Kamar tercinta,
Terkhusus untukmu wahai akhiy nan bersahaja lagi bisa menjaga prasangka,
Biarlah aku bersabar dengan penantianku, meski dengan penantian nan panjang dan kadang melelahkan serta melemahkan asaku asalkan aku bisa mengakhirinya dengan sesuatu yang diridhoi lagi diberkahiNya, insya Allah. Aamiin.
Friday, October 28, 2011
Akhiy, Engkau Telah Kutembak Mati!! (Surat Terbuka Kedua Untuk Para Akhiy)
Bismillah
07 September 2011
23.46 WIB
Di bawah kolong langit Allah manapun engkau ber-atap pada.
Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Akhiy, apakah sepucuk surat yang kukirimkan sedari kemarin kepadamu telah selesai engkau baca-i dan pula engkau fahami? Telah bisakah engkau mengartikan setiap rangkaian kata yang aku goreskan bersama ledakan emosiku yang tiada terkira saat surat itu aku tulisi?
Entahlah, semoga engkau benar-benar bisa menangkap maksud yang hendak disampaikan hati. Semoga pula engkau masih menjaga prasangkamu kepadaku atas setiap kalimat dalam surat itu yang mungkin agak vulgar bagimu. Sungguh, tidak ada sedikitpun maksud dihatiku untuk berlebai-lebai apalagi untuk begenit-genit ria kepadamu melalui surat itu.
Ketahuilah akhiy, kalimat demi kalimat yang aku tuliskan dengan penaku itu adalah kalimat dari perempuan-perempuan yang sedang dalam ‘ke-tidak-pastian’ seperti diriku, kalimat dari perempuan-perempuan yang hatinya tengah dilanda begitu dahsyatnya gelombang asmara seperti hatiku. Sungguh begitu ya akhiy, percayalah kepadaku.
Akan tetapi ya akhiy, semalam telah kurenungi semua kesalahanku dan pula telah kutangisi semua maksiat yang pernah kulakoni bersamamu, ternyata barulah aku menyadar diri bahwasanya engkau tidaklah satu-satunya orang yang dikemudian hari akan mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah terlanjur terjadi diantara kita dihadapan Allah Ta’ala. Aku pula ya akhiy, aku pula harus mempertanggungjawabkannya karena tidaklah kita melakukan dosa dan maksiat itu melainkan kita berdua sadar akan akibatnya.
Akhiy, memang tidaklah mungkin tepuk akan menghasilkan bunyi jikalah engkau bertepuk hanya dengan sebelah tangan saja, bukan? Tidaklah mungkin engkau akan berani mengirimiku sms sekian kali sehari jikalah tidak karena aku yang pernah sekali waktu membalasinya. Tidaklah mungkin engkau akan menebarkan pesonamu jikalah aku tidak memberikanmu sebidang lahan dihatiku untuk menyemaikannya. Tidaklah mungkin engkau bisa memandangiku jikalah tidak karena aku yang menampakkan diri di hadapanmu. Serta tidaklah mungkin engkau diam-diam bisa mencuri hatiku jikalah tidak karena aku yang telah melonggarkan kunci nan terpasang pada pintunya itu. Bukan begitu? Aku pula salah, sekali lagi aku akui kalau aku pula salah.
Akhiy, harusnya sedari awal telah kutembak mati saja dirimu sebelum akhirnya engkau bisa membobol pertahananku. Harusnya aku tidak izinkan saudariku untuk memberikan nomor handphoneku kepada sembarang orang, apalagi kepada mahkluk Allah atas nama laki-laki sepertimu. Harusnya langsung kudelete pesan singkatmu ketika pertama kali kau mencoba mendekatiku. Harusnya tidak aku simpan nomormu di memori handphoneku semasa itu, dan harusnya aku pula tidak boleh tertarik untuk menghafal nomor cantikmu itu.
Akhiy, harusnya tidakku terima permintaan pertemanamu di fesbukku, harusnya tak kuladeni inbox-inbox membadai lagi menggelombang dahsyat yang kau kirimkan melalui pesan masukku. Harusnya aku tak boleh lalai dalam menjaga hatiku, harusnya aku tak boleh lemah dalam menjaga hijabku, harusnya aku tak boleh memberimu kesempatan sekecil apapun sehingga engkau bisa selamat dari fitnahku.
