Share
div id='fb-root'/>

Kaya tidak diukur dengan banyaknya harta

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bertakwa itu dimana saja

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”(HR Tirmidzi 1987)

Mudahkan Kesulitan Saudara Kita

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”(HR Muslim 2699)

Segeralah Bertaubat

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Bersemangatlah untuk Beramal Shalih

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)

Saturday, July 30, 2011

Menyambut Ramadhan

Datangnya bulan Ramadhan merupakan idaman setiap muslim. Ungkapan Ahlan wa Sahlan Ya Ramadhan (selamat datang Ya Ramadhan) tidak hanya keluar dari qalbu dan lisan, bahkan persiapan demi persiapan pun selekas mungkin dilakukan, dengan penuh harapan dan kegembiraan semoga bisa bertemu dengan bulan suci umat Islam itu.
Betapa tidak?! Siapa yang tidak ingin mendapatkan kado hadiah yang berlimpah ruah, berupa hidayah, rahmat dan maghfirah (ampunan) dan jaza’ (balasan) yang berlipat ganda, yang tidak didapati selain di bulan Ramadhan??? Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya:
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian, dan jannah (surga) seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 133)
HAL-HAL YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN MENJELANG RAMADHAN
1. Disunnahkan untuk lebih sungguh-sungguh menghitung Bulan Sya’ban
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah adalah 29 atau 30 hari. Sebagaimana hadits ‘Aisyah , bahwa Rasulullah ? berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ?يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ
”Bahwasanya Rasulullah ? bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban melebihi kesungguhannya di selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. (Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, karya Asy-Syaikh Al Albani).
2. Menentukan Masuknya Bulan Ramadhan Dengan Ru’yatul Hilal
Penentuan mulai masuknya bulan Ramadhan dilakukan dengan cara ru’yatul hilal, yakni melihat bulan terbit sebagai tanda dimulainya awal bulan hijriyah. Apabila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka caranya ialah dengan melengkapkan bilangan hari dalam bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi ? bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar :
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“…maka iika terhalangi, ‘perkirakanlah”.
makna dari kata “perkirakanlah” dalam hadits ini telah diterangkan Rasul ? sendiri pada hadits yang sebelumnya, yaitu;
(فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari” atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. (HR. Al-Bukhari)
HUKUM MENENTUKAN WAKTU MASUKNYA RAMADHAN DENGAN ILMU HISAB
Dari hadits-hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa penentuan masuknya Ramadhan dengan ru’yatul hilal adalah suatu ibadah yang masyru’ah (yang diperintahkan) bukan perkara ijtihadiyah.
Atas dasar ini ilmu perbintangan dan ilmu hisab tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sisi, diantaranya:
1. Bertentangan dengan nash (dalil) dari Al Qur’an yang Allah mengaitkan hukum shaum dengan ru’yah dan persaksian hilal. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Barangsiapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan maka bershaumlah.” (Al Baqoroh: 185)
2. Bertentangan dengan dhohir hadits-hadits yang shohih.
3. Bertentangan dengan (ijma’) kesepakatan para Shahabat, Tabi’in dan para imam setelah mereka.
4. Pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki dan kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri dalam menentukan hilal.
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “Pembuat Syariat (Allah –pen) telah menentukan hukum shaum dan yang lainnya berdasarkan ru’yah. Hal ini dalam rangka untuk menghilangkan kesulitan dalam menghitung peredaran bintang. Dan hukum ini tetap berlaku, walaupun bermunculan setelah itu orang-orang yang menguasai ilmu perbintangan. Bahkan konteks hadits secara gamblang menolak hukum shaum bergantung dengan hisab falaki.” (Fathul Baari hadits no. 1913)
Seluruh anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis ‘Ulama Arab Saudi) telah bersepakat tidak bolehnya bersandar kepada ilmu falaki dalam menentukan awal bulan. (Taudhiiul Ahkaam min Bulughil Marom jilid 3 hal. 132 hadits no. 541)
Namun, terjadinya perbedaan diantara kaum muslimin di saat menentukan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal adalah fenomena yang tak bisa dipungkiri lagi (meski sama-sama menggunakan cara ru’yatul hilal).
Bagaimanakah Sikap Yang Adil Dalam Masalah Ini ?
