[1] Lihat Miftah Daris Sa’adah wa Mansyur Walayati Ahli Ilmi wa Irodaholeh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 294-295, terbitan Dar Ibnu Affan Mesir.
Tuesday, October 11, 2011
Antara Dosa dan Ta’at
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Seorang Hamba, Diantara Dosa dan Ta’at
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik AllahSubhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Para pembaca, semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayahNya kepada kita, judul yang ada di atas merupakan keadaan yang seorang hamba tidak bisa lepas darinya, keadaan seorang hamba hanya berputar-putar dalam lingkaran tersebut. Jika ia sedang tidak berada dalam keta’atan maka ia akan berada dalam kemaksiatan. Dimana jika ia berada dalam keta’atan maka ketahuilah hal itu adalah sebuah nikmat yang teramat agung yang ia wajib untuk disyukuri. Jika ia sedang tidak dalam keadaan ini maka ia dalam keadaan berbuat dosa yang ia dituntut untuk bertaubat dan meminta ampunan kepada Pemilik dirinya dan Pemilik seluruh alam semesta yaitu, Allah ‘azza wa jalla.
Ada bergitu banyak tulisan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengenai hal yang demikian diantaranya adalah apa yang akan kami nukilkan terjemahannya sebagai berikut mudah-mudahan bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian.
Beliau rohimahullah mengatakan[1],
Diantara (perwujudan shifat Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia menginginkan kebaikan pada hambaNya maka Allah akan buat hambaNya tersebut lupa melihat keta’atan yang telah ia kerjakan[2]. Allah akan angkat hal tersebut dari hati dan lisannya. Jika Allah timpakan baginya musibah berupa dosa yang ia kerjakan di masa lalu maka ia manjadikan musibah yang berupa dosa tersebut selalu berada di pelupuk matanya, ia akan selalu mengingat-ingatnya[3] dan ia melupakan keta’atan yang ia kerjakan di masa lalu. Hal yang selalu ada di benaknya adalah ingatan akan dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka bayangan berupa ingatan akan betapa dosa-dosanya yang telah lalu tersebut selalu ada di pelupuk matanya, tatkala ia berdiri maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu, tak kata ia duduk maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu demikian seterusnya tatkala ia pergi ke suatu tempat ataupun ketika ia sedang beristirahat maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka keadaan jiwanya yang demikian ini sesungguhnya telah menjadi rahmat Allah padanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan sebagaian salaf,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْذَنْبَ فَيَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ, وَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَدْخُلُ بِهَا النَّارَ, قَالٌوْا وَكَيْفَ ذَالِكَ؟ قَالَ يَعْمَلُ الْخَطِئَةَ فَلَا تَزَالُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ, كُلَّمَا ذَكَرَهَا بَكَى وَ نَدَمَ وَ تَابَ.
“Sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan dosa akan tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga, dan sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan kebaikan akan tetapi kebaikan yang telah ia kerjakan tersebut menyebabkannya masuk neraka”. Lalu orang-orang yang mendengar bertanya, “Apa maksud Anda?” Jawabnya, “Dia melakukan kesalahan, lalu kesalahan tersebit terus menerus diingatnya. Setiap kali dia mengingatnya dia menangis, menyesal, dan bertobat”[4].
Kemudian ia beristighfar, merendahkan dirinya dan kembali kepada Allah dengan penuh perendahan diri dan dengan hati yang tercabik-cabik karena penyesalannya. Kemudian dia mengiringi taubatnya dengan beramal dengan amalan-amalan sholeh maka jadilah dosa yang ia kerjakan dahulu pada hakikatnya menjadi sebab rahmat Allah baginya. Akan tetapi sebaliknya orang yang melakukan amalan-amalan yang dhohirnya amalan kebaikan namun ia senatiasa menjadikan amalan tersebut berada di pelupuk matanya, ia membangga-banggakannya, menunjuk-nujukkannya di hadapan Robbnya dan manusia, lalu ia menyombongkan diri dengannya. Dia menganggap bagaimana mungkin orang seperti dirinya tidak diangggap, tidak dimuliakan oleh manusia. Maka hal ini senantiasa menyertainya demikian juga dampak dari hal ini akan terus menerus ada pada dirinya hingga hal tersebut mengantarkannya ke neraka. Maka…
عَلَامَةُ السَّعَادَةِ أَنْ تَكُوْنَ حَسَنَاتُ الْعَبْدِ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَسَيْئَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ
وَعَلَامَةُ الشَّقَاوَةِ أَنْ يَجْعَلَ حَسَنَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ وَسَيْئَاتُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ
“Tanda Kebahagiaan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya di belakang punggunnya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di pelupuk matanya”.
“Sedangkan tanda kesengsaraan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya ia tempatkan di pelupuk matanya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di belakang punggunnya, Allahul Musta’an”.
Demikian nukilan berharga dari apa yang disampaikan seorang ulama yang tidak diragukan keilmuannya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah. Mudah-mudahan dengan nukilan ringkas ini kita bisa mengambil pelajaran dan merubah apa yang selama ini salah pada diri kita serta mengajarkan kebenaran kepada orang di sekitar kita.
Aku memohon kapadaMu ya Allah, Ya Robbal ‘Alamin, Jagalah diriku dan orang-orang yang mencintaiMu dan NabiMu shallallahu ‘alaihi was sallam agar jika telah waktunya malaikat maut menjemput tetap tegar dalam islam, iman dan sunnah yang merupakan sebaik-bai bekal ketika bertemu denganMu, Amin Ya Mujibas Saailin.
Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh,
16 Rojab 1431 H.
HambaNya yang Lemah dan Mengarap Ampunan Robbnya,
Aditya Budiman
[2] Bukanlah yang dimaksudkan disini tidak memperhatikan cara ibadahnya, mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam atau tidak dan lain-lain hal yang semisal dengan ini. Akan tetapi yang beliau maksudkan di sini adalah ia tidak mengingat-ingat dalam rangka menyombongkan dirinya di hadapan mahluk. Allahu A’lam pent.
[3] Agar tidak terjerumus dalam dosa yang sama pent.
[4] Perkataan di atas diriwayatkan secara marfu’ sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam. Ibnul Mubarok menyebutkannya dalam Az Zuhd no. 162, demikian juga Ahmad dalam Az Zuhd no. 76/I, melalui jalurnya Al Mubarok bin Fadholah dari Al Hasan secara mursal, terdapat ‘an’anah (istilah ilmu hadits) Al Mubarok dan riwayatnya hasan jika mursal. Al ‘Iroqi meyebutkan syawahid/penguat-penguatnya namun beliau mendhoifkannya dalam takhrij beliau untuk Ihya’ ‘Ulumuddin hal. 14/IV. Diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas dalam Az Zuhd no. 164, Ibnul Mubarok no. 164, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Aulya’ hal. 158/II berupa perkataan Hasan Al Bashri. (takhrij ini kami nukil dari tahqiq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy untuk Kitab Miftah Daris Sa’adah hal. 294/II)
0 comments:
Post a Comment