Share
div id='fb-root'/>

Kaya tidak diukur dengan banyaknya harta

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bertakwa itu dimana saja

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”(HR Tirmidzi 1987)

Mudahkan Kesulitan Saudara Kita

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”(HR Muslim 2699)

Segeralah Bertaubat

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Bersemangatlah untuk Beramal Shalih

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)

Sunday, October 21, 2012

Shalat Arba'in di Masjid Nabawi

Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat berkunjung ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan ibadah haji. Hal ini tidak aneh karena Madinah memiliki kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi Muhammad berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau dalam menyemai dakwah Islam di sana. Maka meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukakan para jamaah haji selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam.

Keutamaan Shalat di Masjid Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ»
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda  : “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. ” (HR. al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505)
Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.
Apa itu Shalat Arba’in?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
«مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ»
“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444)
Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari[1] berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3] Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.
Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in 
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1- Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau bersabda:
«إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Jika kalian mendeng ar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.” (HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2- Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah.  Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.” [4]
3- Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4- Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang saat keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat  ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5- Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu  lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-  dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah)[6]
Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
1- Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari! Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
2- Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini.
 Jangan Lewatkan Pahala Jihad di Masjid Nabawi
Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ»
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau dia ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7]
Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaallah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda.
Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.
Khatimah
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin.

Referensi:
  • Adhwa’ul Bayan fi Idhah al-Qu`ran bil Qur`an, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Darul Fikr.
  • Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
  • At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri.
  • Fadhlul Madinah, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
  • Fatawa al-Lajnah ad-Daimah,
  • Majma’ az-Zawa`id  wa Manba’ al-Fawa`id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
  • Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, Muhammad asy-Syuwai’ir.
  • Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, Abul Hasan al-Mubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
  • Shahih at-Targhib wat Tarhib, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
  • Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
  • Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘Ashimah.
—-
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah)
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Majma’ az-Zawaid 4/8, at-Targhib wat Tarhib 2/139.
[2]  Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[3]  Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah 1/540 no. 364, Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 26/285, Fadhlul Madinah hal. 19, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 4/440.
[4]  Adhwa’ul Bayan 8/336.
[5] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[6] Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/98 no. 409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin1/334.
[7] Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih 2/456.

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Apakah Mayit Masih Bisa Mendapat Pahala Ketika Diperdengarkan Quran?

membaca_al_quran_di_sisi_kubur_2Sebagian masyarakat kebanyakan yang dijadikan sandaran hanyalah tradisi yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Semacam yang jadi kebiasaan di sini adalah membacakan Qur’an seperti surat Yasin saat ziarah kubur. Padahal sebenarnya hal ini sama sekali tidak ada pendukung dari sisi dalil. Tidak benar hal ini pun dikatakan suatu hal yang positif karena namanya amalan harus berdasarkan dalil. Jika tidak demikian, maka amalan tersebut tertolak dan sia-sia belaka.
Mari kita perhatikan penjelasan Ibnu Taimiyah berikut ini tentang kaedah seputar mayit.
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Adapun membaca Al Qur’an di sisi kubur secara rutin, hal ini tidaklah dikenal di masa salaf. Namun para ulama memang berselisih pendapat tentang hukum membaca Al Qur’an di sisi kubur. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam banyak pendapatnya berpendapat terlarangnya hal tersebut. Namun dalam pendapat belakangan dari Imam Ahmad, beliau memberikan keringanan dengan alasan karena ‘Abdullah bin ‘Umar mewasiatkan untuk membacakan awal dan akhir surat Al Baqarah ketika beliau dimakamkan.
Telah dinukil pula dari sebagian Anshor bahwa ia mewasiatkan untuk membacakan surat Al Baqarah ketika hendak dimakamkan. Ini semua dilakukan ketika pemakaman. Adapun membaca Al Qur’an setelah pemakaman, maka tidak ada satu keterangan pun dari mereka akan hal ini. Inilah perbedaan perkataan ketiga yaitu antara hukum membaca Al Qur’an ketika hendak mengubur dan membaca Al Qur’an yang dibaca rutin setelah penguburan. Membaca Al Qur’an setelah penguburan adalah bid’ah yang tidak ada dukungan dalil sama sekali.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mayit bisa mengambil manfaat dari mendengar bacaan Al Qur’an dan ia mendapatkan pahala karena mendengarnya, pendapat semacam ini jelas keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak sholih yang selalu mendo’akan kebaikan untuknya.” Hal ini menunjukkan bahwa mayit setelah ia mati, ia tidaklah mendapat ganjaran karena mendengar Al Qur’an atau yang lainnya. Walaupun mayit mendengar bunyi sandal, ia mendengar pula salam dari orang yang mengucapkan salam untuknya, dan ia mendengar selain itu. Akan tetapi amalan orang lain tidak bermanfaat untuknya kecuali yang telah dikecualikan di atas.” (Ahkam Maa Ba’dal Maut, hal. 198-200)
Wallahu waliyyut taufiq.

