Share
div id='fb-root'/>

Monday, December 26, 2011

Hukum Menikahi Sepupu Nasrani

Share on :

Assalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,


Saya seorang muslim... saya mau tanya soal pernikahan dengan sepupu... saya mempunyai sepupu, dia anak dari adik kandung perempuan ayah saya, dia kristen, tapi saya sangat-sangat menyayangi dia, saya sempat berfikir jikalau memang boleh menurut islam, saya mau menikahi dia karena dia juga menyayangi saya...

Selain itu alasan saya mau menikahi dia adalah :
1. Ingin mengenalkan dia kepada Islam dan mengislamkan dia yang notabene di mana dia telah berkata walaupun dia kristen namun apabila ada yang ingin mengajarkan dan menuntun dia di dalam Islam dan orang itu orang yg ia sayangi maka ia bersedia untuk menikah dengan orang tersebut dan mempelajari islam lebih dalam dan berpindah memeluk islam. Bahkan 2 kakak laki2nya telah memeluk Islam semenjak menikah 

2. Saya sangat mencintai dia yang dimana saya sering mendengar curhat darinya bahwa lelaki yang ia temui selalu hanya menyakitinya saja dan hingga umurny yang ke-27 saat ini dia belum menemukan orang yang sesuai.

3. Jelas2 saya tidak rela dan tidak tega jikalau ia harus terus menerus memeluk agama kristen seumur hidupnya karena menurut saya agama yang paling sempurna dan diterima oleh Allah SWT adalah islam. Yang menjadi sandungan buat saya adalah dikatakan oleh nenek kami dari adat kami sebagai orang jawa dilarang menikah dengan sepupu, dan apabila kami tetap nekat maka keturunan kami akan cacat, saya tetap tidak peduli dengan hal itu, jikalau Allah mengizinkan saya akan memperjuangkannya. Mohon tanggapan dan pencerahan dari anda... 

Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayah kepada anda sekeluarga...amin.

Wassalammualaikum Wr Wb

NB: Jika ada Ayat-ayat Al-Quran , hadist ataupun sunnah yang bias mendukung tentang hal ini mohon juga di lampirkan. Terima kasih.



Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahamatullahi wabarakatuhu, Alhamdulillah ana bikhair.

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Fatwa Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa, No. Fatwa: 16075

Pertanyaan: “Bolehkah orang islam selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan anak perempuan paman (saudara kandung bapak) dan anak perempuan bibi (saudari kandung ibu), anak perempuan bibi (saudari kandung bapak) sesuai dengan hukum-hukum Al Quran Al Karim?”

Jawab: Syari’at Islam adalah syari’at yang  mudah, sempurna dan jelas, tidak ada di dalamnyaifrath (melampaui batas) dengan mengharamkan anak perempuan paman (saudara kandung bapak) atau paman (saudara kandung ibu) atau tafrith (terlalu berlebihan) dengan memperbolehkan menikahi saudari (istri) dan anak perempuan dari saudari, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al Ahzab ayat 50:

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمً} [الأحزاب: 50]

Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[1].

Meskipun bentuk redaksi di awal ayat ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang masuknya umat islam bersama beliau, karena asal hukum di dalam redaksi jika ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka umat islam masuk ikut di dalamnya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan kepada pengkhususan sebuah hukum di dalamnya untuk Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana penyerahan diri seorang wanita kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan hal ini telah dinyatakan akan kekhususannya di akhir ayat, yaitu firman Allah di dalam surat Al Ahzab ayat: 50,

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “…dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu…”[2].

Semoga Allah memberikan taufik dan shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al Fauzan,  Abdul Aziz Alu Syeikh, Bakr Abu Zaid.

Kalau boleh ditambahkan: Islam telah mengharamkan pernikahan dengan wanita-wanita yang ada kaitan mahram, seperti menikahi ibu, anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan),  anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), bibi (saudara perempuan kandung bapak), bibi (saudara perempuan kandung ibu). Oleh sebab itu menikahi mereka yang disebutkan di atas, diharamkan di dalam agama Islam, sedangkan selainnya seperti; anak perempuan bibi (saudara perempuan kandung bapak) atau anak perempuan paman (saudara laki-laki kandung bapak) atau anak perempuan paman (saudara laki-laki kandung ibu) atau anak perempuan bibi (saudara perempuan kandung ibu) maka dihalalkan menikahi mereka. Dalil akan hal ini adalah Firman Allah Ta’ala:

{ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)} [النساء: 23، 24]

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”[3].

Perhatikan Firman-Nya:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina[4].

Ketika menafsiri ayat ke 50 dari surat Al Ahzab:

وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ

Artinya: “…dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu…”[5]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah sebuah keadilan antara ifrath dan tafrith, karena orang-orang Nashrani tidak menikahi kecuali jika antara laki-laki dan wanita terdapat tujuh keturunan atau lebih, sedangkan orang-orang Yahudi, mereka menikahi anak perempuan saudara yang laki-laki atau saudara yang perempuan, kemudian datanglah syari’at Islam yang sempurna dan suci ini dengan menghancurkan sikap ifrathnya orang-orang Nashrani dengan dimubahkannya (menikahi) anak perempuan paman atau bibi (saudara laki-laki atau saudara perempuan kandung bapak) dan anak perempuan paman atau bibi (saudara laki-laki atau saudara perempuan kandung ibu) dan mengharamkan apa yang telah dilebihkan oleh orang-orang Yahudi yang menghalalkan untuk menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki atau anak perempuan dari saudara perempuan, hal ini adalah merupakan keburukan dan malapetaka”[6]

Sedangkan apa yang diisukan bahwa menikah dengan kerabat dekat bisa menyebabkan banyak penyakit dan kecacatan terhadap keturunan pasangan tersebut, maka isu ini perlu bukti yang nyata, bahkan kebanyakan para ahli menepis isu ini dan merendahkannya setelah mereka melakukan penelitian-penelitian yang mendalam, bahkan lebih banyak mendatangkan efek kesehatan yang bagus yang didapatkan oleh kedua pasangan dan juga keturunannya.

