Profesor Kim, adalah salah seorang ahli manajemen strategi. Blue Ocean Strategy merupakan buku pertamanya yang langsung laris manis diserap pasar di pelbagai penjuru dunia. Dipersiapkan tidak secara khusus, melainkan lewat kumpulan tulisan yang dibuatnya bersama Renee Mauborgne selama 15 tahun, Blue Ocean Strategy menggambarkan pergeseran paradigma dalam aksi strategis.
Untuk mengilustrasikan pandangannya, Kim dan Mauborgne membagi dunia strategi bisnis dalam dua samudra: red ocean dan blue ocean. Dalam red ocean, perusahaan fokus pada pertarungan di lanskap kompetisi yang sudah ada. Perusahaan saling bertempur hingga berdarah-darah. "It"s bloody. Red", kata Kim. Cara yang cerdas untuk menghadapi situasi ini, ia menjelaskan, adalah melompat ke blue ocean. Samudra biru adalah area baru yang diciptakan dengan kreativitas dan imajinasi. Di blue ocean inilah perusahaan menciptakan aturan main sendiri, menciptakan pasar sendiri dan membuat kompetisi berikut kompetitor yang baku hantam menjadi tidak lagi relevan.
Kim adalah guru besar Strategi dan Manajemen Internasional di INSEAD, Prancis. Sebelum ke INSEAD, ia menjadi guru besar di Michigan Business School. Di sinilah Mauborgne menjadi muridnya. "Jadi, kalau ditotal, saya dengan Renee sudah 20 tahun bekerja sama. She was my student. Tapi sekarang mitra," kata Kim pada SWA dalam lift menuju tempat wawancara di Gloria Jeans Cafe, Hotel Ritz Carlton Lantai 26.
Kim dan Mauborgne mendirikan Value Innovation Network, komunitas global yang fokus pada praktek atas konsep-konsep inovasi. Mereka juga rajin melahirkan pemikiran- pemikiranya lewat artikel-artikel yang dikirim ke sejumlah harian dan majalah terkemuka. Tulisan mereka berdua, "Value Innovation" di Harvard Business Review (1997), bahkan menjadi salah satu artikel paling laris. Lebih dari setengah juta kopi terjual (cetak ulang), dan setelah Blue Ocean Strategy terbit, sejumlah pihak mengelu-elukannya. Sunday Times, misalnya, menyebut Kim dan Mauborgne sebagai "two of Europe"s brightest business thinkers". Sementara The Observer menjuluki mereka dengan "Next big gurus to hit business world".
Kim, juga adalah board member Value Innovation Action Tank, lembaga nirlaba yang anggotanya terdiri dari 15 kementerian dan lembaga di Singapura, dan sebagai founding partner. Kim bahkan disebut-sebut sebagai salah seorang konsultan PM Singapura B.G. Lee. Dan apa kata para pakar strategi bisnis :
Jika Anda telah puas dengan kondisi bisnis Anda yang sekadar hanya bisa bertahan hidup, tidak perlu mempelajari strategi bisnis Kim dan Renee. Namun, jika Anda ingin melakukan perubahan, menciptakan sebuah perusahaan bermasa depan menguntungkan bagi pelanggan, karyawan, pemegang saham, dan masyarakat, Pelajari ini!, berikut sekelumit tentang buku Blue Ocean Strategy;
Sejak dulu, perusahaan-perusahaan terlibat dalam kompetisi-langsung satu sama lain demi mengejar pertumbuhan yang langgeng dan menguntungkan. Mereka bertarung demi keunggulan kompetitif, mereka berebut pangsa pasar, dan berjuang menciptakan diferensiasi. Padahal, dalam industri-industri yang padat penghuni dewasa ini, berkompetisi langsung tak lain hanya menghasilkan "samudra merah" berdarah-darah dari perebutan para rival diatas genangan laba yang kian menyusut.
Kerangka perubahan ini menantang perusahaan-perusahaan besar maupun kecil, pemula maupun papan atas, publik maupun privat, berteknologi tinggi maupun rendah, untuk keluar dari status quo, menciptakan strategi masa depan yang gemilang, dan menerapkan penjauhan diri dari kompetisi dengan biaya rendah, yang menekankan penciptaan ruang pasar yang belum ada pesaingnya, fokus pada penumbuhan permintaan dan gerak menjauh dari kompetisi, serta upaya memaksimalkan kesempatan sekaligus meminimalkan risiko.
