Share
div id='fb-root'/>

Wednesday, June 15, 2011

Nasehat Untuk Pendidik

Share on :


الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وبعد:
Inilah sebahagian wasiat yang saya wasiatkan pada diri saya dan kepada saudara saya dari kalangan para pendidik. Dan saya meminta kepada Allah Ta’ala semoga kita bisa mengambil manfaat dengannya.
Pertama : Mengikhlashkan niat karena Allah Ta`ala dalam mendidik anak-anak didik dan saudara-saudara dari kalangan penuntut ilmu dan mendidik mereka sesuai dengan apa yang diridhoi oleh Rabb Jalla wa `Alaa. Kemudian sabar dan mengharapkan ganjaran atas amalan tersebut dari Allah Subhaana wa Ta`ala dan  semata-mata mengharapkan pahala dari-Nya.
Berkata sebagian ahli ilmu : “al-Ikhlash ialah jangan kamu mencari atas amalan engkau saksi selain Allah Ta`ala, tidak juga pemberi ganjaran kepada selainNya. Dan inilah sebenarnya hakikat dari ad Din serta miftah (kunci) dakwah para Rasul `Alaihimus Sholaatu was Sallaam”.
Allah Jalla Jalaaluhu berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka ber`ibadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Din yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah Din yang lurus. (QS. Al Baiyyinah : 5)
Dan Allah Ta`ala berfirman :
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ  # قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ # لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku kepada jalan yang lurus, (yaitu) Din yang benar, Din  Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik”. Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al An`am : 161-163)
Keikhlashan merupakan syarat untuk diterimanya amalan. Sesungguhnya satu amalan tidak akan diterima oleh Allah Ta`ala kecuali dengan dua syarat :
1. Hendaklah amalan tersebut zhohirnya cocok dengan apa yang disyari`atkan Allah Ta`ala dalam kitab-Nya atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam.
Al Bukhaari dan Muslim telah meriwayatkan dalam shohih mereka berdua, hadist dari jalan `Aaisyah radhiallahu `anha, bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barang siapa yang mengada-ada (mengadakan satu bid`ah) dalam perintah Kami ini yang bukan bagian darinya maka dia tertolak”.[1]
2. Hendaklah amalan tersebut ikhlash semata-mata liwajhillahi Ta`ala.
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan satu hadist dari jalan `Umar bin al Khotthab radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya seluruh amalan tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap manusia mendapatkan apa yang dia niatkan”.[2]
Berkata al Fudhail bin `Iyaadh : “Amalan yang paling baik ialah amalan yang paling ikhlash dan paling benar”, kemudian beliau melanjutkan perkataannya : “Sesungguhnya satu amalan apabila ikhlash dilakukan tapi tidak benar (tidak cocok dengan tuntunan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam) tidak akan diterima oleh Allah Jalla Jalaaluhu, dan apabila benar tetapi tidak ikhlash tidak juga diterima, sampai amalan itu betul-betul ikhlash dan benar, al-khoolish (ikhlas) semata-mata karena Allah, dan ash-showab (benar) betul-betul cocok di atas as Sunnah”.[3]
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan tentang ikhlash, yakni dimana seorang hamba mengamalkan satu amalan yang sholih, kemudian dia tidak peduli dengan pantauan manusia atasnya, bahkan kalau amalan sholih tersebut dinisbahkan kepada selain dirinya akan membuat dia gembira. Demikian itu dikarenakan ilmunya dan bahwasanya dia dipelihara disisi Allah Ta`ala.
Dan dikatakan kepada Sahl at Tustariy : “Apa sesuatu yang sangat berat atas jiwa? Kata beliau : “al Ikhlash, karena tidak ada bagi jiwa tersebut bagian – artinya dari bentuk keduniaan – .”
