Share
div id='fb-root'/>

Kaya tidak diukur dengan banyaknya harta

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bertakwa itu dimana saja

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”(HR Tirmidzi 1987)

Mudahkan Kesulitan Saudara Kita

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”(HR Muslim 2699)

Segeralah Bertaubat

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Bersemangatlah untuk Beramal Shalih

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)

Sunday, July 29, 2012

Tidak Menyayangi Orang Yatim dan Miskin


menyantuni_anak_yatimSurat Al Maa’uun adalah di antara surat Makkiyah (yang turun sebelum hijrah) atau surat Madaniyah (yang turun setelah hijrah). Surat ini berisi penjelasan mengenai orang-orang yang mendapat ancaman karena mendustakan hari pembalasan. Sifat mereka adalah tidak menyayangi anak yatim dan orang miskin, juga lalai dari shalat dan riya’ di dalamnya. Mereka pun enggan menolong orang lain dengan harta atau pun suatu manfaat.
Allah Ta'ala berfirman,
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya'  dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al Maa'uun: 1-7).
Mendustakan Hari Pembalasan
Dalam ayat pertama disebutkan,
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan?” (QS. Al Maa'uun: 1-7).
Mengenai kata “الدين” (ad diin) dalam ayat di atas, ada empat pendapat: (1) hukum Allah, (2) hari perhitungan, (3) hari pembalasan dan (4) Al Qur’an. Demikian kata Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya, Zaadul Masiir (9: 244). Jadi ayat tersebut bisa bermakna orang yang mendustakan hukum Allah, hari perhitungan, hari pembalasan atau mendustakan Al Qur’an.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ad diin adalah hari pembalasan, sehingga jika diartikan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?” Dan beliau menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan pada mereka yang mengingkari hari kebangkitan sebagaimana disebutkan dalam ayat,
أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ , أَوَآَبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ
Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)"?” (QS. Ash Shofaat: 16-17).
مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78). Mereka inilah yang mendustakan ‘yaumud diin’ yaitu hari pembalasan. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 274).
Tidak Menyayangi Anak Yatim dan Fakir Miskin
Setelah menyebutkan mengenai orang yang mendustakan hari pembelasan, lalu disebutkan ayat,
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Dalam dua ayat di atas digabungkan dua hal:
1. Tidak punya kasih sayang pada anak yatim. Padahal mereka itu orang yang patut dikasihi. Perlu diketahui, yatim adalah yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa). Dialah yang patut dikasihi karena mereka tidak lagi memiliki orang tua yang mengasihinya. Akan tetapi yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang yang menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, mereka menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya.
2. Tidak mendorong untuk mengasihi yang lain, di antaranya fakir miskin. Padahal fakir dan miskin sangat butuh pada makanan. Orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mendorong untuk memberikan makan pada orang miskin karena hatinya memang telah keras. Jadi intinya, orang yang disebutkan dalam dua ayat di atas, hatinya benar-benar keras.
Ayat di atas semisal dengan ayat,
كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18)
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. Al Fajr: 17-18). Orang fakir adalah yang kebutuhannya dan kecukupannya tidak bisa terpenuhi (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691).
Orang yang Lalai dari Shalatnya
Kemudian disebutkan mengenai sifat mereka lagi,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud di sini adalah orang-orang munafik yaitu yang mereka shalat di kala ada banyak orang, namun enggan shalat ketika sendirian. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691)
Dalam ayat disebutkan “لِلْمُصَلِّينَ”, bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang biasa shalat dan konsekuen dengannya, lalu mereka lalai. Yang dimaksud lalai dari shalat bisa mencakup beberapa pengertian:
1. Lalai dari mengerjakan shalat.
2. Lalai dari pengerjaannya dari waktu yang ditetapkan oleh syari’at, malah mengerjakannya di luar waktu yang ditetapkan.
3. Bisa juga makna lalai dari shalat adalah mengerjakannya selalu di akhir waktu selamanya atau umumnya.
4. Ada pula yang memaknakan lalai dari shalat adalah tidak memenuhi rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan.
5. Lalai dari shalat bisa bermakna tidak khusyu’ dan tidak merenungkan yang dibaca dalam shalat.
Lalai dari shalat mencakup semua pengertian di atas. Setiap orang yang memiliki sifat demikian, maka dialah yang disebut lalai dari shalat. Jika ia memiliki seluruh sifat tersebut, maka semakin sempurnalah kecelakaan untuknya dan semakin sempurna nifak ‘amali padanya (Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691-692).
Mereka yang Cari Muka dalam Ibadah
Disebutkan dalam lanjutan ayat,
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
Orang-orang yang berbuat riya' ”. Riya’ adalah ingin amalannya nampak di hadapan orang lain, ibadahnya tidak ikhlas karena Allah, istilahnya ingin ‘cari muka’.
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, “Barangsiapa yang –awalnya- melakukan amalan lillah (ikhlas karena Allah), kemudian amalan tersebut nampak di hadapan manusia lalu ia pun takjub, maka seperti itu tidak dianggap riya’.”
Di antara tanda orang yang riya’ dalam shalatnya adalah:
  1. Seringnya mengakhirkan waktu shalat tanpa ada udzur
  2. Melaksanakan ibadah dengan malas-malasan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa’: 142). (Lihat bahasan Ta’thirul Anfas, hal. 533)
Celakalah Al Maa’uun
Ayat terakhir,
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Jika lihat dari terjemahan Al Qur'an, al maa'uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan al maa'uun. Sebagian berkata bahwa al maa'uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa'uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu "يمنعون العارية", mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh 'Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya.
Intinya, seluruh tafsiran di atas tepat. Semuanya kembali pada satu makna, yaitu al maa'uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 14: 473).
Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari 'Abdullah, ia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَارِيَةَ الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.
"Kami menganggap al maa'uun di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah yang berkaitan dengan 'aariyah (yaitu barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk." (HR. Abu Daud no. 1657, hasan kata Syaikh Al Albani)
Padahal memberikan pinjaman pada orang lain bisa jadi dengan harta, bisa jadi dengan memberikan kemanfaatan dan ini semua termasuk sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
Setiap kebaikan (perbuatan ma’ruf) adalah sedekah”(HR. Bukhari no. 6021).
Semoga sajian tafsir ini bermanfaat. Semoga Allah memudahkan kita untuk giat merenungkan Al Qur’an dan kandungannya.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Darul Fawaid.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah.
Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1424 H.
Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Dr. Sa’id bin Husain Al ‘Affani, terbitan Darul ‘Affani, 1421 H.
Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Panggang-GK, 8 Ramadhan 1433 H