Dengan menjungkalkan pemikiran tradisional tentang strategi, Kim dan Renee telah memetakan "sebuah jalur baru dan berani untuk memenangi masa depan." Mereka menawarkan enam prinsip yang dapat digunakan oleh setiap perusahaan untuk merumuskan dan menerapkan strategi samudra biru dengan sukses :
1. Cara merekonstruksi batas-batas pasar,
2. Berfokus pada gambaran besar,
3. Melampaui tuntutan yang ada,
4. Merancang rangkaian strategi dengan benar,
5. Mengatasi rintangan-rintangan organisasional,
6. Mengintegrasikan ekskusi ke dalam strategi.
"Ciptakan ruang pasar tanpa pesaing, dan biarkan kompetisi tak lagi relevan"
Berikut ini adalah petikan wawancara wartawan SWA Teguh S. Pambudi, Tutut Handayani dan Sarah serta fotografer Hendra Syaukani dengan ayah dua anak ini, seorang imigran (Kim pindah dari Korea, tanah kelahirannya, ke Amerika Serikat) yang menjadi anggota Thinkers 50, daftar prestisius "The most influential economic thinkers" di dunia.
Apa yang luput dari perusahaan ketika ingin menerapkan strategi Blue Ocean?
Satu hal yang harus dicamkan, perusahaan sering tidak tahu dan tidak paham posisinya di mana. Apakah di red ocean atau blue ocean? Kebanyakan perusahaan tak tahu di mana mereka berada sekarang. Memang, ada yang meyakini dirinya harus berada di posisi blue ocean sejak awal berdiri. Perusahaan ini merasa harus melakukan pembaruan dan beradaptasi dengan perubahan yang ada, terlebih setelah melihat banyak pesaing melakukan hal yang sama, dan persaingan itu sendiri sudah sampai tahap saling menjatuhkan. Namun, mereka tak tahu di mana mereka berada sekarang.
Akan tetapi, di sisi lain, sebagian besar perusahaan merasa tidak perlu melakukan sesuatu untuk beradaptasi dengan perubahan di sekelilingnya. Perusahaan seperti ini sudah merasa puas dengan segala pencapaian yang ada, terlebih jika sering menjadi nomor satu di industrinya. Mereka berpikir, mengapa kita harus menerapkan strategi Blue Ocean sementara kita bahagia dengan apa yang kita raih!
Dan bukankah lebih banyak yang bersikap me-too atau peniru?
Benar. Banyak sekali perusahaan yang melakukan tindakan me-too (saya juga) atau peniru. Akan tetapi, meski melakukan itu, saya rasa dan yakin mereka tidak menyukai tindakan me-too dalam arti sesungguhnya. Namun sering, situasi dan kondisi pasar yang membuat mereka harus melakukannya. Me-too acap kali dilakukan secara spontan dengan tujuan mempertahankan diri di tengah persaingan. Alasan lain melakukan me-too, ini adalah "mudah dilakukan". Hanya diperlukan pengamatan yang jeli tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh pesaing yang sukses dengan produknya.
Namun, apa pun alasannya, bersikap blue ocean itu harus dilakukan untuk kelanjutan perusahaan di masa depan. Blue ocean is something required to do in the future.
Anda yakin strategi Blue Ocean menjadi cara ampuh buat perusahaan untuk sukses?
Absolutely. Namun, satu hal yang wajib diperhatikan adalah bahwa Blue Ocean merupakan sikap. Sikap untuk melihat kenyataan bahwa jika ingin memenangi persaingan secara elegan, kita harus selalu bersikap kreatif sehingga mampu menciptakan pasar baru yang membawa dan memberi nilai tambah bagi pelanggan. Strategi Blue Ocean adalah cara berpikir (a way of thinking), yang mendorong kita lebih kreatif, menciptakan nilai tambah dan mampu menciptakan hal baru.
Kalau begitu, bisakah strategi ini diterapkan di luar kehidupan perusahaan?