ReferensiAhkam Maa Ba’dal Maut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Beberapa artikel yang bermanfaat untuk disimak:

    @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 3 Dzulhijjah 1433 H

    Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

    Jika Ied Jatuh Pada Hari Jumat


    hari_ied_dan_hari_jumatDi antara keistimewaan Idul Adha tahun ini (2012) akan bertepatan dengan hari Jum'at. Ini menunjukkan bertemunya dua hari utama, yang sama-sama hari 'ied. Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
    Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.[1]
    Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
    Pendapat PertamaOrang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
    Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
    Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
    Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
    Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
    “Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
    الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
    Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.[3]
    Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
    Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
    قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
    “Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]
    Pendapat KeduaBagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum'at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
    Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
    Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
    أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
    “Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]
    Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalamAl Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
    Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakanashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
    Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
    Kesimpulan:
      • Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum'at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
        • Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat 'ied tidak menghadiri shalat Jum'at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
          • Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yangnomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
            • Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
              كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
              “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
              Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
              • Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
              Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.  Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

              Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
              Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.


              [1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
              [2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
              [3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
              [4] HR. Bukhari no. 5572.
              [5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
              [6] Dinukil dari http://dorar.net
              [7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
              [8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
              [9] HR. Muslim no. 878.
              [10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

              Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

              Orang Kafir Bolehkah Diberi Daging Qurban?


              qurban_non_muslim_orang_kafirHasil qurban bisa disantap oleh shohibul qurban, yang lainnya disedekahkan kepada orang miskin dan dihadiahkan untuk kerabat. Lantas bolehkah hasil tersebut diberikan pada orang kafir (non muslim)?
              Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan hal di atas dan beliau menjawab,
              يجوز للإنسان أن يعطي الكافر من لحم أضحيته صدقة بشرط أن لا يكون هذا الكافر ممن يقتلون المسلمين فإن كان ممن يقتلونهم فلا يعطى شيئاً لقوله تعالى : ( لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ ) الممتحنة /8-9 اهـ .
              “Boleh seseorang menyerahkan hasil qurban berupa daging sebagai sedekah kepada non muslim dengan syarat ia bukan kafir harbi (yang sedang berperang dengan kaum muslimin). Jika yang ia termasuk kafir harbi, maka tidak boleh. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
              [Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2: 663]
              Al Lajnah Ad Daimah juga pernah ditanyakan hal yang sama, para ulama yang duduk dalam lembaga tersebut menjawab,
              يجوز لنا أن نطعم الكافر المعاهد والأسير من لحم الأضحية، ويجوز إعطاؤه منها لفقره أو قرابته أو جواره، أو تأليف قلبه؛ لأن النسك إنما هو في ذبحها أو نحرها؛ قربانًا لله، وعبادة له، وأما لحمها فالأفضل أن يأكل ثلثه، ويهدي إلى أقاربه وجيرانه وأصدقائه ثلثه، ويتصدق بثلثه على الفقراء، وإن زاد أو نقص في هذه الأقسام أو اكتفى ببعضها فلا حرج، والأمر في ذلك واسع، ولا يعطى من لحم الأضحية حربيًّا؛ لأن الواجب كبته وإضعافه، لا مواساته وتقويته بالصدقة، وكذلك الحكم في صدقات التطوع    “لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ” ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنها أن تصل أمها بالمال وهي مشركة في وقت الهدنة.
              “Kita boleh saja memberikan hasil qurban berupa daging kepada orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. Boleh memberikan hasil qurban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya. Yang namanya ibadah qurban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya. Adapun daging qurban, lebih afdhol dimakan oleh shohibul qurban sepertiganya, lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya, kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan.
              Namun daging hasil qurban tidak boleh diserahkan pada kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Karena kafir harus ditekan dan dilemahkan, tidak boleh simpati dan malah menguatkan mereka dengan diberi sedekah. Demikian berlaku dalam sedekah sunnah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Dalil bahwasanya boleh berbuat baik dengan orang non muslim selain kafir Harbi adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh Asma’ binti Abi Bakrradhiyallahu ‘anha untuk tetap berbuat baik pada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian).”
              [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah soal ketiga no. 1997, 11: 425, ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud]
              Wallahu waliyyut taufiq.

