Bolehkah seseorang memberi nama anaknya dengan Jibril, Mika-il atau Isrofil? Bagaimana dengan nama Malaikat penjaga Neraka, yakni Malik, yang banyak digunakan di berbagai Negara. Apakah harus diganti dengan nama yang lain?
Berikut ini jawaban yang disampaikan oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil hafizhahullah dalam kitab beliau, Mu’taqad Firaqil Muslimiin wal Yahuud wan Nasharaa wal Falaasifah wal Watsaniyyiin fil Malaaikatil Muqorrobiin.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memberi nama dengan nama para Malaikat adalah makruh. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnul Qoyyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Di antara nama-nama yang makruh (digunakan) adalah nama para Malaikat, seperti Jibril, Mika-il, dan Israfil. Makruh hukumnya menamai seseorang dengan nama-nama tersebut.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah melanjutkan, “Asyhab mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang hukum memberi nama Jibril (untuk manusia). Maka Malik pun memakruhkan hal itu dan tidak menyukainya.” (Tuhfatul Mauduud, hal. 94 dan al-Muntaqaa, karya al-Baji, VII/296)
Al-Baghowi rahimahullah mengatakan, “Makruh hukumnya memberi nama dengan nama para Malaikat, seperti Jibril dan Mika-il, karena ‘Umar bin Khoththob membenci hal tersebut. Selain itu, tidak pernah pula diriwayatkan dari salah seorang Sahabat atau Tabi’in bahwa ia menamakan puteranya dengan nama salah satu Malaikat. Ini pendapat Humaid bin Zanjawaih.”
Al-Baghowi rahimahullah melanjutkan, “Ada yang berpendapat bahwa hal itu dimakruhkan karena khawatir jika orang tersebut dicela, dilaknat atau dicaci (oleh sesama manusia) sementara ia menyandang nama Malaikat.” (Syarhus Sunnah, XII/335-336)
Boleh jadi para ulama di atas berargumen dengan hadits:
تَسَÙ…ُّÙˆْا بِØ£َسْÙ…َاءِ الأَÙ†ْبِÙŠَاءِ Ùˆَلاَ تَسَÙ…ُّÙˆْا بِØ£َسْÙ…َاءِ الْÙ…َلاَئِÙƒَØ©ِ
“Namailah dengan nama-nama para Nabi dan janganlah kalian menamai dengan nama-nama para Malaikat.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhori dalam at-Taariikhul Kabiir, V/35. Al-Bukhori mengatakan, “Sanadnya masih perlu diteliti.”)
‘Abdurrazaq rahimahullah mengatakan, “Dari Ma’mar, ia bercerita, “Aku pernah bertanya kepada Hammad bin Sulaiman, “Bagaimana pendapatmu mengenai seseorang yang bernama Jibril atau Mika-il? Ia menjawab, “Tidak mengapa.” (Al-Mushonnaf, XI/40)
An-Nawawi rahimahullah berpendapat, “Madzhab kami dan Madzhab jumhur membolehkan seseorang memberi nama dengan nama para Nabi dan Malaikat… Karena larangan tersebut tidak ada dasarnya yang shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, penamaan tersebut tidaklah makruh.” (Al-Majmuu’, VIII/436)
Pendapat yang paling kuat –Wallahu A’lam- adalah dengan memberikan rincian, yakni di antara nama Malaikat ada yang bersifat musytarok, artinya nama tersebut juga lazim digunakan oleh manusia, tetapi ada juga yang khusus bagi Malaikat.
Untuk nama-nama yang bersifat musytarok, seperti Malik, hukum yang tampak jelas adalah boleh menggunakannya untuk nama manusia. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengubah nama Malik yang sangat terkenal pada zaman beliau. Seandainya nama tersebut makruh, niscaya beliau pasti mengubahnya sebagaimana yang dilakukan terhadap nama-nama lainnya.
Adapun nama-nama yang khusus untuk Malaikat, seperti Jibril, Isrofil dan Mika-il, maka hukum yang tampak jelas –Wallahu A’lam- adalah makruh menggunakannya. Sebab, tidak ada seorang pun Sahabat maupun Tabi’in yang mempergunakan nama tersebut. Sementara itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan kita untuk mengikuti jalan dan petunjuk mereka. Jadi, meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama. Wallahu A’lam.
Sudah menjadi kebiasaan banyak orang menyebut wanita-wanita yang bekerja di berbagai rumah sakit dengan Malaikat Rahmat. Penamaan seperti itu tentu tidak diperbolehkan karena para Malaikat bukanlah perempuan. Kebiasaan yang merupakan taqlid (ikut-ikutan tanpa dasar dalil yang shohih) kepada orang-orang non Muslim ini wajib ditinggalkan. Wallahu A’lam.
Sumber : Menyelisik Alam Malaikat, Bagian dari Rukun Iman Yang Sering Disalah-pahami dan dilupakan Banyak Orang, karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil hafizhahullah, penerjemah: Muslim Arif, Lc, penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, hal. 84-85.
0 comments:
Post a Comment