Share
div id='fb-root'/>

Friday, October 28, 2011

Raja Dan Delapan Orang Selirnya

Share on :


Bismillah.

Pelurus prasangka: 

Untuk teman-teman asrama dan teman-teman kami lainnya, perlu kami beritahukan kepada kalian semuanya bahwa pada tulisan-tulisan kami ini kami memang membiasakan diri menyebut ikhwan dan akhowat untuk sekedar 'mempercantik' bahasa kami, bukan untuk ‘mengidentifikasi’ diri-diri kami. Tidak, sama sekali tidak untuk tujuan murahan lagi tak bernilai seperti  itu. 

Kalian jua ikhwan karena sejatinya ikhwan tersebut dalam bahasa Arab artinya adalah laki-laki, bukan untuk sekalangan laki-laki yang telah ‘mengaji’ saja tapi untuk mahkluk Allah atas nama laki-laki seluruhnya. Begitu juga akhowat, dalam bahasa Arab artinya adalah perempuan, bukan untuk sekelompok perempuan yang telah ‘berjilbab’ saja tapi untuk perempuan seluruhnya.

Kisah kami:

Kisah kali ini masih jua kisah kami, sekumpulan akhwat tak ‘jelas’ semasa kuliah. Namun, pada masa ini tokohnya bertambah satu biji yaitu seorang ikhwan tak jelas  pula nan sangat langka dalam pandangan kami semasa itu.  

O iyya, masih ingat kah engkau kawan tentang bagaimana kebanggaan kami pada asrama kami tercinta nan penuh memori itu? Tak bosan-bosan kami memamerkan episode-episode masa lalu kami yang satu ini sampai-sampai kalian mungkin yang akan mual mendengarnya, jadi siapkan kresek masing-masing sajalah!

Bisa dibilang kali ini kami akan membukakan ‘belang’ seorang ikhwan dan para akhowat tak jelas itu demi sebuah ibrah yang kami fikir akan jauh lebih besar jika kami publikasikan ‘belang’ mereka yang dimaksud. Yah, sekali lagi kami hanya berharap agar kawan semuanya dapat mengambil ibrah meski hanya sedikit dari penggalan kisah kami yang satu ini, insya Allah.

Baiklah, akan kami mulai membeberkannya. Selanjutnya, dalam tulisan ini si ikhwan tak jelas akan kami panggil dengan panggilan jengkel kami kepadanya yaitu, “Raja” sementara dari itu, para akhowat tak jelas yang berjumlah 'lebih kurang' delapan orang akan kami bahasakan dengan ‘Para Selir’ saja.

Begini kawan-kawan semuanya,
Banyak diantara teman-teman kami yang berkomentar kalau kami ada apa-apanya dengan si Raja, padahal dengan pengakuan dari kejujuran kami yang paling jujur kami katakan bahwa kami memang ada apa-apa dengannya (?). Entah kenapa kami insya Allah bisa menahan diri dan pandangan kami dari para  ikhwan (cieee) kecuali dari yang satu ini, Raja kami. Kala itu, di  hape kami ada nomornya, di fesbuk kami ada akunnya, dan pula di hati kami ada dirinya. 

Sampai di sini janganlah kawan salah sangkakan dulu kisah kami ini seperti halnya teman-teman kami lainnya di asrama masa itu. Kami mohon kawan lanjutkan saja membaca kisah ini dahulu baru kemudian mengambil kesimpulan dari  maksud kami dalam menuturkan kisah ini.

Bagaimana dia tak akan mendapatkan tempat di hati-hati kami jika telah terlalu banyak nostalgia kebaikan (dan keburukan pula tentunya) antara kami dengannya. Kami kisahkan saja salah satunya terlebih dahulu karena ini adalah nostalgia kami bersama.

Jika Raja kami mendapati kami tidak pergi ta’lim, hanya bermalas-malasan saja di asrama seolah-olah berharap ilmu nan berharga itu akan dengan sendirinya mendatangi kamar-kamar kami maka tunggu sajalah hape-hape kami, sekali lagi hape-hape kami, bukan hape satu atau dua orang saja dari kami berdering. Kodok-kodok itu akan bersuara nyaring, burung-burung pula akan berkicau karena sebisa mungkin kami memang menghindari musik meski hanya untuk sebuah ringtone atau message tone di hape-hape kami sebab inilah yang kami ketahui dari penjelasan ulama Rabbani, insya Allah.

Kadang kami jawab saja pertanyaannya itu sekenanya dengan jawaban klasik, “Kami tak punya duit untuk ongkos!”, maka esoknya di kampus dia akan memberikan sebuah buku atau majalah kepada kami yang dengan sangat malas kami ambil darinya. Kami bolak-balikkan saja halaman demi halaman buku atau majalah itu sekedar untuk menghormatinya. Namun, alangkah kagetnya kami jika diantara halaman-halaman buku tersebut kami dapati uang sekian puluh ribu rupiah dengan pesan, “Ini untuk dua kali ta’lim, tak boleh buat jajan di kampus!”  Hahay, marah tak terkira kami kala itu karena mungkin dikiranya kami-kami ini minta santunan! Tapi kawan, jauh di dalam lubuk-lubuk hati kami ada keharuan yang luar biasa dengan sikapnya ini karena kamipun tahu ukuran ketebalan kantongnya namun dia tetap memperhatikan kami dengan membiayai kami untuk menuntut ilmu syar’i, insya Allah.

