadi pada ikhwan maupunakhwat. Masalah ini hendaknya jangan diremehkan. Jangan sampai kita tenggelam dalam dosa hanya gara-gara penggunaan FB yang melampaui batas.
Cermatilah sebuah syair dari Ibnu Mu’taz berikut ini.
“Tinggalkan dosa-dosa, baik yang kecil maupun yang besar
Itulah takwa
Bersikaplah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri
Ia akan berhati-hati kepada perkara yang dilihatnya
Janganlah kau remehkan sesuatu yang kecil
Karena gunung itu berasal dari kerikil-kerikil kecil.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I:402)
Itulah takwa
Bersikaplah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri
Ia akan berhati-hati kepada perkara yang dilihatnya
Janganlah kau remehkan sesuatu yang kecil
Karena gunung itu berasal dari kerikil-kerikil kecil.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I:402)
Mungkin kita pernah mendengar sebagian orang menjawab seperti ini jika menjumpai pembahasan “add” atau “confirm“ terhadap orang yang bukan mahramnya, “Cuma seperti itu saja diributkan. Yang penting ‘kan niatnya baik. Tujuannya ‘kan baik, yaitu untuk berdakwah. Jadi, kalau ada FB ikhwan atau akhwat di FB kita, ya tidak apa-apa lah! Jangan dibuat ribet!”
Mari kita tanyakan kepada hati kita yang paling dalam, apakah kita bisa menjamin keadaan hati kita dari adanya fitnah (godaan)? Apakah kita sudah mampu mendirikan benteng kokoh agar tidak ada fitnah yang datang menggerogoti kehidupan kita? Ataukah kita telah memiliki kemampuan untuk menerka waktu akan datangnya fitnah (godaan) ke dalam hari-hari kita? Sementara, hati kita ini diciptakan dalam keadaan lemah ….
Allah Ta’ala berfirman,
وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً
“Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (Q.s. An-Nisa’: 28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah. Fitnah yang bagaikan potongan gelapnya malam; seseorang yang beriman di pagi hari kemudian menjadi kafir di sore hari, atau seorang yang beriman di sore hari kemudian menjadi kafir di pagi harinya. Dia menukar agamanya dengan sebagian perhiasan dunia.” (H.r. Muslim, no. 328)
Ingatlah, hati kita ini terletak di antara dua jari-jemari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kemudian ada yang bertanya tentang doa tersebut. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya, tidaklah anak Adam melainkan hatinya berada di antara dua jari dari jemari-jemari Allah. Siapa saja yang dikehendaki maka Allah akan luruskan dia, dan siapa yang dikehendaki maka Allah akan simpangkan dia.” (H.r. Tirmidzi, no. 3517; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Mungkin juga, kita meremehkan dosa-dosa kecil dengan melakukan “add” atau “confirm”, hingga akhirnya kita bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram kita, lalu penghujungnya adalah datangnya badai musibah dalam kehidupan kita.
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`: 30)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87)
Perkataan Ali radhiallahu ‘anhu tersebut selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`: 30)
Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan dosa adalah hilangnya nikmat, dan akibat dosa adalah datangnya bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula, datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah suatu kejelekan (kerusakan) disandarkan pada sebuah hal melainkan pada disandarkan pada dosa karena semua musibah disebabkan oleh dosa.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 75)
Wahai para lelaki muslim, pahami dan renungilah perkataan-perkataan berikut ini!
Umar bin Abdul Aziz mewanti-wanti penasihatnya, Maimun bin Mahran, agar tidak berdua-duaan dengan wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Alquran, “Aku memberi wasiat kepadamu dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah engkau berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahrammu, walau batinmu berkata bahwa kau akan mengajarinya Alquran.” (Lihat kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, V:272)
Hendaknya, kita pun memegang erat-erat wasiat Umar bin Abdul Aziz tersebut. Jangan merasa diri kita aman dari fitnah (godaan).
Oleh karena itu, semoga Allah merahmatimu …. Berhati-hatilah dalam menghadapi faktor-faktor bencana. Orang yang mendekati fitnah akan sulit selamat darinya. Sebagaimana kehati-hatian diiringi oleh keselamatan, tindakan mendekati fitnah itu akan diiringi oleh kebinasaan. Jarang ada orang yang selamat dari fitnah setelah dia mencoba mendekatinya. Yaitu, ia tidak terbebas dari memikirkan, membayangkan, dan menginginkannya. Semua ini menggelincirkan. (Dzammul Hawa’, hlm.153)
Melanjutkan perkataan di atas, Ibnul Jauzi menguraikan nasihat, “Seandainya berduaan dengan wanita ajnabiyyah (bukan mahram) diperbolehkan, kamu tetap tidak dapat selamat dari penyakit-penyakit ini. Terlebih lagi, ternyata itu diharamkan.” (Dzammul Hawa’, hlm.153)
Terdapat sebuah nasehat dari seorang sahabat wanita muslimah di seberang sana, ketika saya bertanya padanya apakah dia melakukan “add” atau “confirm” pada lelaki yang bukan mahram. Jawabannya sederhana dan membuat saya kagum.