              @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 1 Dzulhijjah 1433 H

              Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

              DAGING & DARAH QURBAN TIDAK SAMPAI KEPADA ALLAH

              Allah Ta’ala berfirman :
              لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
              “ Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. “ ( Al Hajj : 37 )

              Tafsir Firman Allah :
              لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
              “Allah tidak akan menerima daging-daging dan darah-darah hewan kurban mereka akan tetapi yang Allah terima adalah ketaqwaan dari kalian”
              yang dimaksudkan dari sembelihan qurban bukanlah untuk sekadar menyembelih saja. Tidaklah sampai kepada Allah  sedikitpun dari daging dan darahnya, karena Allah maha kaya lagi terpuji, tetapi yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan dalam menyembelihnya dan mengharap pahala serta niat yang baik, untuk itu Allah mengatakan (artinya ):
              وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
              {tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya}.
              Maka dalam ayat ini terdapat dorongan untuk ikhlas dalam berqurban, dan bertujuan untuk mendapatkan wajah Allah semata, bukan karena kebanggaan dan bukan juga karena riya’ dan sum’ah (ingin dapat reputasi atau pujian dengan dilihat orang atau diperdengarkan ) , bukan pula karena sekadar sudah menjadi kebiasaan. Demikian itu berlaku pada  semua ibadah-ibadah lainnya.  jika tidak disertai dengan ikhlas/ketulusan dan ketaqwaan kepada Allah , maka seperti kulit yang tidak ada isi/intinya dan tak ubahnya seperti jasad tanpa ruh padanya. ( lihat Tafsir Taisir Karimirrohman Al Allamah Abdurrohman bin Nashir As Sa’di hal 511 cet. Dar IbnHazm Beirut )
              Wallahu A’lam bis Showab.
              Tim Darussalaf.or.id

              Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

              LUPA BASMALAH, Apakah Hewan Qurban Boleh Dimakan ?