Sebelum kami beberkan lebih jauh kisah yang pada hakikatnya ‘memalukan’ ini maka sebaiknya kami sampaikanlah dulu bagaimana kami, para selir memperlakukan Raja kami tersebut dengan sangat tragis bin kejam alias sampai hati sekali! Masing-masing selir punya cara atau wilayah sendiri untuk memperlakukan Raja kami dan inilah diantaranya:

Selir 1 dan 2:
Mereka adalah ahli korupsi, koruptor teladan!! Simak saja pengakuan mereka sendiri, dalam hal ini Selir 1 di sebuah chatting kami:

“Dari jaman kadal dia (Raja) kena melulu aku kerjain. Pernah aku korupsi sama dia, pakaian yang sebenarnya hanya seharga Rp 130.000,- kubilang Rp 200.000,- sementara sisanya aku foya-foya sama Selir 2.  Kami beli kurma madinah ‘bertangkai’," (hay, tahu sendirilah kalian kawan bagaimana senangnya hati bila bisa membeli kurma madinah ‘bertangkai’ sementara biasanya kami hanya mampu membeli kurma kiloan, yang termurah  pula!)

Lanjutnya, “Terus selir  2 pamer  ke dia kalau kami punya kurma madinah ‘bertangkai’. Dia pun sampai merengek-rengek meminta kurma itu kepada kami, berliuran sudah dia dalam fikiran kami. Awalnya kami candain dia kalau kami tak mau kasih. Dikatainyalah kami ini pelit dan macam-macam sehingga akhirnya kami suruh jua dia untuk datang ke asrama. Kami kasih dia setengah bagian kurma madinah ‘bertangkai’ itu, plus susu, nata de coco, dan lain-lain yang kami beli kala itu, yang sekarang kami sudah tak ingat lagi. Terus dia sms, "jazakumulloh khoiron".  Kami balas, "wa anta jazakalloh khoir". Di asrama kami cekakakan, padahal itu uang dia sendiri. Kami tahu, kalau  dia sudah sampai  bilang “jazakillah khoiran” itu tandanya  dia sudah tidak sanggup bilang terima kasih lagi saking terharunya mungkin.”

Selir 3 dan 4:
Kalau selir 3 dan 4 ini maka lain pulalah lagi cara mereka  dalam menservis Raja. Berhubung Selir 3 agak sibuk, atau tepatnya sok sibuk sementara Selir 4 adalah asisten pribadinya yang ketularan sibuk, maka jika ada tugas kuliah Selir 3 yang menurutnya tidak ‘penting-penting amat’ apalagi kalau sudah ada sangkut pautnya dengan browsing di internet maka dia hanya mau tinggal senangnya saja, udah di print out dan bahkan udah ditaroh dimeja dosen!

Lagi, selir 3 dan 4 termasuk selir idaman yang rajin memasak, sebab kalau mereka tak masak maka di akhir bulan mereka akan beliuran saja melihat sebagian anak-anak asrama yang lain pada makan ‘Pecel Ayam Barokah’. Hubungannya dengan Raja adalah, jika mereka telah kehabisan bumbu-bumbu dapur tertentu  maka secara  ‘mendadak’ mereka akan menginstruksikan sang Raja untuk membelinya di pasar atau di abang-abang tukang sayur. 

Pernah suatu hari Selir 3 dan 4 menyuruh Raja mengambilkan buah belimbing sayur ‘agak’ sepuluh biji di kebon samping kantor RT,  tahu-tahunya ketika pesanan mereka datang dan dihitung ternyata pas sepuluh  biji, tak berlebih sebiji putikpun! Hahay, polos, amanah ataukah payah-kah  ini namanya kawan??

Selir 5, 6, 7dan 8:
Sebenarnya ingin sekali kami mengisahkan satu persatu dari cara masing-masing selir dalam melayani Raja kami, akan tetapi sepertinya kisah tersebut kami cukupkan pada 4 selir di atas, kami kuatir tulisan ini akan terlalu panjang jadinya padahal tujuan kami dalam menuliskannya adalah untuk menyampaikan kisah lainnya yang terselubung dari apa-apa yang telah kami sampaikan sebelumnya, insya Allah.

***

Kawan semuanya yang masih mau membaca lanjutan tulisan ini,
Jujur saja kami mengenal manhaj yang mulia ini adalah melalui perantaranya, secara langsung atau tidak, pun secara sadar atau tidak. Sebelum ‘intervensi’nya kami adalah akhowat-akhowat yang cukup aktif dalam sebuah jama’ah da’wah berbenderakan haraky. 