Ya. Saya yakin sekali strategi Blue Ocean bisa diterapkan di mana pun. Anywhere, anything. Karena apa? Karena, ini cara pikir. Bahkan, strategi ini bisa diterapkan pada pengembangan karier individu,." Blue Ocean adalah menciptakan hal baru yang membuat Anda spesial dan berbeda". Itu cara pikir. Aplikasinya dalam bisnis, hal baru yang kita ciptakan itu adalah sesuatu yang bernilai dengan diimbuhi biaya yang efektif.
Kembali ke perusahaan. Kalau begitu, apa cara terbaik yang harus dilakukan perusahaan untuk menerapkan strategi Blue Ocean?
Kita harus mampu mengidentifikasi posisi diri terlebih dulu. Kita harus tahu, di mana kita berdiri sekarang. Perusahaan harus mampu dan paham benar posisi dirinya ada di mana di dalam industri yang ditekuni. Atau, yang saya sebut sebagai canvassing. Dengan demikian, kita akan menyadari bahwa kita tidak sendirian di dalam industri yang kita tekuni. Kita punya banyak pesaing.
Setelah itu, kreativitas dan imajinasilah yang bekerja. Bergerak dari posisi sekarang, "as is", menuju sesuatu yang diinginkan, "to be". Di sini, hanya ada dua poin utama yang harus kita perhatikan. Fokus pertama, kita harus bisa melihat sebuah alternatif dari yang bisa kita tawarkan pada konsumen sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, jangan hanya fokus pada konsumen kita terus. "Pikirkan non pelanggan". Kita harus mencoba mencari tahu bagaimana diri kita dari orang-orang yang selama ini bukan menjadi konsumen atau terlupakan menjadi konsumen kita, padahal mereka adalah pasar yang potensial digali lebih dalam lagi. Non pelanggan adalah sumber market insight yang potensial bagi lahirnya blue ocean, mengingat mereka bisa melihat sesuatu lebih objektif.
Apa tantangannya dalam hal ini?
Membuat sesuatu yang baru tidak menjadi agenda seseorang yang merasa lebih mudah dengan cara meniru. Berada di blue ocean dengan menciptakan sesuatu yang baru membutuhkan metodologi dan perangkat sistematis yang membutuhkan usaha serta kerja yang jauh lebih keras dibandingkan dengan tindakan me-too. Selain itu, tindakan blue ocean juga lebih berisiko tinggi karena belum kelihatan seperti apa peta persaingannya kelak. Sementara bertindak me-too, kita sudah bisa melihat kira-kira seperti apa peta persaingannya , sehingga lebih mudah menyesuaikan sekaligus mengantisipasi persaingan. Jika Anda suka persaingan, Anda akan cenderung melakukan tindakan red ocean alias bersaing secara terbuka dengan melakukan tindakan me-too atau meniru apa saja yang dilakukan kompetitor.
Persoalannya, jika sebuah perusahaan berhasil menemukan blue ocean, atau sesuatu yang baru, biasanya kemudian diikuti kompetitor. Lantas, haruskah perusahaan memproteksi blue ocean-nya itu?
Ya, sepanjang perusahaan itu bisa melakukannya. Namun, menurut saya, kita tidak bisa terus memproteksi blue ocean yang sudah berhasil kita temukan. Alasannya? Kecenderungan sikap meniru sesuatu yang dipandang sukses dan berhasil itu besar sekali dilakukan seseorang atau perusahaan pesaing. Terlebih, jika mereka punya uang banyak, mudah saja bagi mereka menirunya secara utuh atau habis-habisan. Karena itu, tantangannya adalah menciptakan terus blue ocean baru.
Sebenarnya, berapa lama perusahaan bisa mengeksploitasi blue ocean yang mereka ciptakan?
Dari riset saya selama 15 tahun atas 150 perusahaan yang kemudian melahirkan blue ocean, masa eksploitasi itu amat bervariasi. Namun kalau kita rata-rata, perusahaan bisa mengeksploitasi blue ocean selama 10-15 tahun. Di industri yang monopolistis, waktunya bisa saja lebih lama dari itu. Namun, di industri yang teknologinya dinamis, masa eksploitasi itu bisa lebih cepat lagi. Saya tak bisa menyebutkan berapa lama karena amat variatif. Contohnya, apa yang dilakukan Apple lewat iPod bisa ditiru perusahaan lain dalam hitungan waktu yang cepat, tak perlu tahunan.
