Share
div id='fb-root'/>

Sunday, July 24, 2011

Inilah Syarat Kalimat Tauhid

Share on :


Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu
Saudariku…
Menjadi insan yang bertauhid adalah dambaan bagi setiap hamba yang beriman. Karena senantiasa berada di atas kalimat tauhid adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Karena tauhid merupakan kunci penyelamat kehidupan seorang hamba di dunia menuju alam akhirat. Di dunia dia bahagia karena terlepas dari penghambaan diri kepada selain Allah, dan di akhirat dia bahagia karena berhak untuk mendapatkan surga. Sebagaimana hadits dari ‘Ubadah Ibnu Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwasannya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasannya ‘Isa adalah hamba dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan (dia juga bersaksi) bahwa surga itu benar adanya dan neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga berapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan menjelaskan bahwa “dimasukkan surga berapapun amal yang telah diperbuatnya” memiliki dua makna:
1Allah memasukkannya ke dalam surga, meski dia seorang yang lalai dan memiliki dosa (selain syirik), karena sesungguhnya seorang yang bertauhid harus dimasukkan ke dalam surga.
2Allah memasukkannya ke dalam surga dan kedudukannya tergantung amal yang telah diperbuatnya.
Namun sudah tahukah kita bahwa kalimat tauhid (لا اله الا الله ) yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian kita ternyata memiliki syarat yang harus kita penuhi. Apa sajakah syarat itu? Marilah sejenak kita lanjutkan risalah ini.
Apakah maksud kata: Syarat
Syarat (اَلشَرْطُ ) secara bahasa artinya tanda atau alamat.
Secara istilah, makna syarat adalah sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum, namun adanya tidak mengharuskan pasti adanya hukum.
Contoh:
Hadits dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا صلاة لمن لا وضوء له
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak punya wudlu.”
Dalil di atas menegaskan bahwa seseorang tidak berwudlu (bersuci), maka shalatnya tidak sah. Karena orang tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya shalat yaitu berwudlu (bersuci). Hal ini menjelaskan pengertian pertama dari syarat, “sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum”. Adapun penjelasan pengertian kedua, “adanya sesuatu tidak mengharuskan pasti adanya hukum”, yaitu jika seseorang berwudlu, maka wudlunya tersebut tidaklah memastikan/mengharuskan dirinya hendak mengerjakan shalat. Boleh jadi dia berwudlu karena ada hajat lainnya, misalnya amalan sunnah yang dilakukan sebelum tidur, hendak mandi wajib, dan lain sebagainya.
Darimana asal usul syarat لا اله الا الله?
Sebelum kita membahas syarat-syarat apa saja yang harus kita dipenuhi, mungkin kita bertanya-tanya, darimana asal-usul adanya syarat kalimat لا اله الا الله? Adakah dalil yang secara tegas menjelaskan hal tersebut?
Saudariku,… memang tidak ada dalil ‘saklek’ yang menjelaskan tentang syarat لا اله الا الله, namun para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang adanya syarat-syarat tersebut. Sebagaimana mereka juga mengumpulkan syarat-syarat dan rukun-rukun dari ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, dll. Dengan demikian, hal ini lebih memudahkan kaum muslimin dalam memahami dan mengamalkannya.
Mengapa kita harus melaksanakan syarat-syarat itu?
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, kalimat لا اله الا الله yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian memiliki syarat yang harus dipenuhi. Jika salah satu di antara syarat-syarat tersebut tidak kita penuhi, maka akan menjadikan kalimat tersebut tidak sah atau tidak diterima.
Saudariku…
Banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui syarat-syarat ini. Hingga akhirnya merekapun dengan begitu ringannya mengucapkan kalimat لا اله الا الله , tanpa mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Mereka mengucapkannya, namun mereka tidak meyakini di dalam hati serta tidak mengamalkan syarat-syarat tersebut karena ketidaktahuan mereka. Sehingga hal ini adalah sesuatu yang sia-sia.