Kutambahi untukmu akhiy, seharusnya dari semula aku telah bisa mengukur kadar diriku sebelum mencoba berinteraksi denganmu di lembaga dakwah kampus kita kala itu, harusnya aku menahu akan diriku yang masih berhati tahu, yang sekali tekan saja maka akan menghancur remuklah ia, dan yang sekali remas saja maka akan meremahlah sari-sarinya.
Harusnya aku tak boleh pura-pura lupa akan peringatan Nabiku yang telah mengingatkanku bahwa aku adalah bagian dari kaum yang kurang agama dan ‘akalnya. Harusnya aku mengerti kalau aku hanya akan bermain perasaan saja dalam menilai setiap perkara, tidak sepertimu yang akan menimbangnya dengan pertimbangan logika pula.
Aduhai, sekiranya segala harus yang aku sebutkan itu telah aku lakukan dan pula telah aku hindarkan dari semula niscaya, insya Allah aku akan selamat dari fitnah nan sungguh tak mengenakkan hati lagi sangat menyesakkan dadaku ini, dari fitnah yang telah membuatku menghinakan diri dan kehormatanku sebagai kaum yang seharusnya dimuliakan oleh dien yang mulia ini.
Akhiy, sungguh aku jujur kepadamu bahwa sebenarnya aku teramat sangat malu kepada diriku sendiri yang mengaku sebagai perempuan salafiyyah penggenggam bara api sejati akan tetapi hatiku telah bemaksiat kepada Rabbku yang Maha Mengetahui. Aku berkoar-koar dengan lisanku bahwasanya aku adalah seorang perempuan yang tengah menetapi jalan menuju ke-shalihahan nan hakiki akan tetapi ulahku tak kalah bejatnya dari pada teman-temanku yang belum mengerti akan dien dan manhaj yang haq ini.
Yah, betapa tidak lebih bejat aku ini kiranya daripada teman-temanku itu karena aku nekad melanggar perintah-perintah syari’at sementara hujjahnya telah tegak atasku, tepatnya dalam sebuah perkara yang pernah kulakoni bersamamu beberapa masa yang lalu. Sedang mereka, mereka melakukan kebejatan yang sama denganku semata-mata hanya karena mereka belum mengetahui tentang apa-apa yang sedang mereka lakukan, semata-mata hanya karena hidayah Allah belum teruntuk baginya sehingga dalam hal ini tentu ampunan dan ‘pemakluman’ Allah pula masih ada untuk ketidaktahuan mereka itu, bukan? Bukan begitu akhiy?
Akhiy, aku juga malu kepada teman-temanku itu. Entah apalah sangkaan mereka jika sekiranya mereka tahu tentang kebejatan moralku dibalik lebarnya jilbabku ini. Entah apalah sangkaan mereka akhiy, jika mereka tahu engkau telah menzinai hatiku dengan hatimu. Bukankah segala indra terancam zina dengan bagiannya masing-masing ya akhiy? Ah, aku yakin engkau tahu itu akhiy, aku yakin kalau telah sampai kepadamu hadist rasulullah yang berbunyi:
“Dari Abu hurairah, Nabi shalallahu ‘alayhi wassalam bersabda, “Telah ditentukan atas setiap manusia bagiannya dari zina. Dia pasti memperoleh bagian tersebut. Maka zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah ucapan, zina tangan adalah merampas, zina kaki adalah melangkah, dan hati berkeinginan dan berangan-angan dan hal itu dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)”
Astagfirullah Akhiy, bukankah kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang berzina itu akhiy?? Bukankah tanganku telah berzina dengan tanganmu ketika kita sedang berbalasan sms akhiy?? Bukankah telingaku telah berzina dengan suaramu ketika sekali masa engkau berani menelfonku akhiy?? Bukankah mataku telah berzina ketika membacai semua pesan-pesan panjang nan berisi bahasa-bahasa gombal versi ikhwan yang tengah dimabuk kepayang sepertimu akhiy? Aduhai, hatiku pula telah berzina ketika aku berangan-angan akan hadirmu disini ya akhiy.
