Kita tahu bahwa amalan puasa adalah amalan yang mulia. Namun pensyariatan puasa tersebut tentu saja harus mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di samping kita harus ikhlas dalam beribadah agar puasa kita diterima di sisi Allah. Lantas bagaimana jika amalan yang kita lakukan tanpa dasar atau dalilnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah (pendukung)? Tentu saja amalan tersebut tidak bisa kita amalkan dan kalau tetap diamalkan akan tertolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Amalan yang satu ini yaitu puasa di akhir tahun (29 atau 30 Dzulhijjah) dan awal tahun hijriyah (1 Muharram) adalah amalan yang saat ini tersebar di tengah-tengah kaum muslimin. Bagaimana tinjauan Islam akan puasa ini? Apakah benar dianjurkan?
Tinjauan Hadits
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta'ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.” Hadits ini disebutkan oleh Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) dan Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Al Mawdhu’at (2: 566).
Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Al Mawdhu’at (2: 566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[1]
Kesimpulannya, hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
Fatwa Ulama
Dr. Salman bin Fahd Al ‘Audah (pimpinan umum web islamtoday.net) mendapat pertanyaan, “Ada saudara kami yang biasa berpuasa di awa dan akhir tahun hijriyah. Ia mengklaim bahwa ajaran tersebut termasuk sunnah. Bagaimana hukum puasa ini? Jazakallah khoirol jaza’.”
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, wa ba’du:
Perlu diketahui bahwa mengkhususkan suatu hari, waktu, atau tempat dengan shalat atau ibadah lainnya adalah menjadi keputusan syari’at. Tidak boleh bagi seorang pun menentukan hal ini dengan semaunya. Puasa di awal dan akhir tahun hijriyah, bukanlah suatu amalan yang diperintahkan dan tidak memiliki dasar sama sekali. Tidak ada satu pun hadits shahih dan selainnya yang menganjurkan puasa tersebut. Oleh karena itu, puasa seperti itu tidaklah diperintahkan. Hendaknya saudari tersebut berpuasa tiga hari setiap bulannya jika ia mau. Atau ia bisa pula berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) dan satu hari sebelumnya. Ia pun bisa melakukan puasa Arofah (9 Dzulhijjah) jika ia tidak punya hajat. Semoga Allah menerima amalan kita dan engkau. (Sumber: islamtoday.net)
Tinggalkan Bid’ah!
Nasehat kami, masih banyak puasa sunnah lainnya yang bisa kita amalkan bahkan dalam setahun banyak sekali tuntunan puasa sunnah yang menuai pahala besar di sisi Allah. Seharusnya kita mencukupkan diri dengan amalan tersebut. Masih ada puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram, ada pula puasa Arofah dan puasa Senin Kamis. Puasa seperti ini cobalah kita rutinkan, kenapa mesti mengamalkan sesuatu yang tidak berdasar [?]
Lihat bahasan puasa sunnah dalam setahun di sini.
Ingatlah bahwa amalan tanpa dasar (baca: bid’ah) bukanlah malah mendekatkan diri seseorang pada Allah, namun malah membuat semakin jauh dari rahmat-Nya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ayyub As Sikhtiyani -salah seorang tokoh tabi’in- bahwa beliau mengatakan:
مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً
“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah.” (Hilyatul Auliya’, 1: 392).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1: 219, Asy Syamilah)
Alhamdulillah, rumaysho.com juga telah membahas amalan lainnya dalam menyambut awal tahun hijriyah yang keliru di sini.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 29 Dzulhijjah 1432 H
[1] Hasil penelusuran di www.dorar.net
0 comments:
Post a Comment