Pada mulanya dia adalah musuh terbesar kami karena harga diri kami sering terlukai jika telah ‘berdiskusi’ dengannya karena selalu dan selalu kamilah yang akan berada pada posisi yang kalah atau paling tidak terpojokkan dalam diskusi tersebut disebabkan begitu kuatnya hujjah yang ada padanya. Namun, demi gengsi tak pernah kami akui ‘ketangguhan’nya meski hati kami membenarkan. Aduhai kawan, apakah mungkin hujjah ‘akal-akalan' dari pihak kami dapat mengalahkan hujjah yang terang seterang matahari di waktu siang yang ada pada pihaknya? Tidak, sesekali tidak akan mungkin bukan?

Kami bersamanya selama tiga tahun dalam kelas yang sama. Hay itulah kawan, mana ada kampus ‘biasa’ yang kelas akhowat dan ikhwannya dibedakan? Jika kau temukan kampus yang sepeti itu maka mohon informasikan kepada kami agar kami sekolahkan pula karib kerabat kami di sana. Lagipula, perkuliahan kami adalah sebuah program, bukan fakultas apalagi jurusan! Setiap hari pada setiap mata kuliah kami hanya bertemu orang itu lagi dan itu lagi. Di asrama jangan pula kawan baca, lha jarak asrama putra dengan asrama putri hanya dalam hitungan langkah saja.

O iyya, sepertinya masalah mahrom perlu pula sedikit kami singgung di sini. Kami, para akhowat tak jelas tak ada satupun yang mempunyai mahrom disini. Kami menuntut ilmu diperantauan hanya bermodalkan nekad saja plus kala itu kami belum ngerti mahrom itu apa dan bagaimana sebenarnya, alias hanya tahu garis-garis besarnya saja dan itupun dengan pemahaman yang keliru.

Singkat cerita setelah mengenal manhaj salaf kami memang lebih sering ‘menyembunyikan’ diri-diri kami di balik dinding-dinding asrama. Hanya untuk ta’lim saja kami langgar hukum safar yang harus disertai mahrom itu karena meski apapun jua kami tetap tak bisa ‘mencari’ mahrom disini karena kami ini tengah terikat kontrak pendidikan yang paling mengerikan sedunia yaitu  tidak boleh menikah selama masa pendidikan! Kejamnya!

Begitulah latar belakang keadaan kami kawan sehingga kami menjadi sangat longgar darinya. Tak ada perasaan ‘aneh-aneh’ itu selain perasaan cinta dan kasih kepada seorang saudara, hingga terjadilah sebuah prahara dan fitnah untuknya dan untuk kami.

Mungkin karena terlalu dekatnya kami dengannya sehingga ada teman-teman asrama kami yang menyangkakan bahwa kami ini tak berkesesuaian antara ilmu dan perbuatan kami. “Jika sama laki-laki lain kalian nunduk-nunduk jaim tapi kalau sama dia kenapa kalian bisa cekakan layaknya orang pacaran?

Atau jika kami menanyakan sebuah tugas kelompok pada seorang teman yang mana teman ini juga sekolompok dengannya maka dia dengan polos berkata, “Tanya sama si Fulan saja mba, mba kan yang lebih dekat dengannya!”. 

Atau ada juga komentar teman kami, “Mba-e, tadi suamimu nitip pesan ke aku begini dan begini.” 

Sungguh, mendengar komentar demi komentar dari teman-teman asrama kami tersebut hati-hati kami rasanya memanas dan wajah-wajah kami rasanya ditampar-tampar oleh mereka. Sampai sebegitukah orang lain menilai kami padahal menurut perasaan kami, kami masih membentangkan hijab antara kami dengannya, sekali lagi menurut perasaan kami saja??

Kawan, penilaian teman-teman kami itu tidak salah melainkan 100% benar! Bukan salah mereka jika mereka berkomentar begitu karena memang kami layak untuk ditampar-tampar seperti itu! Harusnya kami berfikir dan bertindak objektif dalam perkara ini! Jika mau komit untuk ‘menjaga jarak’ atau ‘menyembunyikan diri’ dari laki-laki maka lakukanlah secara adil dan menyeluruh, jangan setengah-setengah mentang-mentang yang ini telah ngaji sementara yang itu belum.

Tidak fair jika kami tidak ‘berhubungan’ dengan seorang laki-laki tapi berhubungan  jua dengan dia padahal secara hakikat dia tetap saja laki-laki. Tak akan berkurang apalagi berubah kelaki-lakiannya hanya karena perkara/alasan apapun, segenting dan sepenting apapun. Bukankah timbangan keadilan harus ditegakkan?

Sekarang, kami telah menghapusnya dari fesbuk-fesbuk kami, kami jua tidak lagi menghubungi hapenya meski nomorya masih kami simpan. Namun, satu saja yang tidak kami hapus kawan, kami tak bisa menghapusnya dari hati-hati kami sebagai saudara terbaik di perantauan, insya Allah.

***

Goresan Kami
07 Juni 2011

Teruntuk saudariku semuanya yang kami sayang dan kami cinta karena Allah.

Untuk Para Selir, semoga kisah kita tak terulang lagi.

Jika sang Raja dengan sengaja atau tidak membaca tulisan ini jangan pula bertambah lapang lobang hidung antum karenanya karena sekali waktu akan kami tuliskan ibrah dari kisah negatif antum, insya Allah (?).

http://goresankami.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More