Sungguh, jikalah tidak karena pertolongan dan penjagaan dari Allah, maka mungkin saja zina yang sebenarnya telah kita lakukan, akhiy!! Sungguh, jikalah tidak karena petunjuk dariNya niscaya kita akan menjadi manusia yang akan meraung-raung menyesali nasib kita sendiri pada hari perhitungan dan pembalasan atas setiap perbuatan yang telah kita lakukan selama di dunia ini ya akhiy. Benarkan akhiy?
Di atas semua itu, sungguh aku malu kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengawasi setiap gerak dan gerik hambaNya ya akhiy. Begitu lemahnya diriku dalam meyakini pengawasan Allah atasku. Sungguh aku seolah begitu tegar menjaga hijab dan hatiku dihadapan teman-temanku dan pula dihadapan kaummu nan di dunia nyata itu, namun akan melemah pertahananku apabila aku sedang berkesendirian di dalam kamarku untuk membalasi sms-smsmu, atau ketika di depan layar monitorku dalam meladeni ajakanmu untuk sesekali berchatting maksiat dan dosa denganmu melalui kotak obrolanku.
Aduhai, apalah lagi yang akan menjadi penjaga atas semua amalanku jika bukan ilmu dan kesadaranku akan pengawasan Allah nan senantiasa membersamaiku selalu, baik ketika aku dihadapan manusia ataupun disaat aku dibelakang mereka??
Oleh sebab itu ya akhiy, marilah kita sama-sama memohon kepada Allah agar Dia mengampuni segala salah dan khilaf kita. Marilah kita merengek-merengek kepada Allah agar Dia tidak membalasi semua dosa dan maksiat kita ini dengan adzabNya yang sungguh pedih lagi tak terperi. Mari kita merayuNya agar Dia tetap memberikan kita petunjukNya dan selanjutnya menjaga kita dengan penjagaanNya yang Maha sempurna.
Begitulah akhiy, alhamdulillah setelah merenugi maksiat ini dari manakah kiranya ia bermuasal maka aku sekarang akan berusaha, insya Allah untuk keluar dan menjauh darinya semampuku. Aku akan kembali menata ulang hati dan diriku sehingga aku benar-benar pantas menjadi perhiasan dunia terindah bagi seseorang yang akan mengetuk pintu rumahku dan pula akan menjabat tangan ayahku untuk mengikrarkan ‘akad nan mulia pada suatu hari yang insya Allah akan Allah peruntukkan jua bagiku.
Mulai saat ini aku akan melakukan shalat istikharah dengan sebenar-benarnya istikharah, yaitu meminta agar Allah memberikan seseorang yang terbaik menurutNya untuk dunia dan akhiratku. Yah, ternyata selama ini aku tanpa sadar telah memaksakan kehendakku kepada Allah yang Maha Tahu agar menjodohkan jua aku denganmu karena aku telah terlanjur terjerat cinta nan salah makna kepadamu, aku telah kadung terperangkap maksiat cinta yang hanya akan mencelakakanku.
Selanjutnya, dengarkanlah olehmu baik-baik hal yang akan aku sampaikan ini ya akhiy. Aku telah menembak mati dirimu akhiy!! Yah, tadi malam aku telah memutuskan untuk menembak mati dirimu ya akhiy!! Biarlah aku berdarah-darah untuk melupakanmu yang telah terlanjur lekat dalam ingatanku daripada aku menyediakan diriku untuk terjun bebas ke dalam kobaran api neraka yang berkobar ganas lagi teramat sangat panas, sementara aku tidak ada daya untuk keluar darinya, kecuali atas ampunan dan kehendakNya saja.
Sudahlah akhiy, lupakan saja suratku nan kemarin petang itu. Biarlah untuk sementara aku memperbaiki diriku terlebih dahulu sebelum aku mencoba lagi untuk menyeriusi perkara nan sungguh sangat besar ini, yaitu menikah. Mungkin selama ini ekspektasiku akan sebuah pernikahan terlalu tinggi, dimana aku hanya membayangkan hal yang indah-indahnya semata dan tidak mempedulikan perkara-perkara tidak terduga lainnya yang bisa saja akan menggoyang biduk rumah tanggaku nantinya. Biarlah kucukupi diriku dengan ilmu tentangnya terlebih dahulu sebelum aku putuskan untuk meng-eksekusi keputusanku, yaitu keputusanku untuk menikah itu.