Sesungguhnya perselisihan ini pun terjadi diantara para ulama kita. Sebagian besar ulama, diantaranya Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain. Sedangkan Al-Imam Asy-Syaafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat perbedaan mathla’ (tempat terlihatnya hilal/bulan saat terbit) diperhitungkan dalam menentukan awal masuknya bulan.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam agar diperhatikan dan diamalkan. Beliau berkata: “…Dan perkara ini (pemberitaan hasil ru’yatul hilal dari satu negeri ke negeri yang lainnya-pen) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini. Dan sudah dimaklumi. Namun, menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari –Insya Allahu ta’ala– bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan Sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. (Tamamul Minnah hal. 298)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Taymiyah, Ibnul Qoyyim, Asy Syaikh Bin Baaz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy Syaikh Muqbil, dan yang lainnya karena berdasarkan hadits Nabi ?:
الصَوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shaum itu pada waktu bershaumnya kaum muslimin, berbuka pada saat berbukanya kaum muslimin, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At Tirmidzi)
Seandainya ada yang membenarkan pendapat kedua (yang berdasarkan pada perbedaan mathla’) atau dia bershaum karena yakin telah melihat hilal tetapi tidak diterima persaksiannya dihadapan hukumah (pemerintah), maka tetap wajib baginya untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin. Sebagaimana pendapat Asy Syaikh Ibnu Utsaimin di dalam Asy-Syarhul Mumti’ 6/32 dan Fatawa Ramadhan hal, 56.
Hukum Shaum di Hari Syak (Hari yang Diragukan)
Hari syak terjadi sesudah tanggal 29 Sya’ban bersamaan cuaca mendung yang menghalangi munculnya hilal. Hukum bershaum sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (kehati-hatian) yang dibangun diatas syak (keragu-raguan) bahwa pada hari tersebut sudah memasuki bulan Ramadhan adalah termasuk larangan dari Rasul ? berdasarkan hadits Abu Hurairah:
لا تُـقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَ لاَ يَوْمَينِ إِلاَّ كَانَ رَجُلٌ يَصُوْمُ فَاْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang sebelumnya sudah terbiasa dengan shaum sunnah, maka bershaumlah.” (Muttafaq ‘alaih)
atau hadits Ammar bin Yaasir :
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ
“Barang siapa melakukan shaum pada hari syak (diragukan padanya), maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (yakni Rasulullah ?).” (HR. Abu Daud dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 961)
Wajibnya Niat Shaum Ramadhan Pada Malam Hari
Para ulama telah bersepakat bahwa niat shaum Ramadhan dan niat shaum yang wajib lainnya seperti shaum kaffaroh, nadzar, dan qodho’ dilakukan pada malam hari adalah perkara yang wajib.
Namun mereka berbeda pendapat tentang niat shaum Ramadhan apakah cukup dilakukan di awal bulan atau setiap malamnya.
Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam masalah ini:
1. Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat wajibnya niat di setiap malamnya. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Majmu’ Fatawa 25/121).
2. Sebagian ulama yang lain, yaitu Al-Imam Malik, Al-Laits, Ash-Shon’ani, dan yang lainnya, berpendapat cukupnya sekali niat di awal bulan. Hal ini dirojihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. (As Syarhul Mumti’ 6/369)
Adapun cara merealisasikan niat adalah sebagaimana ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa tempatnya adalah di hati, maka barang siapa yang terbetik dalam hatinya untuk bershaum di keesokan harinya maka telah berniat. Cukup makan dan minum (ketika sahur) sebagai tanda apa yang ada dalam hatinya (yaitu niat).
Dengan demikian, melafadzkan niat dengan lisan tidak disyari’atkan dalam Islam, baik dilakukan secara berjamaah atau furaada (sendiri-sendiri). Dan perbuatan ini adalah bid’ah yang mungkar yang telah tersebar dikalangan kaum muslimin dan wajib untuk ditinggalkan. Karena Nabi ? tidak pernah melakukannya dan tidak pula para Al Khulafaur Rasyidiin dan seluruh sahabat yang lainnya ?.
Hadits-hadits Palsu atau Lemah Yang Tersebar di Kalangan Umat
Hadits Abu Hurairah :
صُوْمُوْا تَصِحُوْا
“Bershaumlah, niscaya kalian sehat.” (HR. Ath Thabrani)
Keterangan:
Hadits ini lemah karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Zuhair bin Muhammad At Tamimi dan yang meriwayatkan darinya adalah penduduk Syam, sedangkan riwayat dia yang diriwayatkan oleh penduduk Syam adalah lemah sebagaimana yang dikatakan Al Hafizh Ibu Hajar, bahkan Al Imam Al Bukhari menyatakan munkar (perawi hadits dho’if menyelisihi perawi hadits hasan dan shohih –pen). (Tahdzibut Tahdzib 2/639, no. 2049 dan As Silsilah Adh Dho’ifah hadits no. 253)