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Berkah Kejujuran Dalam Berbisnis


jujur_berkah_bisnisKejujuran merupakan ajaran Islam yang mulia. Hal ini berlaku dalam segala bentuk muamalah, lebih-lebih dalam jual beli karena di dalamnya sering terjadi sengketa. Jual beli online adalah di antara jual beli yang ditekankan adanya sifat kejujuran. Kejujuran inilah yang nantinya mendatangkan keberkahan.
Islam Mengajarkan Sifat Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim).
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Penekanan Sifat Jujur bagi Pelaku Bisnis
Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk berlaku jujur bagi para pelaku bisnis karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain).
Contoh bentuk penipuan yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, shahih).
Lebih-lebih sifat jujur ini ditekankan pada pelaku bisnis online karena tidak bertemunya penjual dan pembeli secara langsung. Si penjual kadang mengobral janji, ketika dana telah ditransfer pada rekening penjual, barang pun tak kunjung datang ke pembeli. Begitu pula sebagian penjual kadang mengelabui pembeli dengan gambar, audio dan tulisan yang tidak sesuai kenyataan dan hanya ingin menarik pelanggan.
Jujur Kan Menuai Berkah
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih).
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”
Moga kita selaku muslim bisa terus mengagungkan sifat jujur. [@ Panggang-Gunung Kidul, 5 Ramadhan 1433 H]


Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More