Ada yang mengatakan bahwa amalan berikut termasuk amalan riya’ namun sebenarnya tidak demikian.
Pertama: Pujian manusia terhadap seseorang setelah orang tersebut melakukan amalan. Ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ ».
“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.”[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan mencintainya. Akhirnya makhluk pun turut menyukai orang tersebut.”[2]
Kedua: Semangat melakukan ibadah di hadapan orang-orang yang rajin beribadah. Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Terkadang seseorang menginap di rumah orang yang suka bertahajud, lalu ia pun ikut melaksanakan tahajud pada kebanyakan malam. Padahal kebiasannya hanya melakukan shalat malam selama satu jam saja. Pada saat itu, ia menyesuaikan dirinya dengan mereka. Ia pun turut berpuasa ketika mereka berpuasa. Jika bukan karena orang yang ahli ibadah tadi, tentu ia tidak akan bersemangat seperti ini.
Sebagian orang menyangka bahwa amalan semacam ini adalah riya’. Namun sangkaan ini adalah keliru karena semacam ini bukanlah riya’. Akan tetapi di dalamnya mesti ada perincian. Setiap mukmin pada dasarnya memang senang beribadah kepada Allah. Akan tetapi seringkali ada kendala dan sering lalai. Mungkin saja karena menyaksikan orang lain, kelalaian tersebut lenyap. Kemudian beliau berkata, “Dia perlu menguji dirinya dengan melaksanakan ibadah di suatu tempat, di mana ia dapat melihat orang lain namun orang lain tidak menyaksikannya. Jika ia merasa tenang ketika itu, maka berarti ia telah beribadah ikhlas karena Allah. Namun jika dirinya tidak tenang, maka berarti apa yang ia lakukan di hadapan ahli ibadah lainnya adalah amalan riya’. Amalan lainnya, silakan dianalogikan semisal dengan ini.”
Sebenarnya semangat ketika melakukan ibadah masuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ
“Karena itu berjama’ahlah kalian.” Dan rasa malas sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Karena sesungguhnya serigala hanya akan menerkam domba yang sendirian.”[3]
Ketiga: Berpenampilan yang baik. Hal ini tidak termasuk riya’ karena termasuk keindahan yang disukai oleh Allah. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar semut kecil.” Lantas ada seseorang yang berkata,
إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً.
“Sesungguhnya seseorang sangat suka berpenampilan indah ketika berpakaian atau ketika menggunakan alas kaki.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ ».
“Sesungguhnya Allah itu Jamal (indah) dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”[4]
Keempat: Tidak membicarakan dosa dan selalu menyembunyikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[5]
Kelima: Mendapatkan ketenaran, namun tanpa dicari-cari. Artinya sejak ia beramal, tidak pernah ia mencari ketenaran. Namun setelah ia beramal, baru ia terkenal dan tenar. Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Selanjutnya kita akan membahas bila amalan yang tercampur riya' dan tujuan dunia. Semoga Allah mudahkan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1] HR. Muslim no. 2642, dari Abu Dzar.
[2] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/2034, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Abu Daud no. 547, An Nasa-i no. 847, Ahmad 6/446, dari Abu Darda’. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan.
[4] HR.Muslim no. 91, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
[5] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
0 comments:
Post a Comment