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah


Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa." (QS Al Baqarah: 183).



SAHUR

1. Hikmahnya

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa." (QS Al Baqarah: 183).


Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan, minum, dan jima’ setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan sampai malam berikutnya. Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin, sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.


Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).


2. Keutamaannya

a. Sahur Barokah
Dari Salman radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barokah ada pada tiga perkara: Jama’ah, Tsarid, dan makan sahur." (HR Thabrani, Abu Nu’aim).

Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i dan Ahmad).

Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menumbuhkan semangat serta meringankan beban yang berat bagi yang berpuasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al Irbadh bin Sariyah dan Abi Darda` radhiyallahu ‘anhuma, "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur."


b. Allah dan MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."

Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.


Bersabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, Baihaqi).

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk sahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."

3. Mengakhirkan Sahur


Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk sholat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.


Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, "Kami makan sahur bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur’an." (HR Bukhari Muslim).


4. Hukumnya

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah yang sangat ditekankan. Beliau bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Ya’la, Al Bazzar). Dan bersabda (yang artinya), "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).


Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:

Perintah untuk makan sahur.
Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab.
Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari (4/139) ijma’ atas sunnahnya. Wallahu a’lam.


BERBUKA


1. Kapan orang yang berpuasa berbuka?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."


Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari.


Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari (4/199) dan Al Haitsami dalam Majma Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi, "Para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam sahur."


2. Menyegerakan berbuka


Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyelisihi Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya bintang.

Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR Bukhari dan Muslim).
Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda(yang artinya), "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?


Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang." (QS At Taubah: 128).


Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga sempurnalah manfaat makanan.


Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).

4. Apa yang Diucapkan ketika Berbuka?


Ketahuilah saudaraku yang berpuasa -semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda untuk selalu mengikuti sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sungguh engkau memiliki do’a yang mustajab, maka ambillah kesempatan itu dan berdo’alah kepada Allah sedang engkau merasa yakin akan dikabulkan -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai lagi main-main- berdo’alah kepadaNya sesuatu yang engkau inginkan dengan do’a-do’a yang baik, semoga engkau mendapatkan dua kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Ada tiga orang yang tidak akan tertolak do’a mereka: seorang yang puasa ketika sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do’a seorang yang terzholimi." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).

Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki do’a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).


5. Memberi Makan Orang yang Berpuasa


Dan hendaklah engkau bersemangat, wahai saudaraku -semoga Allah memberi berkah dan taufikNya kepadamu sehingga mampu mengamalkan kebaikan dan ketaqwaan- (yaitu) bila engkau memberi makan kepada orang puasa, maka padanya terdapat pahala yang agung serta kebaikan yang melimpah ruah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa memberi makan seorang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo’akan kebaikan kepada si pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam do’a yang bermacam-macam, di antaranya:


"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).


"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).

"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).

Judul Asli:
"Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam"

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
 

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Beda antara Tahajud dengan Tarawih

tahajud-dan-tarawih
Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
Ustadz, maaf saya mohon penjelasannya mengenai apakah shalat  denganshalat tahajud itu sama? Dalam arti, kalau sudah shalat tarawih tidak perlu melakukan shalat tahajud? Terima kasih, Ustadz.
Kakha Aku (kakha**@***.com) 

