Share
div id='fb-root'/>

Thursday, October 6, 2011

Oral Seks - Haramkah ?

Share on :

Tanya : Apakah hukum oral seks ?
Jawab :
Ini adalah pertanyaan yang umum dilontarkan dari banyak negara akhir-akhir ini, yaitu Saudara kita ini menanyakan apakah hukum oral seks ? Hal itu bermakna : Menggunakan mulutnya untuk (mencumbui) organ pribadi (farji) dari istrinya. Jawaban dari hal ini, pertama-tama aku tidak mengetahui bukti/keterangan adanya larangan mengenai perbuatan itu, walaupun perbuatan itu seperti perbuatan seekor anjing. Seekor anjing jantan melakukannya dengan anjing betina saat menginginkannya; dan dasar bagi seorang hamba (Allah) adalah memuliakan dirinya atas hal-hal seperti itu.
Allah telah mengkaruniakan nafsu kepada makhluk dalam rangka untuk menjaga kelestarian/keberlangsungan jenisnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenyebutkan dalam sebuah hadits : “Segala macam hiburan adalah baathil kecuali tiga macam : seorang laki-laki yang bermain dan bersendau-gurau dengan istrinya, melatih kudanya, dan berlatih memanah”. Nabi telah mengatakan bahwa segala jenis hiburan adalah baathil kecuali tiga jenis ini dimana merupakan hal-hal penting yang dipertimbangkan (untuk dilakukan). Jadi, ketika seorang laki-laki bermain-main/mencumbui istrinya untuk menghasilkan anak yang shalih serta berlatih menunggang kuda dan memanah untuk memperkuat badannya atau mempersiapkan diri untuk berjihad di jalan Allah (maka ini tidak mengapa). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa segala jenis hiburan itu bathil kecuali hal-hal yang memang membawa faedah. Dan seorang laki-laki dalam hal ini hanya dapat memenuhi kebutuhan nafsunya dari istrinya melalui jalan jima’. Oleh karena itu, kita mengetahui dari hal tersebut ada satu faedah fiqhiyyah yang mengatakan : Jika perbuatan jima’diperbolehkan, maka segala hal yang lebih rendah dari perbuatan tersebut adalah diperbolehkan. Dari sini didapatkan satu keterangan bahwa oral seks diperbolehkan. Terdapat pula keterangan dari Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya bahwa jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka segala sesuatu yang lebih rendah dari itu juga diperbolehkan, dan kemudian ia menyebutkan permasalahan ini (oral seks). Permasalahan ini beliau sebutkan dalam tafsir Surat Al-Ahzaab[1] dengan menyebutkan perkataan dari Al-Ashbagh, salah satu shahabat dari Al-Imam Malik., mengenai seorang laki-laki yang menjilat farji (vagina) istrinya. Ashbagh berkata : “Aku tidak memandang terdapat satu masalah mengenai hal itu”. Perkataan ini dapat ditemukan dalam Tafsir Al-Imam Al-Qurthubi. Al-Imam Al-Qurthubi juga menyebutkan satu pertanyaan : ‘Apakah berbicara hal-hal yang porno dengan istri diperbolehkan ?’. Al-Qurthubi menyatakan bahwa jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka hal yang lebih rendah dari itu juga diperbolehkan. Wallaahu a’lam.[2]
[terjemahan bebas dari rekaman penjelasan Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salmaan hafidhahullah tanggal 8 Maret 2008 – www.mashhoor.net].


[1] Yang benar adalah QS. Al-An-Nuur ayat 31. Al-Qurthubi menyebutkan :
قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Telah berkata Ibnul-‘Arabiy : Berkata Ashbagh dari kalangan ulama kita (Malikiyyah) : ‘Diperbolehkan untuk menjilatnya (farji/vagina) dengan lidahnya” [Tafsir Al-Qurthubiy, 12/232] - Abu Al-Jauzaa’.
[2] ‘Alaudiin Al-Mardawiy Al-Hanbaliy rahimahullah dalam kitab Al-Inshaaf mengatakan :
قال القاضي في الجامع : يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع، ويكره بعده.
“Telah berkata Al-Qaadliy dalam Al-Jaami’ : ‘Diperbolehkan untuk mencium farji (vagina) istri sebelum melakukan jima’, namun dibenci jika melakukannya setelahjima’ [Al-Inshaaf, 8/33].
Adapun di antara ulama kontemporer yang membolehkan adalah Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy rahimahullah. Beliau menyatakan hukumnya mubah secara mutlak, karena asal dari segala cara dalam hubungan seks adalah halal. Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahmengatakan bahwa perilaku tersebut kurang bagus, namun hukumnya boleh-boleh saja. Adapun Asy-Syaikh As-Saami Ash-Shuqair (murid utama Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) menjelaskan bila sampai menjilat najis, yaitu madzi, maka hukumnya haram. Tetapi bila tidak, maka hukumnya boleh [lihat selengkapnya penjelasan Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyiir dalam buku Sutra Ungu hal. 143-148; Penerbit Rumah Dzikir] – Abu Al-Jauzaa’.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More