Sepekan yang lalu saya berkunjung ke sebuah toko buku di kota Mukalla, ibukota Propinsi Hadramaut. Buku-buku yang dijual di sana campur. Ada buku agama, demikian juga buku-buku umum. Buku agamanya pun macam-macam, ada yang ditulis oleh para ulama ahlussunnah, ada juga yang ditulis oleh selain mereka.
Ada satu buku yang menarik untuk dibeli. Judulnya kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Ulama, Teladan, Murabbi, Syaikh yang Zuhud dan Penuh Kehati-hatian”. Harganya 500 riyal, cukup mahal untuk buku yang tidak terlalu tebal seperti itu.
Ketika itu Asy Syaikh Ibnu Utsaimin masih menjadi seorang pelajar. Beliau meninggalkan kota kelahiran beliau Unaizah dan juga meninggalkan guru beliau Asy SyaikhAbdurrahman bin Nashir As Sa’di karena ingin belajar kepada Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
Darul Hadits Syihir -semoga Allah menjaganya- Hadramaut, malam Kamis 24 Syawwal 1432- 21 September 2011.
Sunday, October 2, 2011
Jangan Menilai Orang dari Penampilan
Saya pun membeli buku tersebut. Dan ternyata memang buku itu buku yang sangat bagus. Selain jadi lebih mengenal “kakek guru” saya (karena beliau adalah guru dari Syaikhuna Abdullah Mar’ie), banyak sekali perkara yang bisa diteladani dari biografi beliau ini. Bagaimana akhlak beliau, cara mengajar, metodologi beliau dalam memberi fatwa dan menulis karya ilmiah, dan banyak hal lainnya.
Salah satu yang berkesan bagi saya adalah kisah pertemuan pertama beliau dengan Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi, salah seorang ulama besar, ahli tafsir dari negeri Syinqith, Mauritania (salah satu negara di Afrika).
Kisahnya begini…
Ketika bertemu untuk kali pertama dengan Asy Syaikh Asy Syinqithi di kelas, beliau sempat kaget melihat penampilan Asy Syaikh Asy Syinqithi yang tampak seperti orang badui, orang Arab dusun. Kampungan dan sama sekali tidak tampak berwibawa. Terlintas di benak beliau, “Aku meninggalkan Asy Syaikh As Sa’di untuk belajar kepada orang badui ini?” Asy Syaikh sudah under-estimate dulu terhadap penampilan Asy Syaikh Asy Syinqithi.
Namun begitu Asy Syaikh Asy Syinqithi memulai pelajarannya, nampaklah ilmu Asy Syinqithi yang luas bagai samudera. Mulailah Asy Syaikh Al Utsaimin mengambil faidah dari pelajaran yang beliau berikan dan meneladani akhlaq serta budi pekerti Asy Syaikh Muhamad Amin Asy Syinqithi.
Saya kemudian teringat dengan sosok Atho’ bin Abi Robah, salah seorang tabi’in yang masyhur. Biografi beliau sering dibaca oleh mudarris, pengajar hadits ketika kami belajar Shahih Al Bukhari di Syihir. Atho’ bin Abi Robah adalah budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Tubuhnya kurus, hitam, dan dekil. Matanya pun picak sebelah. Namun biidznillah, berkat kesungguhan beliau dan demikian pula kerasnya didikan Abdullah bin Abbas, beliau menjadi seorang ulama besar di masanya. Sampai-sampai orang menjuluki beliau sebagai Sayyidul Fuqaha’ Hijaz, pemuka para ulama Hijaz (daerah Makkah-Madinah dan sekitarnya).
Dari figur-figur seperti mereka ini hendaknya kita mengambil ibroh. Bahwa seseorang itu tidaklah dinilai dari penampilannya. Tapi dari ilmu dan keshalihannya. Sebagian ikhwah terkadang tidak mau menghadiri kajian hanya karena penampilan ustadznya “kurang meyakinkan”. Padahal ilmu sang ustadz begitu luas. Akhirnya luputlah dari mereka banyak faidah diakibatkan memberikan penilaian hanya dari segi penampilan.
Sebaliknya betapa banyak orang-orang yang penampilannya begitu meyakinkan, tampil layaknya seorang alim, tapi begitu berbicara ketahuan bahwa ilmunya tiada. Nas’alullah as salaamah wal ‘aafiyah.
Ini mungkin sedikit faedah yang bisa kita peroleh dari kisah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Semoga bisa bermanfaat, wallahu a’lam bis shawaab.
Oleh: Wira Mandiri Bachrun
0 comments:
Post a Comment