Nah, Anda katakan perusahaan harus memproteksi blue ocean sepanjang dia bisa melakukannya. Caranya?
Lihat Starbucks. Menurut saya, langkahnya cukup baik dalam hal ini. Begitu mendapati kompetitor lain mengikuti, Starbucks berekspansi ke tempat lain. Jadi, langkah pertama adalah extending geographically. Selanjutnya, Starbucks menyajikan aneka menu yang variatif. Jadi, langkah kedua adalah menciptakan produk yang variatif. Tujuannya, proliferasi produk.
Menurut Anda, siapa yang paling berperan dalam menciptakan dan menerapkan strategi Blue Ocean? CEO, manajer, atau siapa?
Blue Ocean dapat berada di semua level: individual, divisi, manajerial dan eksekutif. Blue Ocean juga dapat diimplementasi di lingkungan korporasi atau nonkorporasi. Karena, lagi-lagi, ini adalah cara pikir.
Dalam konteks perusahaan, siapa pun di suatu perusahaan bisa menjadi penemu blue ocean. Level CEO tentu menciptakan blue ocean pada aspek strategi. Di level manajerial, misalnya di bagian pengembangan produk, manajer produk harus mampu menemukan produk blue ocean. Level karyawan pun bisa menghasilkan ide blue ocean. Akan tetapi, memang akhirnya CEO, sebagai penentu kebijakan dan arah perusahaan, yang paling bisa membuat blue ocean itu dapat diandalkan. Bahkan, CEO adalah yang bisa menentukan: perusahaannya ingin tetap berada di dalam red ocean, bahkan terus-menerus, ataukah ingin berada di blue ocean.
Jika CEO tidak meyakini pemahaman blue ocean, biarpun manajer produk sudah bersikap dan menemukan suatu blue ocean, otomatis tidak akan bisa diterapkan di dalam perusahaan itu. Jadi, menurut saya, strategi Blue Ocean harus menjadi agenda CEO, sekalipun setiap orang di level apa pun dalam perusahaan dapat menemukan blue ocean.
Sebetulnya, apa motivasi Anda menulis buku Blue Ocean Strategy?
Saya adalah profesor di bidang strategi. Selama ini orang berpikir, strategi adalah sesuatu yang sifatnya berkompetisi, bertempur dan berpikir menang-kalah. Saya ingin membuka paradigma baru bahwa strategi tidaklah selalu seperti itu. Bahwa kita tidak mesti selalu menghadapi persaingan dengan sikap head-to-head, saling menjatuhkan.
Saya ingin memotivasi orang, khususnya pelaku bisnis, agar lebih bersikap menang-menang dalam berhubungan dengan rekan bisnis, bahkan dengan pesaing terberat sekalipun. Sebab, suatu saat kita akan membutuhkan pesaing agar bisa membuat bisnis kita lebih maju lagi. Bagaimana kita bisa menilai apa yang kita lakukan itu sudah baik kalau kita tidak punya pembandingnya? Persaingan yang sehat itu akan memotivasi kita selalu lebih baik dan kreatif lagi! Sederhana, tetapi sulit dilakukan karena banyak orang yang lebih suka bersaing dan saling menjatuhkan.
Saya ingin mengajak orang melihat bahwa kalau kita perhatikan, dunia tidaklah terus menyempit dan menciut. Kalau kita amati, dari masa ke masa, industri justru terus melebar, tak menciut. Ini terjadi karena lahirnya blue ocean-blue ocean di luar apa yang orang katakan sebagai kompetisi. Anda tahu apa yang terjadi, katakanlah pada 2010? Siapa yang akan menikmati tahun itu? Apakah mereka yang sekarang bertempur di red ocean? Saya kira tidak. Justru mereka yang sekarang menciptakan blue ocean yang akan memetiknya. Jadi, saya ingin orang bercara pandang seperti itu.
Kenapa dinamai Blue Ocean? Bagaimana ceritanya?