              Jika seseorang lupa mengucap bismillah ketika hendak menyembelih maka – dari pendapat yang terkuat – hukum sembelihan tersebut adalah tidak boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman :
              وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
              “ Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah Azza wa Jalla ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. “ (Al An’am: 121 )
              Rosululloh Shallallahu ‘lihi wa sallam bersabda :
              ما أنْهَرَ الدَم وذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلْ
              “ Sembelihan yang telah dialirkan darahnya dan disebut nama Allah padanya maka makanlah “ ( HR Al Bukhari ( 5176 ) dan  Muslim ( 1929 )
              Dari ayat dan hadits diatas kita ketahui bahwa syarat hewan sembelihan untuk bisa dimakan adalah harus dibacakan padanya nama Allah ( baca Bismillah ) disaat menyembelihnya.
              Namun suatu hal yang perlu diketahui bahwa dalam masalah ini – yaitu menyebut nama Allah Ta’ala pada sembelihan atau pada buruan – memang ada perbedaan pendapat dikalangan ulama menjadi beberapa pendapat sebagai berikut :
              Pertama : bahwa membaca Basmalah tidaklah wajib pada hewan buruan dan tidak wajib pula bagi sembelihan. Tak lain hukumnya adalah sunnah. Mereka berdalil dengan hadits yang tidak shahih :
              “ Sembelihannya seorang muslim adalah halal walaupun tidak disebut nama Allah padanya “ ( hadits dho’if : dikeluarkan Abu Daud di Marasil ( 378 ) dan Al Baihaqi ( 9/243 ) dan Ad Daruqutni  ( 4/295) dan keduanya mendhoifkannya juga didhoifkan oleh ibnul Qotthon di “ Bayanul Wahm wal Iham” (1369) dan syaikh Al Abany di Dho’if Al Jami’ ( 3039)
              Kedua : bahwa menyebut nama Allah Ta’ala adalah wajib dan gugur (wajibnya basmalah )  jika lupa dan tidak tahu hukumnya pada sembelihan maupun buruan.
              Ketiga : Bahwa menyebut nama Allah Ta’ala adalah syarat pada sembelihan dan buruan namun gugur karena lupa pada sembelihan sementara tidak bisa gugur pada buruan.
              Ini adalah pendapat yang masyhur dari para ulama fiqih madzab Hambali, bahwa apabila tidak menyebut nama Allah pada buruan sekalipun dikarenakan lupa  maka hewan buruan itu haram, jika lupa membaca nama Allah Ta’ala pada sembelihanmaka ia halal. Apa dalil mereka ?
              Mereka menjawab : karena Nabi Shallallahu ‘lihi wa sallam berkata kepada ‘Adiy bin hatim dan Abi Tsa’labah Al khusyani ketika melepas anak panah :
              “ Apabila engkau melepas anak panahmu dan engkau telah menyebut nama Allah padanya maka makanlah ( binatang buruan itu) “ HR. Muslim ( 1929 )
              Maka Beliau menjadikan halalnya untuk dimakan dengan dua syarat : pertama : niat yaitu melepas anak panah dan kedua : menyebut nama Allah.
              Kita katakan ( kata Asy Syaikh Al Utsaimin ) : Nabi Shallallahu ‘lihi wa sallam  juga telah mengatakan dalam hal sembelihan :
              “ sembelihan yang telah dialirkan darahnya dan disebutkan nama Allah padanya maka makanlah “ ( HR Al Bukhari ( 5176 ) dan  Muslim ( 1929 )
              Maka belaiu mensyaratkan dua syarat : pertama dialirkan darahnya ( dengan disembelih ) dan kedua : menyebut nama Allah.
              Maka tidak ada beda ( antara buruan dan sembelihan), lantas kita katakan : kalau kita memberikan udzur/keringanan “karena lupa” pada sembelihan maka tentunya terlebih lagi pada binatang buruan, karena pada buruan waktunya datang dengan tiba-tiba dan butuh cepat. Dan para pemburu cenderung buyar pikirannya apabila melihat binatang buruan, sehingga terkadang dia terjatuh kedalam lubang atau terbentur batang pohon sementara ia tidak merasa maka hal itu tentunya lebih pantas untuk dapat udzur/keringanan dari pada seseorang yang menyembelih yang cenderung lebih tenang dan iapun sempat membaringkan hewan sembelihannya dan lalu lupa untuk mengucapkan bismillah.
              Pendapat Keempat : bahwa mengucapkan basmallah atau menyebut nama Allah Ta’ala adalah syarat ( untuk bisa dimakan ) baik pada sembelihan maupun pada buruan. Dan tidak bisa gugur disebabkan karena lupa dan tidak mengerti hukumnya. Ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.
              Kalau ada orang yang berkata : bagaimana pendapatmu kalau lupa mengucap basmalah pada sembelihan seekor unta yang harganya lima ribu real dan kita katakan tidak halal dimakan, maka berarti tersia-siakan lima ribu real (senilai + Rp. 15 juta).
              Maka bisa dijawab : hal itu termasuk perkara yang Allah berikan kemampuan bagi manusia untuk bisa melakukannya ( menyia-nyiakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah padanya)
              Jika ada yang berkata : dengan demikian berarti kalian menghilangkan harta orang.
              Kita katakan : ini adalah seperti ucapan orang yang mengatakan : apabila engkau memotong tangan pencuri berarti menjadikan separoh tangannya tak berfungsi dia tidak punya tangan lagi. Sementara dengan dipotongnya tangan pencuri maka menjadi sedikit pencurian dan tidak ada orang yang berani mencuri.  Demikian juga apabila kita katakan kepada orang yang lupa mengucap bismillah saat mau menyembelih itu : sembelihanmu adalah haram untuk dimakan. Maka apabila dia akan menyembelih berikutnya yang kedua : maka mungkin dia akan menyebut nama Allah Ta’ala sepuluh kali dia tidak akan lupa lagi untuk seterusnya.  Dengan demikian kita telah menjaga syiar ini bahwasannya harus menyebut nama Allah Ta’ala pada sembelihan.
              ( lihat Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyyah Fii Masail Khilafiyyah liFadhilatis Syaikh Al Allamah Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin hal 514-516 cet. Dar AlMawaddah Riyadh )
              Wallahu A’lam bis Showab.
              Tim Darussalaf.or.id

              Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

              Share

              Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More