Kedua : Bertakwa kepada Allah Ta`ala, dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, baik ketika nampak maupun tidak nampak. Sesungguhnya takwa kepada Allah `Azza wa Jalla merupakan wasiat untuk orang-orang terdahulu dan sekarang.
Allah Ta`ala berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (QS. An Nisaa` : 131)
Adalah Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam di kebanyakan wasiatnya untuk para shahabat adalah ketakwaan kepada Allah Ta`ala. Dalam hadist al `Irbaadh ibnu Saariyah bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة
“Saya wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan mentaati para pemimpin”.[4]
Berkata Imam Tholq bin Habiib rahimahullahu Ta`ala : “Yang dikatakan at takwa ialah kamu beramal untuk mentaati Allah dibawah bimbingan cahaya dari Allah, dan kamu mengharapkan ganjaran dari Allah, lalu kamu meninggalkan maksiat kepada Allah dan takut akan adzabNya Jalla Sya`nuhu”.[5]
Berhati-hatilah dari seluruh maksiat besar atau kecil, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menjanjikan atas siapapun yang menjauhi dosa-dosa besar akan menghapus dosa-dosa kecilnya, dan akan memasukkannya ke dalam jannah-Nya. Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An Nisaa` : 31)
Artinya, banyaknya kebajikan dan keberkahan adalah dengan berhati-hati dari dosa-dosa kecil. Al-Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shohihnya hadist dari Anas bin Maalik radhiallahu `anhu , beliau berkata :
إنكم لتعملون أعمالا هي أدق في أعينكم من الشعر، إن كنا لنعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من الموبقات
“Sesungguhnya kalian telah mengamalkan amalan-amalan yang dimata kalian lebih halus dari rambut, sesungguhnya kami mengkategorikan di zaman Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam sebagai al-muubiqaat (yang membinasakan)”.[6]
Berkata Abu `Abdillah, yang dimaksudkan ini ialah al Muhlikaat (yang membinasakan).
Berkata al Imam al Auza`iy : “Jangan kamu melihat kepada kecilnya maksiat, akan tetapi lihatlah kepada besarnya siapa yang kamu durhakai”.
Ketiga : Qudwah (teladan) yang baik.
Sudah menjadi hal yang dimaklumi bahwa seorang penuntut ilmu akan terpengaruh dengan gurunya, dia akan senang untuk taqlid pada gurunya dan berqudwah dengannya. Maka diwajibkan atas para pendidik dan pengajar jangan sampai perkataannya menyelisihi perbuatannya, Allah Ta`ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ # كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As shof : 2-3)
Dan Allah Jalla Sya`nuhu berfirman tentang Nabi-Nya Syu`aib `Alaihis Sholaatu was Sallaam :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan, dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (QS. Huud : 88)
Berkata penya`ir :
لا تنه عن خلق وتأتي مثله     عار عليك إذا فعلت عظيم
Jangan kamu melarang dari akhlaq yang jelek lalu kamu mendatangi semisalnya,
`aib yang besar atas engkau bila kamu mengerjakannya.
Keempat : Akhlaq yang baik.
Allah Ta`ala berfirman :
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al Israa` : 53)
Allah Ta`ala firman :
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fusshilat : 34)
Al Imam Tirmidziy telah meriwayatkan dalam sunannya, hadist dari jalan Abu Darda` bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
ما شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من خلق حسن وإن الله ليبغض الفاحش البذيء
“Tidak ada sedikitpun yang lebih berat ditimbangan seorang mukmin pada hari kiamat nanti dari akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata keji dan jelek”.[7]
