Apa yang sebaiknya kita ucapkan di hari raya kita, Idul Fithri dan Idul Adha? Adakah lafzah tertentu yang diucapkan kala itu?
Perlu diketahui bahwa telah terdapat berbagai riwayat dari beberapa sahabatradhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa mengucapkan selamat di hari raya di antara mereka dengan ucapan “Taqobbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن .
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.[1]
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.”
وَقَالَ حَرْبٌ : سُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ قَوْلِ النَّاسِ فِي الْعِيدَيْنِ تَقَبَّلَ اللَّهُ وَمِنْكُمْ .قَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، يَرْوِيه أَهْلُ الشَّامِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قِيلَ : وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ ؟ قَالَ : نَعَمْ .قِيلَ : فَلَا تُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ هَذَا يَوْمَ الْعِيدِ .قَالَ : لَا .
Salah seorang ulama, Harb mengatakan, “Imam Ahmad pernah ditanya mengenai apa yang mesti diucapkan di hari raya ‘ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha), apakah dengan ucapan, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak mengapa mengucapkan seperti itu.” Kisah tadi diriwayatkan oleh penduduk Syam dari Abu Umamah.
Ada pula yang mengatakan, “Apakah Watsilah bin Al Asqo’ juga berpendapat demikian?” Imam Ahmad berkata, “Betul demikian.” Ada pula yang mengatakan, “Mengucapkan semacam tadi tidaklah dimakruhkan pada hari raya ‘ied.” Imam Ahmad mengatakan, “Iya betul sekali, tidak dimakruhkan.”
وَذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي تَهْنِئَةِ الْعِيدِ أَحَادِيثَ ، مِنْهَا ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ زِيَادٍ ، قَالَ : كُنْت مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانُوا إذَا رَجَعُوا مِنْ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لَبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك .وَقَالَ أَحْمَدُ : إسْنَادُ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ إسْنَادٌ جَيِّدٌ .
Ibnu ‘Aqil menceritakan beberapa hadits mengenai ucapan selamat di hari raya ‘ied. Di antara hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlainnya. Jika mereka kembali dari ‘ied (yakni shalat ‘ied, pen), satu sama lain di antara mereka mengucapkan, ‘Taqobbalallahu minna wa minka’.” Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad riwayat Abu Umamah ini jayyid.
‘Ali bin Tsabit berkata, “Aku pernah menanyakan pada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu.” Ia berkata, “Ucapan selamat semacam ini tidak dikenal di Madinah.”
Diriwayatkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak mendahului dalam mengucapkan selamat (hari raya) pada seorang pun. Namun jika ada yang mengucapkan selamat padaku, aku pun akan membalasnya.” Demikian berbagai nukilan riwayat sebagaimana kami kutip dari Al Mughni[2].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya”. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”[3]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengucapkan selamat hari raya? Lalu adakah ucapan tertentu kala itu?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ucapan selamat ketika hari raya ‘ied dibolehkan. Tidak ada ucapan tertentu saat itu. Apa yang biasa diucapkan manusia dibolehkan selama di dalamnya tidak mengandung kesalahan (dosa).”[4]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum jabat tangan, saling berpelukan dan saling mengucapkann selamat setelah shalat ‘ied?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Perbuatan itu semua dibolehkan. Karena orang-orang tidaklah menjadikannya sebagai ibadah dan bentuk pendekatan diri pada Allah. Ini hanyalah dilakukan dalam rangka ‘adat (kebiasaan), memuliakan dan penghormatan. Selama itu hanyalah adat (kebiasaan) yang tidak ada dalil yang melarangnya, maka itu asalnya boleh. Sebagaimana para ulama katakan, ‘Hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Sedangkan ibadah itu terlarang dilakukan kecuali jika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya’.”[5]
Dari penjelasan di atas, berarti ucapan selamat hari raya itu bebas, bisa dengan ucapan “Selamat Hari Raya”, “Taqobbalallahu minna wa minkum” dan lainnya. Ucapan “Taqobbalallahu minna wa minkum” pun tidak dikhususkan saat Idul Fithri, ketika Idul Adha dianjurkan ucapan semacam ini sebagaimana kita dapat melihat dalam penjelasan berbagai riwayat di atas.
Satu catatan pula yang mesti diperhatikan, tidak ada pengkhususan di Idul Fithri untuk saling maaf memaafkan. Semacam sering kita dengar tersebar ucapan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” saat Idul Fitrhi. Seolah-olah saat Idul Fithri hanya khusus dengan ucapan semacam itu. Ini sungguh salah kaprah. Idul Fithri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf memaafkan. Waktu untuk saling memohon maaf itu luas. Ketika berbuat salah, langsung meminta maaf, itulah yang tepat. Tidak mesti di saat Idul Fithri. Karena jika dikhususkan seperti ini harus butuh dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits. Buktinya, tidak ada satu dalil yang menunjukkan seperti ini.
Satu ucapan lagi yang keliru saat Idul Fithri, yakni ucapan “Minal ‘Aidin wal Faizin”. Ucapan ini dari segi makna kurang bagus. Arti dari ucapan tersebut adalah “Kita kembali dan meraih kemenangan”. Ini suatu kalimat yang rancu. Kita mau kembali ke mana? Apa pada ketaatan atau maksiat? Jika mengandung dua makna seperti ini hendaknya ditinggalkan. Karena bisa jadi orang memahami yang dimaksud adalah kita kembali pada maksiat. Artinya, ibadah hanya di bulan Ramadhan saja, setelah itu sah-sah saja untuk maksiat, sah-sah saja untuk tinggalkan shalat dan ibadah wajib lainnya. Akibat ucapan keliru, berujung pada amalan yang keliru.
Satu hal lagi yang mesti dipahami, makna “Minal ‘Aidin wal Faizin” adalah sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Dan bukan maknanya adalah “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Setiap kali ada yang ucapkan “Minal ‘Aidin wal Faizin” lantas diikuti dengan kalimat “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Dikira artinya adalah kalimat selanjutnya. Ini sungguh keliru. Ini pemahaman orang yang tidak paham bahasa Arab. Semestinya hal ini diluruskan. Makna kalimat “Minal ‘Aidin wal Faizin” adalah “Kita kembali dan meraih kemenangan”. Namun sebagaimana diterangkan di atas, dari sisi makna kalimat ini keliru. Sehingga sudah sepantasnya kita hindari. Ucapan yang lebih baik adalah sebagaimana telah dikemukakan di awal tulisan dan dicontohkan langsung oleh para sahabat, yakni “Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian)”.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Dan semoga bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada.
Diselesaikan menjelang shalat tarawih, 30 Ramadhan 1431 H (8 September 2010) di Panggang-Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 2/446. Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354) mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405, 2/250.
[3] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 24/253.
[4] Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, Asy Syamilah, 16/129.
[5] Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 16/128.
0 comments:
Post a Comment