Biarlah sekarang benar-benar aku tapaki saja jalan keshalihahan itu dengan sungguh-sungguh agar kemudian Allah mendatangkan laki-laki yang pula shalih untukku.
Biarlah aku tetap menanti sampai Allah benar-benar sandingkan aku dengan seseorang yang memang pantas dan layak untukku nanti, bukan dengan seseorang yang hanya berani menyulut api yang ketika api itu berkobar dengan sangatnya iapun kemudian lari, bukan pula dengan seseorang yang hanya berani mengundang fitnah yang disaat fitnah itu menuntut penyelesaian darinya iapun menghilang entah kemana.
Dan jikapun pada akhirnya aku telah tak kuat lagi dalam menahan diri akan inginku ini maka biarlah aku sedikit ‘menurunkan’ harga diriku untuk segera minta dinikahi oleh seseorang yang telah pasti keshalihannya itu melalui perantara ayah atau paman-pamanku. Aku telah jera bermain serong seperti ini, ya akhiy!! Tentulah akan jauh lebih terhormat bagiku untuk berani maju menawarkan diri dalam perkara yang halal lagi pernah dicontohkan oleh seorang shahabiyyah di masa Rasulullah daripada secara tidak sadar telah mempersilakanmu untuk menzinai hatiku, tanpa sadar aku telah mempertaruhkan haga diriku itu hanya demi sebuah gengsi yang tiada arti. Insya Allah, inilah prinsipku sekarang ya akhiy.
Begitulah akhiy, inilah keputusan yang telah aku ambil malam tadi sehingga bersyukurlah engkau karena tidak jadi bersusah-susah mencari alasan untuk menolak tantanganku agar engkau segera menikahiku seperti dalam suratku yang telah lalu.
Insya Allah aku selalu mendo’akanmu agar engkau pula mendapatkan perempuan shalihah nantinya, yang dengannya bisa kau sempurnakan separuh agamamu sehingga engkau pula tak perlu lagi berpayah-payah dalam menjaga dirimu dari fitnahku dan kaumku.
Demikianlah akhiy, sesekali aku tak hendak merendahkanmu dengan keputusanku ini. Aku bukannya mencapmu sebagai laki-laki yang tidak shalih sehingga tidak pantas untuk menikahiku, akan tetapi karena memang akulah yang merasa bahwa diriku belum sepenuhnya menjadi perempuan shalihah yang layak untuk mendampingimu.
Entahlah akhiy, sungguh aku telah merendah diri dan menyemburu hati kepada perempuan-perempuan shalihah yang berada disekitarku. Sungguh sangat jauh posisiku dari mereka dihadapan Rabbku. Betapa tidak, disaat hatiku dilalaikan olehmu, si shalihah malah sedang dikhusyukkan oleh dzikrullah sehingga hatinya menjadi sangat sensitif terhadap kebenaran dan sangat peka terhadap ke-tidak-benaran. Disaat aku sibuk dalam meladeni segala ulahmu, si shalihah pula sedang sibuk mencukupi dirinya dengan ilmu. Disaat fikiranku tengah galau memikirkan dirimu, si shalihah juga sedang asyik menghafalkan ayat-ayat dari al quran nan mulia dan pula akan memuliakan dirinya setelah itu.
Ah, sekali lagi aku malu kepada mereka dan kepada Rabb kita. Tidaklah ada apa-apanya diriku ini dibandingkan mereka. Semoga aku benar-benar dimudahkan Allah untuk menjadi seperti mereka. Semoga begitu. Semoga engkau pula bantukan aku untuk menjadi seperti mereka, semoga engkau selalu do’akan aku.
Sekali lagi, semoga engkau mengerti kalau engkau telah kutembak mati. Yah, engkau telah kutembak mati malam tadi ya akhiy, insya Allah.