Adapun orang-orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka begitu memahami makna dan hakikat kalimat tersebut dalam bahasa Arab, sehingga mereka tidaklah mau menerima kalimat ini meski hanya mengucapkan saja. Karena mengucapkan kalimat tersebut memiliki resiko dan konsekwensi yang sangat besar yakni mereka harus meninggalkan segala sesembahan lainnya, yang mereka sembah selain Allah.
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5).
Orang-orang kafir tersebut mengetahui makna kalimat tauhid secara sempurna namun mereka tidak mau memenuhi seruannya, sedangkan kaum muslimin zaman sekarang berbondong-bondong mengucapkan kalimat tauhid, namun banyak dari mereka masih terjerumus dalam kemusyrikan karena ketidaktahuan mereka dengan makna kalimat tersebut. Kita berlindung pada Allah dari hal ini.
Inilah syarat-syarat kalimat لا اله الا الله
Saudariku..
Inilah syarat kalimat tauhid yang harus kita pahami. Perhatikanlah, agar kita diberikan kemudahan oleh Allah untuk melaksanakan 7 syarat berikut ini:
Pertama, Ilmu, yaitu memahami makna kalimat tersebut, baik dari sisi penafian (peniadaan) maupun dari sisi penetapan.
Dengan mengilmui, kita telah berusaha menghilangkan kebodohan kita terhadap makna kalimat ini. Adapun makna dari kalimat لا اله الا اللهadalah لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ اللهُ :
Tidak ada sesembahan yang haq (diibadahi dengan benar) selain Allah.
Dua hal yang harus kita ketahui dari kalimat ini adalah:
  1. نَفْيُُ (Penafian). Sisi penafian ditunjukkan oleh kalimat لَا اِلَهَ: Artinya, kalimat ini meniadakan semua bentuk sesembahan.
  2. اِثْبَاتُ ُ (Penetapan). Sisi penetapan ditunjukkan pada kalimat اِلَّا اللهُ : Artinya kalimat ini menetapkan bahwa satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi hanyalah Allah.
Perlu diingat, bahwa kedua hal ini harus berjalan bersamaan. Karena tidaklah dinamakan bertauhid ketika hanya menafikan adanya tuhan, atau sebaliknya hanya menetapkan bahwa Allah adalah sesembahan, tanpa diiringi pengingkaran terhadap sesembahan selain Allah.
Dalil wajibnya memahami makna kalimat ini adalah firman Allah ta’ala :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) yang haq selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Dari Utsman radhiyallahu ‘anhu, Dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barangsiapa yang meninggal dunia sedang dia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)
Kedua, yakin, yaitu mengetahui secara sempurna kalimat tersebut. Lawan yakin adalah keragu-raguan (syak).
Yakin merupakan kekuatan dan kesempurnaan ilmu. Seorang yang mengatakan kalimat haruslah benar-benar meyakini pengertian dan kandungan kalimat tersebut tanpa adanya keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Karena iman itu butuh keyakinan, tidak cukup dengan prasangka.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (15)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيهما إلا دخل الجنة
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan (meyakini) kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, melainkan dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain dikatakan:
لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيحجب عن الجنة
“Tidak ada seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan meyakini kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, lantas dia terhalang untuk masuk surga.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang cukup panjang, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقناً بها من قلبه فبشره بالجنة
“Siapapun yang engkau temui di balik tembok ini bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan hatinya yakin dengan kalimat tersebut, maka sampaikanlah kabar gembira kepadanya (bahwa dia akan memperoleh) surga.”

Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu (Bagian 2)

Ketiga, Ikhlas. Lawannya adalah syirik
Allah berfirman:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِص
Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)
Allah juga berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
أسعد الناس بشفاعتي من قال لاإله إلا الله خالصاً من قلبه -أو من نفسه –
Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang-orang yang mengatakan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan ikhlas dari dalam lubuk hatinya (atau dirinya).” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله عز وجل
Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang mengucapkan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ikhlas adalah mencintai Allah, mengesakanNya dan membersihkan seluruh ibadah kepada-Nya dari semua unsur kemusyrikan. Karena Allah adalah satu-satunya sesembahan yang paling berhak untuk diibadahi dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Keempat, shidq (membenarkan). Lawannya adalah sikap mendustakan .
Seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka orang tersebut harus membenarkannya di dalam hatinya, di mana hatinya selalu sejalan dengan lisannya. Tidaklah cukup bagi kita mengucapkan kalimat لا اله الا الله saja, namun ucapan ini juga harus dibarengi dengan adanya pembenaran di dalam hati. Adapun orang yang hanya menampakkan lahirnya saja dengan mengucapkan kalimat tersebut, akan tetapi dia tidak membenarkan dalam hatinya, maka dia adalah seorang munafik.
Allah ta’ala berfirman:
الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka membiarkan (saja) mengatakan,’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji. Dan seseungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 1-3).
Allah juga berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)
Di antara manusia ada orang-orang yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, namun mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka telah berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).
Dalam hadis, dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، صادقاً من قلبه ، إلا حرمه الله على النار
Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan sebenar-benarnya di dalam hati, melainkan Allah mengharamkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima, mahabbah, yaitu mencintai kalimat ini serta makna yang terkandung di dalamnya dan merasa bahagia dengannya.
Rasa cinta terhadap kalimat ini telah meniadakan rasa benci. Bahkan cinta merupakan salah satu unsur pokok dalam ibadah di samping rasa takut dan harap.
Cinta sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu cinta yang wajib dan cinta yang sunnah (dianjurkan).
Cinta yang wajib adalah keadaan di mana seseorang tidaklah dinilai sebagai seorang muslim kecuali dengan mewujudkannya. Cinta ini adalah cinta kepada Allah. Cinta ini mewajibkan seseorang untuk melaksanakan apa-apa yang diwajibkan kepadanya, dan meninggalkan semua yang diharamkan baginya.
Ada ulama –rahimahullah- yang menulis nasehat :
تَعْصِي الْإِلَهَ وَ اَنْتَ تَزْعُمٌ حٌبَّهُ
هَذَا لَعَمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقَاَ لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ
Engkau durhaka kepada Allah, sementara engkau mengaku mencintai-Nya
Demi Allah, sesungguhnya dalam analogi itu terdapat sesuatu yang buruk
Seandainya cintamu itu benar, pasti engkau akan menaati-Nya
Karena sesungguhnya orang yang mencintai akan selalu menaati Dzat yang dicintainya.
Adapun cinta yang sunnah adalah cinta yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang disunnahkan.
Mengenai mahabbah ini, Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah, mereka mencintai sesembahan-sesembahan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165).
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah: 54)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار
Ada tiga perkara yang jika itu semua terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, dia mencintai seseorang yang dia mencintainya hanya karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keenam, tunduk.
Maksudnya adalah tunduk terhadap konsekwensi kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . Bentuknya adalah melaksanakan amalan yang wajib, ikhlas karena Allah dan untuk tujuan mencari ridha Allah. Lawan sikap tunduk adalah al-i’radh (cuek). Artinya, sama sekali tidak mau melaksanakan konsekwensi kalimat tauhid tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَه
Dan kembalilah kalian kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya. (QS. Az-Zumar: 54)
Allah juga berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’: 125)
Allah juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)
Allah juga berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65)
Ketujuh, al-Qabul (menerima)
Artinya, menerima dengan sepenuh hati setiap konsekwensi kalimat tauhid. Lawan dari sikap menerima adalah menolak.
Seorang muslim yang mengaku dirinya beriman sudah seharusnya menerima kalimat ini dengan hati dan lisannya. Maka barangsiapa yang tidak mau menerima kalimat ini, menolaknya, bahkan menyombongkan diri darinya, maka dia telah kafir. Karena sikap menolak kalimat tauhid ini, serupa dengan yang terjadi di kalangan kaum kafir Quraisy di mana mereka melawan dan bersikap sombong serta tidak mau menerima kalimat tauhid tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
Dan demikianlah, kami tidaklah mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ’Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata,’Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapatkan dari (agama) yang dianut bapak-bapak kalian. Mereka menjawab,’Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka kami binasakan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az-Zukhruf: 23-25).
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka ‘ (tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah)’, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ’Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan karena seorang penyair gila?’ ” (QS. Ash-Shaffat: 35-36).
Dalam hadis, dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
مثل ما بعثني الله به من الهدى والعلم كمثل الغيث الكثير أصاب أرضاً ، فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب الكثير ، وكانت منها أجادب أمسكت الماء فنفع الله به الناس فشربوا وسقوا وزرعوا ، أصاب منها طائفة أخرى إنما هي قيعان لا تمسك الماء ولا تنبت كلأ ، فذلك مثل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم وعلّم ، ومثل من لم يرفع بذلك راساً ولم يقبل هدى الله الذي أرسلت به
Permisalan petunjuk yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan lebat yang jatuh ke bumi. Sebagian bumi ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air dan menumbuhkan rerumputan yang banyak. Sebagian lagi ada tanah yang keras namun bisa menahan air, sehingga Allah bisa menjadikannya bermanfaat bagi manusia untuk minum, memberi minum (ternak) dan bercocok tanam. Sebagian air hujan tersebut juga mengenai gersang, yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Demikianlah permisalan bagi orang yang paham tentang agama Islam. Allah memberikan kemanfaatan padanya dengan ajaran yang ku-bawa dari-Nya. Dia belajar dan mengajar. Dan permisalan bagi orang yang tidak peduli dengan ilmu dan petunjuk. Dia tidak mau menerima petunjuk Allah yang ku-bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Aufa Nunung Wulandari
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, Media Hidayah.
  • Jami’ Ahkamis Shalat, Maktabah Syamilah.
  • Mulakhos Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Darul ‘Ashimah.
  • Penjelasan Hal-Hal yang Wajib Diketahui oleh Setiap Muslim dan Muslimah, Ibrahim bin As-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i.
  • Tanbihat Mukhtashoroh, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad Al-Khuraisyi, Darus Shomi’i.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More