Kalau kami sedang jenuh, saya dan Renee berjalan-jalan di hutan di sekitar Paris. Di sana kami ngobrol-ngobrol. Nah, ketika itu kami ingat bahwa orang Inggris kalau mengeluhkan tentang kompetisi yang ketat, berkata begini, "Ah, it"s bloody competition." Kami pikir bloody adalah darah. Lantas, orang harus keluar dari daerah ini. Pindah. Kami menemukan padanannya dengan ocean. Karena darah berwarna merah, itu red. Darah mencerminkan persaingan yang saling menjatuhkan dan mematikan. Jadi, tempat baru itu adalah blue, yang identik dengan suasana damai dan tenang.
Banyak yang menyebut konsep Anda mirip-mirip yang dikeluarkan Hamel dan Prahalad, Strategic Architecture. Pendapat Anda?
Saya tidak terlalu tahu tentang itu. Banyak yang mengidentikkan konsep saya dengan konsep Diferensiasi. Dan saya bisa jelaskan bahwa Blue Ocean bukan sekadar berbeda, tapi ada unsur inovasi nilai di dalamnya. Dalam Blue Ocean, perbedaan itu bukan sekadar berbeda, tapi bisa mengeliminasi biaya sehingga menjadi lebih murah, dan tetap memberi nilai tambah.
Nama itu, Blue Ocean, begitu seksi. Ini bagian dari strategi pemasaran Anda?
Oh, tidak. Motivasi saya adalah seperti yang saya utarakan sebelumnya, bahwa orang sebaiknya mengubah cara pandang tentang kompetisi. Kalau katakanlah buku ini laris, saya pikir saya beruntung mendapatkan nama itu. Namun, cobalah Anda ke toko buku. Begitu banyak judul yang indah-indah. Menurut saya, orang membeli buku lebih karena substansi. Bukan semata judul yang terlihat seksi. Bahkan, saya tak pernah berpikiran memasarkan buku ini. Saya lebih ingin menawarkan paradigma berpikir yang baru.
Sejak kapan Anda berniat membuat buku ini?
Satu hal yang mesti saya tegaskan, saya tak pernah sengaja berniat menulis buku. Sejak 15 tahun lalu, saya memikirkan strategi dan kompetisi yang berdarah-darah ini. Kemudian saya, bersama Renee, menulis sejumlah artikel. Dari situlah, dan lewat riset, kami memperbaiki temuan, hipotesis, sampai akhirnya kami menyebut strategi Blue Ocean. Bagi kami, strategi Blue Ocean adalah sebuah teori.
Strategi Blue Ocean telah mengilhami sejumlah konsultan untuk menawarkan jasa konsultasi berembel-embel "Siap memberi jasa Blue Ocean Strategy". Apa Anda semakin sering ditanggap perusahaan? Siapa saja yang menjadi klien?
Saya sudah lama memberikan jasa Blue Ocean ini sejak lama, karena inti-inti pemikiran saya telah saya buat lama, sejak artikel di Harvard Business Review. Klien kami cukup banyak. Dan kami bergerak lewat Value Innovation Network. Kalau soal nama Blue Ocean itu, ha-ha-ha, ya, memang itu sangat populer. Cari saja di Internet.
(Kim menolak menyebutkan nama-nama perusahaan yang menjadi kliennya. Namun, seorang mantan eksekutif Samsung Indonesia mengatakan, Samsung adalah salah satu klien Kim. Mungkin karena sama-sama Korea, Kim merasa terpanggil membantu Samsung. Barangkali atas bantuan pemikiran Kim pula, Samsung bisa menjadi begitu inovatif, dan sanggup menggeser Sony.)
Buku ini begitu laris. Lantas, buku apa lagi yang akan Anda buat?
Kami akan fokus dulu pada buku ini. Saya ingin terus mengujinya. Bahkan, saya akan berupaya menyempurnakan bila ada temuan-temuan baru. Jadi, bisa saja ada revisi. Kalau soal menulis buku, saya tak berniat menyengajakan diri membuat buku. Kalaupun menulis, datanya harus kuat. Kalau sekarang 150 perusahaan, esok mungkin harus 300-400 perusahaan sebagai bahan riset.
Sumber : - Majalah SWA
- Bisnis Indonesia
- CEO Buletin
Posting : H. Umar Hapsoro Ishak
Thursday, September 22, 2011
Blue Ocean Strategy
(Strategi Samudra Biru)
Menurut Prof. W. Chan Kim : "Ini adalah A Way of Thinking"
0 comments:
Post a Comment