Jawaban:
Berikut ini adalah keterangan dari Syekh Hamid bin Abdillah Al-Ali.
“Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat, keduanya dinamakanqiyamul lail. Di bulan Ramadan juga dinamakan ‘qiyamul lail‘ atau ‘qiyam‘. Mereka melaksanakan shalat selama satu bulan di waktu awal malam sampai akhir malam. Sementara, di luar Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melaksanakan qiyamul lail di awal malam, di tengah malam, atau terkadang di akhir malam. Ketika Ramadan, beliau lebih rajin lagi dalam beribadah, melebihi rajinnya beliau di luar Ramadan.
Kemudian, setelah itu, kaum muslimin di generasi setelah beliau melaksanakan shalat ketika bulan Ramadan di awal malam, karena ini keadaan yang paling mudah bagi mereka. Mereka melaksanakan shalat malam di sepuluh malam terakhir di penghujung malam, dalam rangka mencari pahala yang lebih banyak dan mendapatkan lailatul qadar, karena shalat di akhir malam itu lebih utama. Selanjutnya, mereka menyebut kegiatan shalat di awal malam setelah isya dengan nama ‘shalat tarawih’, dan mereka menyebut shalat sunah yang dikerjakan di akhir malam dengan nama ‘shalat tahajud’. Semua itu, dalam bahasa Alquran, disebut ‘tahajud‘ atau ‘qiyamul lail‘, dan tidak ada perbedaan antara keduanya dalam bahasa Alquran.
Karena itu, jika ada orang yang ingin melaksanakan (qiyamul lail) selama Ramadan di akhir malam maka ini lebih utama. Sebaliknya, jika ingin shalat (qiyamul lail) sepanjang Ramadan di awal malam atau tengah malam maka semua ini diperbolehkan.” (Diambil dari Al-Fatawa Al-Mukhtarah Thariqul Islam)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).


Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Mengapa Rokok Membatalkan Puasa dan Inhaler Tidak Membatalkan Puasa?

rokok-membatalkan-puasa
Pertanyaan:
Assalamu`alaikum. Saya mau tanya kepada Ustadz, yaitu mengapa rokokdinyatakan membatalkan puasa dan inhaler tak membatalkan puasa, padahal keduanya sama-sama masuk melalui hidung dan pernapasan serta tak masuk saluran makan dan minum? Mohon penjelasan Ustadz. Jazakallah khairan.
Abu Abdullah (dwi_purbo1**@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Rokok termasuk benda yang haram untuk dikonsumsi. Tentang hukum haramnya, tidak diragukan lagi. Orang yang merokok ketika berpuasa maka puasanya batal. Sebabnya, karena asap rokok mengandung banyak kumpulan zat yang masuk sampai ke perut dan lambung.
Syekh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang hukum mencium minyak wangi. Beliau menjawab, “Diperbolehkan menggunakan minyak wangi di siang hari bulan Ramadan dan boleh menciumnya, kecuali dupa. Tidak boleh menghirup bau dupa, karena asap dupa memiliki banyak zat yang bisa masuk ke lambung, dan dupa merupakan asap.” (Fatawa Islamiyah, 2:128)
Asap rokok semisal dengan dupa; keduanya mengandung banyak zat. Hanya saja, keduanya berbeda hukumnya. Dupa hukumnya halal dan baik, sedangkan rokok hukumnya haram dan buruk.
Para ulama mengistilahkan merokok dengan “syurbud dukhan” (minum asap). Mereka menyebutnya dengan “syurbun” (minum). Tidak diragukan lagi bahwa asap rokok sampai ke lambung dan ke perut, sementara semua yang dimasukkan dan sampai ke perut dengan sengaja maka membatalkan puasa, baik benda itu bermanfaat maupun membahayakan. Sebagaimana ketika ada orang yang menelan biji tasbih atau potongan besi dengan sengaja, puasanya batal. Tidak disyaratkan harus makan dan minum yang membatalkan puasa harus mengenyangkan atau memberi manfaat kesehatan. Setiap yang dimasukkan ke perut dengan sengaja maka bisa dinamakan makan atau minum. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, Fatawa Shiyam, no. 203 dan 204)
Untuk hukum penggunaan inhaler bisa dilihat di alamathttp://konsultasisyariah.com/penderita-asma
Disadur dari Fatwa Islam (www.islamqa.com) oleh Muhammad bin Shaleh Al-Munajid.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Sumber: http://yudatfort814.blogspot.com/2011/07/cara-membuat-pesan-peringatan-hak-cipta.html#ixzz1iGyhTDSY

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More