Aku,
Ukhty muslimah nan tengah berpayah agar kembali menjadi shalihah
***
Bumi Allah,
04 September 2011
Goresan Kami
***
Untuk semua ukhty muslimah yang masih terjebak dalam perkara ini, semoga engkau menyadari salahmu sehingga engkaupun tak melulu menyalahkan para akhiy pencuri hati itu. Semoga begitu.
Kalaulah boleh aku memberikan sedikit saran dan nasihat kepadamu wahai ukhty muslimah, menurutku tak usahlah lagi kita membahas para akhiy dari spesies-spesies aneh ini pada pembicaraan-pembicaraan kita berikutnya. Cukuplah ia hanya menjadi masa lalu yang bisa kita ambil ibrahnya.
Yakinlah engkau wahai ukhty muslimah, insya Allah masih banyak para akhiy yang 'istimewa', masih banyak yang jantan lagi perkasa diantara mereka. Aduhai, jika sekiranya telah tidak ada lagi kumbang yang jantan entah bagaimanakah mawar nan berduri akan memekarkan bunga dari putiknya??
Ayo ukhty muslimah, ayo kita shalihahkan diri-diri kita terlebih dahulu sebelum kita berharap untuk didatangi oleh mereka-mereka yang shalih. Ayo kita sempurnakan memerahnya kuncup-kuncup mawar kita terlebih dahulu sebelum berharap dipetik oleh pejantan nan akan menyerbukkan benang sarinya kepada kita.
Dan, tunggu tulisan kami selanjutnya ~Ukhty, Ini Nasihatku Untuk Cinta Palsumu Dan Terserah Apa Responmu~
***
Untuk beberapa ‘akhiy’ dan ‘ukhtiy’ serta beberapa ‘abu’ dan ‘ummu’ yang sempat keget membaca tulisan kami sebelumnya (~Akhiy, Ini Aku Dan Segeralah Engkau Pinang Aku~) maka semoga tulisan ini bisa menjadi penyeimbang kekagetanmu.
Sungguh, kami hanya ingin menuliskan beberapa tulisan ringan berkaitan dengan kaum kami yang selama ini hanya kami pendam seorang diri.
Mungkin bagi para ‘akhiy’ dan ‘ukhty’, serta bagi para ‘abu’ dan ‘ummu’ yang bisa selamat dari fitnah yang satu ini karena begitu kuat dan kokohnya benteng pertahananmu tentulah hal ini hanya akan menjadi suara yang sayup-sayup saja atau hampir tidak pernah terdengar sama sekali olehmu.
Akan tetapi bagi kami nan masih berhati lepek ini, bagi kami yang pernah merasakan betapa berpenyakitnya hati ketika berada pada kondisi ini, ditambah lagi bagi kami yang menapaki manhaj salaf yang mulia ini dengan cara merangkak, maka suara yang kami dengar adalah suara yang tengah meraung-raung dalam diam dan dalam gelapnya malam.
Pula, suara yang kami dengar adalah suara kaum kami yang sebenarnya sebagai seorang perempuan, berlepas dari konteks telah mengajikah atau belum mengajikah kami, telah berjilbab lebarkah atau masih berkerudung kecilkah kami karena sesekali godaan dan tergoda itu tidaklah langsung pontang panting meninggalkan kami hanya karena telah mengajinya dan telah berjilbab lebarnya kami, justru dengan telah mengaji dan berjilbab lebar itu kami harus lebih bisa lagi menjaga diri dan hati kami sebab telah tegak hujjahnya atas kami, telah ada kabar gembira yang akan menyenangkan hati kami jika kami berhasil mempecundangi maksiat itu, dan telah ada ancaman yang menciutkan nyali kami ketika kami nekad lagi lancang untuk melanggari hukum-hukum yang telah ditetapkan olehNya itu..
Jikapun nanti setelah tulisan ‘penyeimbang’ ini, tulisan kami sebelumnya tersebut tetap dinilai vulgar apalagi GENIT dan sebagainya maka insya Allah kami bersedia menghapusnya dari catatan-catatan kami yang ada dalam grup ini.
Hanya kepada Allahlah kami memohon agar Ia selalu jagakan niat kami dalam menulis, dan hanya kepadaNyalah kami memohon perlindungan dari jeleknya lisan dan tulisan kami, serta dari jeleknya amal perbuatan kami.
0 comments:
Post a Comment