Akhlaq yang baik mencakup sisi-sisi yang sangat banyak dari kehidupan seorang muslim dalam ucapan dan amalannya, dalam ibadah kepada Rabbnya dan mu’amalahnya kepada sesama hamba Allah. Abdullah bin al Mubaarak berkata : “Akhlaq yang baik ialah wajah yang berseri, menyebarkan kebajikan, menahan gangguan, dan hendaklah kamu memberikan `udzur kepada manusia”.
Saya wasiatkan kepada pengajar hendaklah berakhlaq yang baik dengan sahabat-sahabatnya, dengan para muridnya, bahkan dengan wali-wali muridnya, dan hendaklah berlemah lembut dalam bermu`amalah dengan mereka.
Al Imam Muslim telah meriwayatkan satu hadist dalam shohihnya dari jalan `Aisyah radhiallahu `anha bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Tidak terdapat kelembutan pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak dicabut kelembutan dari sesuatu kecuali merusaknya”.[8]
Dan sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling baik akhlaqnya. Maka barangsiapa yang ingin sampai kepada akhlaq yang mulia, hendaklah dia ber-uswah dengan Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam. Diriwayatkan dalam sunan at -Tirmidziy dari jalan Anas bin Malik radhiallahu `anhu, beliau bersabda :
خدمت النبي عشر سنين، فما قال لي أف قط، وما قال لشيء صنعته: لم صنعته؟ولا لشيء تركته: لم تركته؟
“Saya menjadi pembantu Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun, sama sekali beliau tidak pernah berkata uffin (menggerutu) pada saya, dan tidak pernah berkata terhadap sesuatu yang saya perbuat : “kenapa kamu kerjakan itu?”, dan juga terhadap sesuatu yang saya tinggalkan: “kenapa kamu tinggalkan itu?”.[9]
Kelima : Hendaklah seorang guru bersemangat dalam mendidik anak didiknya dengan tarbiyatan shalihah.
Dia ajarkan pada mereka tentang perkara-perkara Islam dan Iman, lalu dia tanamkan rasa kecintaan pada Allah dan pengagungan-Nya di hati-hati mereka. Demikian juga kecintaan kepada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, kemudian dia jelaskan pada mereka wajibnya mengikuti beliau Shollallahu `alaihi wa Sallam, beramal dengan Sunnahnya `alaihis Sholaatu was Salaam, ber-qudwah dengan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, lalu diajarkan pada mereka adab-adab yang baik, dan akhlaq yang mulia, seperti adab-adab masjid, majlis, menghormati guru dan orang yang lebih tua, juga adab dengan teman-teman dan sahabat, dan biasakan kepada mereka bertutur kata yang baik, dan peringatkan mereka dari perkataan yang jelek, dan selain dari yang demikian dari adab-adab yang indah serta sifat-sifat yang mulia.
لحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan oleh al Ustadz Abul Mundzir/Dzul Akmal Lc, dari kitab: “ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil Mulqoot Duruus Yaumiyyah”, halaman 645-649, oleh ad Doktor Amin bin `Abdillah as Syaqaawiy.
Rimbo Panjang, komplek Ponpes Ta`zhiimus Sunnah as Salafiyah, Sabtu malam Ahad bertepatan dengan 25 Sya`ban 1430 H/15 Agustus 2009 M.
[1] Al Bukhaariy (2697),  Muslim (1718).
[2] Al Bukhaariy (1), Muslim (1718).
[3] “Madaarijus Saalikin”, (2/93), oleh al Imam Ibnu Qaiyyim al Jauziyyah.
[4] “Sunan Abi Daawud” (4607).
[5] “Siyaru A`laamin Nubalaa`” (4/601), dan berkata al Imam Ibnu Qaiyim al Jauziyyah di “ar Risaalah at Tabuukiyah”, halaman 26, “Ini merupakan difinisi yang paling terbaik dikatakan tentang at Taqwa”. Dan al Imam adz Dzahabiy juga berkata di dalam “as Siyaru”, (4/601) :
[6] Al Bukhaariy (6492).
[7] At Tirmidziy (2002), dan berkata  dia : hadist hasan shohih.
[8] Muslim (2593).
[9] At Tirmidziy (2015) asal hadist ini dishohih al Bukhaariy dan Muslim.
Sumber: http://www.tazhimussunnah.com/buletin/70-nasehat-untuk-para-pendidik.html

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More