Yang jelas, tidak ada keutamaan dari pernikahan dengan kerabat jauh dibandingkan pernikahan dengan kerabat dekat dan begitupula sebaliknya. Kalau seandainya di dalam pernikahan dengan kerabat dekat terdapat bahaya, tidak mungkin Allah Ta’ala menghalalkan untuk rasul-Nya sebagaimana yang terdapat di dalam surat Al Ahzab ayat 50 tadi.

Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menikahi Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha padahal beliau adalah anak perempuan bibi nabi dan juga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan anak perempuan beliau Fathimah dengan anak paman beliau Ali bin Abi Thalib dan masih saja salafush shalih menikah dengan para kerabat yang dihalalkan.

Sebenarnya perkara ini kembali kepada keadaan pasangan laki-laki dan wanita tersebut setelah taqdir Allah Ta’ala, adanya keturunan yang buruk rupanya, cacat mental atau fisiknya yang terdapat dari dua pasangan kerabat dekat tidak berarti cacat tersebut hanya pada pernikahan kerabat dekat, oleh sebab itu pasangan tersebut tidak usah risau ataupun cemas bahkan sampai ada niatan untuk menahan kehamilan karena khawatir akan mendapatkan keturunan yang tidak diinginkan, akan tetapi yang harus dilakukan oleh seorang hamba Allah yang beriman adalah mengambil usaha-usaha yang nyata dan ridha dengan ketetapan Allah Ta’ala.

Sedangkan menikahi seorang wanita Ahli Kitab, baik itu Yahudi ataupun Nashrani maka dihalalkan bagi laki-laki muslim dan tidak sebaliknya hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

{ الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [المائدة: 5]

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi[7].

Lebih lagi jika diperakirakan dengan izin Allah Ta'ala sebab pernikahan ini, akhirnya wanita tersebut akhirnya memeluk agama Islam yang sangat mulia ini, maka menikahi wanita tersebut termasuk amal ibadah yang sangat mulia sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللَّهِ فِيهِ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ  

Artinya: “Berjalanlah dengan perlahan sampai kamu turun di tanah mereka, lalu ajaklah mereka masuk ke dalam agama Islam dan beritahukanlah kepada mereka tentang pa yang diwajibkan atas mereka berupa hak-hak Allah, demi Allah, Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan sebabmu lebih baik bagimu daripada kamu memilki unta merah[8].

Untuk menambahkan pengetahuan maka kami tambahkan sebuah fatwa di bawah ini, insya Allah bermanfa’at: 

Fatwa Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa, No. Fatwa: 8828

Pertanyaan: “Apakah hukum berjabat tangan dengan wanita yang ajnabiyah (bukan mahram) dalam agama Islam, apakah anak perempuan paman (saudara laki-laki kandung bapak), anak perempuan paman (saudara laki-laki kandung ibu),  anak perempuan dari anak paman saya, istri saudara kandung saya, istri paman (saudara laki-laki kandung bapak) saya, istri paman (saudara laki-laki kandung ibu) saya dan demikian pula saudari istri saya dan anak perempuannya, juga bibi saya yaitu anak perempuan dari pamannya bapak, (bibi saya) yaitu anak perempuan dari pamannya ibu, dan juga anak perempuan anak paman saya, apakah wanita-wanita yang saya sebutkan di dalam pertanyaan dianggap sebagai wanita yang bukan mahram, bolehkah berjabat tangan dengan mereka dan apa hukum melihat mereka tanpa syahwat?”

Jawaban: “Anak perempuan paman (saudara kandung bapak)mu, anak perempuan paman (saudara kandung ibu)mu,  anak perempuan dari anak laki-laki pamanmu, istri saudara kandungmu, istri paman (saudara laki-laki kandung bapak)mu, istri paman (saudara laki-laki kandung ibu)mu  dan saudara perempuan istri dan anak perempuan saudara perempuan istrimu, seluruh dari yang anda sebutkan di dalam pertanyaan adalah ajnabiyyat (bukan mahram) bagi anda, tidak boleh anda melihat mereka baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Dan demikian pula bibimu yaitu anak perempuan pamannya bapakmu, saudara laki-laki ibumu yaitu anak perempuan pamannya ibu, tidak boleh bagi anda berjabat tangan dengan keduanya, tidak boleh juga melihat kepada keduanya, karena mereka berdua bukan mahram bagi anda dan anda bukan sebagai mahram bagi mereka berdua, sedangkan bibi anda yaitu saudara perempuan bapak atau saudara perempuan kakekmu dan terus meningkat maka mereka adalah mahram bagi anda dan demikian pula saudara perempuan ibumu, saudara perempuan nenekmu terus meningkat lagi maka mereka adalah marham bagimu.

Semoga Allah memberikan taufik, shalawat dan salam selalu tercurahkan atas nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketua         : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil         : Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud.

*) Disusun dan diterjemahkan oleh Ahmad Zainuddin, Dammam KSA.


[1] QS. Al Ahzab: 50
[2] QS. Al Ahzab: 50
[3] QS. An Nisa-’: 23-24
[4] QS. An Nisa-‘: 24
[5] QS. Al Ahzab: 50
[6] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (6/442)
[7] QS. Al Ma-idah: 5
[8] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More