Ketika itu saya bertanya, “Maaf, Ukhti. Apakah anti melakukan ‘add‘ atau ‘confirm‘ kepada yang bukan mahram?”
Beliau menjawab, “Tidak, Ukhti. Di facebook saya hanya ada mahram saya, sehingga hanya ada 35 orang yang memang jelas mahram saya.” Kemudian beliau pun berkata kepada saya “Wahai saudariku, kapan kita akan menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertakwa kepada Allah Ta’ala dan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam jika bukan sekarang!!”
Padahal tidak pernah sedikit pun kita mengetahui arah kedatangan maut. Memilikifacebook bukan untuk bermaksiat, namun seharusnya setiap kaum muslimin semakin hati-hati dalam menggunakan kenikmatan tersebut agar tidak terjerumus ke dalam lubang hitam kemaksiatan. Begitulah jawabannya. Padahal beliau telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Lantas, bagaimana kita yang belum menikah? Apakah kita telah merasa aman dari fitnah? Tentu saja, ini berlaku bagi para lelaki muslim maupun wanita muslimah.
Allah berfirman,
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“… Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah: 231)
وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan peliharalah dirimu (dari azab yang terjadi) pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan sempurna sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (Q.s. Al-Baqarah: 281)
Kesepuluh: Racun yang mematikan yaitu pandangan yang diharamkan
Tahukah engkau apa itu “mata yang berkhianat”?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mu’min, ayat 19.
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat ….”
Apa yang dimaksud dengan “mata yang berkhianat” itu?
Sebaik-baik penafsiran adalah tafsir para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mari kita merujuk kepada penafsiran seorang Turjumanul Qur’an (Penerjemah Alquran), Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu; beliau berkata, “Seseorang berada di tengah banyak orang lalu seorang wanita melintasi mereka. Maka, ia memperlihatkan kepada kawan-kawannya bahwa ia menahan pandangannya dari wanita tersebut. Jika ia melihat mereka lengah, ia pandangi wanita tersebut. Jika ia khawatir kawan-kawannya memergokinya, ia menahan pandangannya. Padahal, Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui isi hatinya bahwa ia ingin melihat aurat wanita tersebut .”
Ketahuilah …
Sedikitnya rasa malumu terhadap siapa yang berada di sebelah kanan dan sebelah kirimu –saat kamu melakukan dosa– itu lebih besar daripada dosa itu sendiri!
Dan tertawamu saat kamu tidak tahu apa yang akan Allah perbuat terhadapmu, itu lebih besar dari pada dosa itu sendiri!
Dan kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu melakukannya, itu lebih besar daripada dosa itu sendiri!
Perhatikanlah wasiat salaf berikut ini, “Penglihatanmu tidak lain adalah nikmat dari Allah. Janganlah mendurhakai-Nya dengan menggunakan nikmat-Nya. Perlakukanlah penglihatan tersebut dengan menahannya dari perkara yang haram, niscaya kamu akan beruntung. Jangan sampai engkau mendapat hukuman berupa hilangnya kenikmatan itu. Waktu berjihad untuk menahan pandangan itu sejenak. Jika kau melakukannya, kau ‘kan dapatkan kebaikan yang banyak dan selamat dari keburukan yang panjang.”
Perhatikan pula untaian kata mutiara yang dikutip Ibnul Jauzi, “Seorang pemberani bukanlah orang yang melindungi tunggangannya pada saat berada di medan laga dan ketika api peperangan tengah berkecamuk. Akan tetapi, pemuda yang menahan padangannya dari yang haram, itulah Sang Ksatria!” (Dzammul Hawa, hlm. 143–181)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandangan merupakan anak panah beracun dari anak-anak panah Iblis. Maka, barang siapa yang menahan pandangannya karena Allah dari kecantikan seorang wanita, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis dalam hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” Demikianlah makna hadits tersebut. (Lafal hadits yang disebutkan tercantum dalam kitab Ad-Da’ wa Dawa’ karya Ibnul Qayyim tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (IV:313), Al-Qudha’i dalamMusnad Asy-Syihah (no. 292), dan Ibnul Jauzi dalam Dzammul Hawa (hlm. 139) dari jalur Hudzaifah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tundukkanlah pandangan kalian dan peliharalah kemaluan kalian.” (H.r. Ahmad, V:323; Al-Hakim, IV:358; Ibnu Hibban, no. 2547, Ibnu Abi Dun-ya dalam Ash-Shamt, no. 446; Al-Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq, hlm. 31; Al-Baihaqi, VI:288; diriwayatkan dari ‘Ubadah. Al-Haitsami dalam Al-Majma’, IV:145; dan Al-Mundziri dalam At-Targhib, III:64, menyatakan bahwa hadits tersebut mempunyai cacat, berupa keterputusan sanad antara Al-Muththalib bin ‘Abdullah dan ‘Ubadah. Namun, hadits tersebut mempunyai penguat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, IV:359; Abu Ya’la, no. 4257; dan Al-Kharaithi, hlm. 30; dari Anas, dengan sanad hasan, insya Allah)
Ada seorang yang berkata, “Setiap bencana berawal dari pandangan mata, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan bara. Betapa banyak pandangan sanggup menembus relung hati pemiliknya, seperti kekuatan anak panah yang lepas dari busur dan talinya! Seorang hamba, selama mengumbar pandangannya untuk memandang selainnya, maka dia berada dalam bahaya. Ia menyenangkan mata dengan sesuatu yang membahayakan hatinya, maka janganlah menyambut kesenangan yang akan membawa bencana.
