Share
div id='fb-root'/>

Saturday, September 3, 2011

Beribadah Jangan Hanya Musiman Saja

Share on :


ramadhan_idul_fithri_lebaran_shalatSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bulan Ramadhan, sungguh membawa berbagai berkah. Lihat saja bagaimana di bulan suci tersebut marak sekali berbagai aktivitas ibadah di berbagai masjid. Mulai dari orang-orang rajin ke masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu dan shalat tarawih. Begitu pula kegiatan rutin tadarusan setiap malamnya. Ini semua merupakan tanda keberkahan bulan tersebut. Namun, kadangkala kita saksikan bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan ini hanya musiman. Contohnya saja, shalat lima waktu. Di bulan Ramadhan, boleh jadi rajin bukan kepalang. Setelah bulan Ramadhan, seakan-akan tidak ada bekas yang tersisa atau mungkin sudah semakin diremehkan karena sering bolongnya dalam mengerjakan shalat.
Tulisan ini adalah sebagai penjelas, apa saja amalan yang bisa kita jaga selepas ramadhan. Sebelumnya kami akan menjelaskan tentang pentingnya menjaga amalan.
Beribadah Bukan Musiman
Amal seorang mukmin seharusnya barulah berakhir ketika ajal datang menjemput. Al Hasan Al Bashri rahimahullahmengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[1] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud ”al yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian. Kematian disebut al yaqin karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi.
Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ulama lainnya mengatakan,  “Sembahlah Allah bukan pada waktu tertentu saja”. Jika memang maksudnya adalah demikian tentu orang yang melakukan ibadah sekali saja, maka ia sudah disebut orang yang taat. Namun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah sampai datang ajal”. Ini menunjukkan bahwa ibadah itu diperintahkan selamanya sepanjang hayat.[2]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Dari ayat ini menunjukkan bahwa ibadah seperti shalat dan semacamnya wajib dilakukan selamanya selama akalnya masih ada. Ia melakukannya sesuai dengan kondisi yang ia mampu.”[3]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kita beribadah bukan hanya sesaat, bukan hanya musiman, bukan hanya di bulan Ramadhan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [4]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”
Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[5] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Al Hasan Al Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[6]
Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”[7] Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja.
Amalan Selepas Ramadhan
Pertama, menjaga shalat lima waktu.
Shalat lima waktu sudah kita ketahui bersama merupakan bagian dari rukun Islam. Artinya shalat tersebut adalah suatu yang tidak disangsikan lagi wajibnya. Sehingga ancaman orang yang meninggalkannya pun begitu keras. Lihat saja dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami (muslim) dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.”[8]
‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”[9]
Meninggalkan satu shalat saja bukan dosa yang sepele. Diterangkan oleh para ulama bahwa meninggalkan satu shalat saja itu lebih besar dosanya dari dosa zina. Kita dapat melihat pada perkataan Ibnul Qayyim, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[10] Dari sini, sudah merupakan keharusan seorang muslim tetap menjaga shalat lima waktu di bulan Ramadhan dan setelahnya.
Jika shalat lima waktu ini bisa terus dijaga, jaminannya adalah surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى
Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.[11]
Kedua, menjaga shalat jama’ah.
Bagi pria, tentu saja ia lebih afdhol melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bahkan menurut pendapat terkuat hukum shalat jama’ah itu wajib. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.[12]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[13]
Apalagi shalat jama’ah jauh lebih utama dari shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.”[14]
Sedangkan untuk wanita lebih utama baginya shalat lima waktu di rumah. Bahkan pahala ia shalat di rumah bisa jadi lebih besar daripada ia ke masjid. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ummu Salamah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.”[15]
Ketiga, merutinkan puasa sunnah.
Puasa sunnah tentu saja adalah penyempurna puasa wajib. Jika ada kekurangan pada puasa wajib kita di bulan Ramadhan, kekurangan tersebut bisa ditambal dengan amalan puasa sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.[16] Hadits ini pertanda bahwa amalan sunnah (seperti puasa sunnah) bisa menyempurnakan kekurangan yang ada pada puasa wajib sebagaimana halnya shalat. Oleh karena itu, jika kita merasa ada kekurangan dalam amalan wajib, maka perbanyaklah amalan sunnah.
Di antara amalan puasa yang bisa dilakukan selepas ramadhan adalah puasa enam hari di bulan Syawwal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.”[17]
Selain itu, puasa yang bisa dirutinkan adalah puasa Senin-Kamis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.[18]
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.[19]
Minimal setiap bulannya, ada puasa sebanyak tiga hari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.[20]
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).”[21]
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[22] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.”[23]
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).[24]
Keempat, merutinkan shalat malam.
Jika di bulan Ramadhan, kita sudah terbiasa melakukan shalat tarawih di awal malam. Perlu diketahui bahwa shalat tarawih adalah istilah yang dimaksudkan untuk shalat malam (shalat tahajjud). Namun shalat tarawih di bulan Ramadhan dikerjakan di awal malam, sedangkan shalat tahajjud di luar Ramadhan lebih afdhol dikerjakan di akhir malam. Di luar ramadhan sudah sepantasnya shalat ini pun tetap dilaksanakan. Karena ibadah itu bukan musiman. Ibadah terbaik adalah sepanjang hayat.
Lihatlah bagaimana celaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang rutin mengerjakan shalat malam,  namun belakangan ia tinggalkan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata padaku,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[25]
Penutup
Semoga kita sekalian bisa merutinkan amalan-amalan sederhana di atas. Tentu saja ini bisa kita rutinkan dengan taufik dan hidayah Allah. Kita sangat butuh sekali pertolongan-Nya dengan banyak berdo’a memohon keistiqomahan. Do’a yang bisa kita amalkan sehingga kita dengan mudah diberikan keistiqomahan oleh Allah adalah sebagai berikut,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).[26]
Dan perlu diingat baik-baik, amalan terbaik adalah amalan yang membuahkan kebaikan selanjutnya, artinya amalan tersebut adalah amalan yang kontinu.
Ibnu Rajab rahimahullah menyampaikan nasehat yang amat baik, ”Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. ... Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[27]
Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan dalam beramal hingga kematian menjemput. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-GK, 23 Ramadhan 1431 H (1 September 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 4/423.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/287.
[4] HR. Muslim no. 783.
[5] Fathul Baari lii Ibni Rajab, Asy Syamilah, 1/84.
[6] Al Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428 H, hal. 86.
[7] Lihat Lathoif Al Ma’arif, 390.
[8] HR. An Nasai no. 463, At Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.
[10] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 7.
[11] HR. Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[12] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.
[13] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107
[14] HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650
[15] HR. Ahmad 6/297. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya
[16] HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] HR. Muslim no. 1164
[18] HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya
[19] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih
[20] HR. Bukhari no. 1178
[21] HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[22] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
[23] HR. An Nasai no. 2345. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[24] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[25] HR. Bukhari no. 1152
[26] HR. Tirmidzi no. 2140. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[27] Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428, 393.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More