Di antara bencana yang ditimbulkan adalah warisan penyesalan, kehadiran malapetaka, dan kobaran nafsu. Tatkala seorang hamba melihat suatu perkara yang tidak mampu diraihnya, juga tidak mampu bersabar atasnya, sesungguhnya hal ini merupakan salah satu bentuk siksaan yang paling pedih. Yaitu, (penderitaan yang menerpa) manakala kamu melihat perkara yang kamu tidak mampu bersabar atas perkara tersebut, tidak juga atas sebagiaannya, bahkan kamu tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk meraihnya.” (Dinukil dari kitab Ad-Da’ wa Dawa’, hlm. 351–352)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengikutkan sebuah pandangan dengan pandangan berikutnya sebab hanya pandangan pertama yang dibolehkan bagimu, tidak untuk pandangan setelahnya.” (H.r. Abu Daud, no. 2149; At-Tirmidzi, no. 2777; Ahmad, V:353 dan 357; Al-Baihaqi, VII:90)
Kesebelas: Teman yang buruk
Kesebelas: Teman yang buruk
“Seseorang itu tergantung kepada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang dijadikan teman karibnya.” (Hadits hasan; riwayat Tirmidzi, no. 2387; Ahmad, no. 8212; Abu Daud, no. 4833)
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Seorang pandai besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak sedap.” (Hadits shahih, riwayat Bukhari, no. 5534; Muslim, no. 2638; Ahmad, no. 19163)
Dari Musayyab bin Hazn radhiallahu ‘anhu; ia berkata, “Menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya. Ternyata di sana sudah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Mughirah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah ‘la ilaha illallah’, ucapan yang dapat kujadikan saksi terhadapmu di sisi Allah.’ Namun, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ‘Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat tersebut dan mengulang-ulang ucapan itu kepada Abu Thalib, sampai ia mengatakan ucapan terakhir kepada mereka bahwa ia tetap pada agama Abdul Muthalib dan tidak mau mengucapkan ‘la ilaha illallah’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh, demi Allah, aku pasti akan memintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang melakukan hal itu untukmu. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), ‘Nabi dan orang-orang beriman tidak pantas memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat mereka, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahim.’ Mengenai Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.’” (H.r. Al-Bukhari, no. 4675 dan 4772)
Kebutuhan manusia akan lingkungan yang baik laksana kebutuhan tanaman akan tanah yang subur. Manakala tanah itu bagus, cukup kandungan unsur haranya, suhunya cocok, dan airnya cukup, maka tanaman tersebut akan bersemi, tumbuh berkembang, dan berbuah sesuai dengan harapan. Namun, manakala tanah tersebut kering dan tandus, suhunya tidak cocok, dan airnya tidak cukup, maka tanaman tersebut tidak akan berkembang dengan baik dan sangat mungkin tanaman tersebut akan sakit atau bahkan mati.
Sebagaimana tanaman yang harus ditempatkan dalam tanah yang baik, dalam hubungan pertemanan pun, hendaklah kita mencari teman yang shalih yang dapat mendukung kita untuk selalu istiqamah dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan adanya teman-teman yang “bergizi” baik, keimanan kita akan tetap terjaga. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan sabarkanlah dirimu beserta orang-orang yang menyeru Rabbnya di waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kamu palingkan wajahmu dari mereka hanya karena kamu menghendaki perhiasan dunia, dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya sangat melewati batas.” (Q.s. Al-Kahfi: 28)
Bersambung, insya Allah ….
Penulis: Ummu Khaulah Ayu.
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Artikel www.muslimah.or.id
0 comments:
Post a Comment